Keamanan Siber, Kunci Fundamental untuk Transformasi Digital di Sektor Pendidikan
loading...
A
A
A
Sebelumnya, perkuliahan dilakukan secara tatap muka dengan 500-600 mahasiswa. Namun, sekarang, tidak diperlukan lagi karena perkuliahan dilakukan secara online. “Tantangannya, kami harus bisa menyampaikan materi kuliah secara menarik, praktis dan mudah dipahami. Tak heran, dengan cryptography, salah satunya metode pembelajarannya adalah melalui pendekatan novel gamification,” jelasnya.
Tidak hanya itu, Amin menambahkan bahwa ada metode lain seperti flip classes, record offline, hol Q&A workshops yang juga dijalankan di Universitas Monash. “Tentu saja di balik implementasi transformasi digital, kami juga harus mampu menangkal serangan Ransomware, IDS, PenTest dan Malware. Kunci suksesnya terletak pada bagaimana kami bisa memaksimalkan data security, organisational security, software security, componet security dan connection security sehingga dapat berjalan dengan baik,” tandasnya.
Anang Siswanto, SM Solutions, IT & Business Analyst Telkomtelstra juga menyampaikan perlunya sikap kehati-hatian dan selalu waspada bagi institusi pendidikan yang melakukan transformasi digital. Faktanya, serangan terhadap keamanan siber (ransomware cs) terhadap perusahaan yang melakukan transformasi digital ternyata terus berkembang. Berdasarkan data dari Checkpoint Cyber Security Report 2021& Cisco 2021 Cyber Security threat trends menunjukkan bahwa perusahaan harus mengeluarkan biaya US$20 miliar karena serangan ini.
Menurut Anang, ada dua jenis serangan yang sering terjadi yakni Phising Attack dan Trojan Attack. Kedua serangan ini menyebabkan informasi berharga organisasi bisa terekspos secara ‘telanjang’ sehingga bisa diakses oleh siapa pun secara bebas atau data hilang/rusak atau tidak bisa digunakan lagi oleh organisasi. Hal ini dapat mengakibatkan organisasi merugi atau bahkan bangkrut.
Oleh karena itu, untuk menghadapi atau menangkal serangan tersebut, semua keamanan siber ini harus dimulai dari diri sendiri atau tim TI internal perusahaan. Informasi dan pengetahuan yang tidak memadai mengenai transformasi teknologi ini menjadi celah masuknya serangan tersebut. “Prinsip hati-hati dan waspada harus menjadi doktrin masing-masing individu di era digital saat ini,” ujarnya.
Salah satunya dengan memaksimalkan fitur-fitur Security seperti menggunakan Multi-Factor Authentication (MFA), selalu melakukan back up data serta meng-enkripsi semua data penting dan jalur komunikasi. “Saya merekomendasikan menggunakan pihak ketiga untuk masalah keamanan perusahaan ini. Tentu saja, provider-nya harus memiliki sertifikat ISO 27001, memiliki pengalaman mumpuni terkait data security serta bisa dipercaya,” tandasnya.
Sementara itu, Andy Siregar selaku Principal Expert Security Strategy, Telkom Indonesia menyoroti efek samping dari transformasi digital yang dapat menyebabkan organisasi menjadi semakin rentan terhadap risiko keamanan siber.
Hal ini diperkuat oleh data survei dari Ponemon Institute 2020: Cyber Security Awareness Measurement Service dimana lebih dari 50% responden dari C-level mengakui bahwa organisasinya sangat rentan. “Data ini juga ingin menunjukkan bahwa Human is the Weakest link. Dengan kata lain faktor manusia atau individu menjadi titik terlemah dalam upaya pengamanan siber,” ujarnya.
Andy menambahkan bahwa modus yang sering terjadi adalah menawarkan gimmick berupa diskon, barang, layanan atau jasa lainnya yang membuat calon korban tergiur dan kemudian tertipu. Bisa melalui WA, email atau laman yang ternyata semuanya adalah penipuan (phising).
