Jaring Gagasan Besar, UMJ Hadirkan Sejumlah Akademisi dan Tokoh Nasional

Rabu, 16 Maret 2022 - 17:34 WIB
loading...
Jaring Gagasan Besar, UMJ Hadirkan Sejumlah Akademisi dan Tokoh Nasional
UMJ menggelar seminar pramuktamar Muhammadiyah ke-48 dengan menghadirkan sejumlah akademisi dan tokoh nasional di Aula FEB UMJ, Rabu (16/3). Foto/Dok/Humas UMJ
A A A
JAKARTA - Universitas Muhammadiyah Jakarta ( UMJ ) menggelar seminar pramuktamar dengan menghadirkan sejumlah akademisi dan tokoh nasional untuk menjaring gagasan besar. Seminar bertajuk 'Rekonstruksi Sistem Ketatanegaraan Indonesia' di gelar di Aula Fakultas Ekonomi dan Bisnis UMJ secara hybrid, Rabu (16/3/2022).

Rektor UMJ Dr. Ma’mun Murod, M.Si., menjelaskan bahwa tema yang diusung kali ini merupakan tema yang sangat kontekstual dengan Indonesia kekinian. Dia menjelaskan, merekonstruksi berarti konstruksi saat ini dinilai sudah gagal, maka harus ada pembangunan kembali sistem yang ada di Indonesia saat ini.



"Kami berharap banyak masukan tawaran rekonstruksi sistem dan rangkaian pramuktamar harus menjadi buku," kata Ma’mun Murod dalam sambutan pembukaan seminar.

Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Prof. Abdul Mu’ti, M.Ed., dalam sambutannya menjelaskan bahwa seminar ini sebagai upaya bagaimana mendapatkan masukan dan gagasan besar dari sejumlah akademisi dan tokoh.

Hal tersebut dalam rangka penyusunan muktamar dan kepentingan lebih luas yaitu memberikan sumbangan bagi keindonesiaan dan keumatan. Menurutnya, Muhammadiyah melihat adanya gejala pada sistem ketatanegaraan. Muhammadiyah menjadi bagian dari bangsa Indonesia yang konsen terhadap isu tersebut dan menjadikan Amal Usaha Muhammadiyah sebagai strategic partner dakwah.



Akademisi UI Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie menyinggung wacana penundaan pemilu. Jimly mengatakan bahwa bernegara adalah kegiatan dalam membuat keputusan bukan wacana yang hanya retorika yang mendisrupsi. "Harusnya kita mengambil jarak lebih jauh untuk melihat secara keseluruhan dan melakukan evaluasi," kata Jimly dalam seminar tersebut.

Menurutnya, perlu ada rekonstruksi ketatanegaraan. Pelembagaan politik di negara ini harus dimodernisasi. Menurutnya, sampai saat ini budayanya masih feodal, yakni tergantung pada figure. Maka yang harus dilakukan adalah penguatan sistem leadership bukan figure.

Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini, SH., MH, membahas Konstitusi dan Problematika Sistem Pemerintah Presidensial. Dalam pemaparannya, Titi Anggraini menjelaskan tentang naiknya indeks demokrasi Indonesia yang diluncurkan The Economics.

Menurutnya, ada kontradiksi dari factor yang menyebabkan kenaikan indeks. Selain itu, Titi juga menjelaskan bagaimana sistem presidensial membawa penyakit bagi stabilitas politik Indonesia. "Saya berpendapat bahwa Muhammadiyah memiliki peran yang sangat strategis untuk menjadi bagian dari kontrol," terangnya.

Mantan Komisioner KPU Dr. Endang Sulastri, M.Si, menjelaskan tentang Menata Ulang Lembaga Tambahan (State Auxiliary Bodies): Kedudukan, Fungsi, dan Optimalisasi. Dalam pemaparannya, Endang Sulastri banyak memberikan contoh lembaga tambahan yang perlu dipertanyakan kembali keefektifannya.

"Kita perlu melakukan penataan ulang dan merekonstruksi ulang lembaga tambahan dengan mengembalikan kepada UUD. Lembaga tambahan tidak boleh lepas dari konstitusi," katanya.

Pada akhir pemaparan, Endang juga memberikan statement tegas bahwa selama ini pemerintah tidak efektif dan efisien dalam membentuk lembaga-lembaga negara tambahan.

Pembicara selanjutnya, Peneliti di Pusat Penelitian Ekonomi (P2E), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof. Syarif Hidayat.

Syarif yang mengawali pemaparannya dengan menunjukan adanya silang kebijakan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang seharusnya tidak terjadi pada negara kesatuan yang menerapkan desentralisasi.

Revitalisasi konsep dan kebijakan desentralisasi menurutnya dapat dijadikan solusi untuk persoalan tersebut.

Sesi pertama ditutup oleh pemaparan dari Dr. Phil. Ridho Al-Hamdi, MA tentang Menata Ulang Sistem Pemilu: Partisipasi, Meritoktasi, dan Representasi.

Ridho Al-Hamdi mengevaluasi pelaksanaan pemilu 1999 sampai dengan 2024 sekaligus membandingkan sistem pemilu terbuka dan tertutup. Menurutnya, sistem terbuka lebih relevan dengan Indonesia, karena partisipasi pemilih cenderung lebih tinggi. Ada keterlibatan masyarakat di dalamnya.

Sistem terbuka juga lebih relevan untuk model representasi dengan segala kekurangannya. Kedua aspek tersebut terkait dengan konsep meritokrasi. Namun keduanya berdampak pada perilaku politik uang.
(mpw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2060 seconds (0.1#10.140)