“Oleh karena itu peran organisasi dan seluruh pemangku kepentingan, sangat penting dalam menjaga keamanan siber. Kuncinya terletak pada komitmen untuk membudayakan keamanan informasi. Hal ini, bisa dibuat seperti daftar “Do’s and Don’ts” yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh seluruh pihak yang terlibat,” kata Andy.
Tidak hanya itu, Amin menambahkan bahwa ada metode lain seperti flip classes, record offline, hol Q&A workshops yang juga dijalankan di Universitas Monash. “Tentu saja di balik implementasi transformasi digital, kami juga harus mampu menangkal serangan Ransomware, IDS, PenTest dan Malware. Kunci suksesnya terletak pada bagaimana kami bisa memaksimalkan data security, organisational security, software security, componet security dan connection security sehingga dapat berjalan dengan baik,” tandasnya.
Anang Siswanto, SM Solutions, IT & Business Analyst Telkomtelstra juga menyampaikan perlunya sikap kehati-hatian dan selalu waspada bagi institusi pendidikan yang melakukan transformasi digital. Faktanya, serangan terhadap keamanan siber (ransomware cs) terhadap perusahaan yang melakukan transformasi digital ternyata terus berkembang. Berdasarkan data dari Checkpoint Cyber Security Report 2021& Cisco 2021 Cyber Security threat trends menunjukkan bahwa perusahaan harus mengeluarkan biaya US$20 miliar karena serangan ini.
Menurut Anang, ada dua jenis serangan yang sering terjadi yakni Phising Attack dan Trojan Attack. Kedua serangan ini menyebabkan informasi berharga organisasi bisa terekspos secara ‘telanjang’ sehingga bisa diakses oleh siapa pun secara bebas atau data hilang/rusak atau tidak bisa digunakan lagi oleh organisasi. Hal ini dapat mengakibatkan organisasi merugi atau bahkan bangkrut.
Oleh karena itu, untuk menghadapi atau menangkal serangan tersebut, semua keamanan siber ini harus dimulai dari diri sendiri atau tim TI internal perusahaan. Informasi dan pengetahuan yang tidak memadai mengenai transformasi teknologi ini menjadi celah masuknya serangan tersebut. “Prinsip hati-hati dan waspada harus menjadi doktrin masing-masing individu di era digital saat ini,” ujarnya.
Salah satunya dengan memaksimalkan fitur-fitur Security seperti menggunakan Multi-Factor Authentication (MFA), selalu melakukan back up data serta meng-enkripsi semua data penting dan jalur komunikasi. “Saya merekomendasikan menggunakan pihak ketiga untuk masalah keamanan perusahaan ini. Tentu saja, provider-nya harus memiliki sertifikat ISO 27001, memiliki pengalaman mumpuni terkait data security serta bisa dipercaya,” tandasnya.
Sementara itu, Andy Siregar selaku Principal Expert Security Strategy, Telkom Indonesia menyoroti efek samping dari transformasi digital yang dapat menyebabkan organisasi menjadi semakin rentan terhadap risiko keamanan siber.
Hal ini diperkuat oleh data survei dari Ponemon Institute 2020: Cyber Security Awareness Measurement Service dimana lebih dari 50% responden dari C-level mengakui bahwa organisasinya sangat rentan. “Data ini juga ingin menunjukkan bahwa Human is the Weakest link. Dengan kata lain faktor manusia atau individu menjadi titik terlemah dalam upaya pengamanan siber,” ujarnya.
Andy menambahkan bahwa modus yang sering terjadi adalah menawarkan gimmick berupa diskon, barang, layanan atau jasa lainnya yang membuat calon korban tergiur dan kemudian tertipu. Bisa melalui WA, email atau laman yang ternyata semuanya adalah penipuan (phising).
“Oleh karena itu peran organisasi dan seluruh pemangku kepentingan, sangat penting dalam menjaga keamanan siber. Kuncinya terletak pada komitmen untuk membudayakan keamanan informasi. Hal ini, bisa dibuat seperti daftar “Do’s and Don’ts” yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh seluruh pihak yang terlibat,” kata Andy.