Mahasiswa Doktoral Indonesia di Luar Negeri Harus Bangun Jejaring dan Berkolaborasi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Mahasiswa Indonesia yang melanjutkan pendidikan doktoral di luar negeri memiliki tanggung jawab dalam memecahkan persoalan bangsa. Mengingat sebagian besar permasalahan tersebut membutuhkan pemahaman dan pendekatan lintas ilmu (multidisipliner). Para mahasiswa tersebut diharapkan saling mengenal dan berkolaborasi.
Hal tersebut disampaikan Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI London, Khairul Munadi kepada para mahasiswa doktoral di Inggris. “Mahasiswa doktoral harus mampu memberikan kontribusi konkrit bagi Indonesia. Hal itu tidak dapat dilakukan bila melakukan riset sendiri-sendiri. Penting untuk saling bekerja sama dan berjejaring,” ujarnya Selasa (29/3).
Salah satu contoh permasalahan yang dihadapi Indonesia adalah perubahan iklim. Hal tersebut tidak hanya membutuhkan solusi dari kajian ilmu lingkungan, namun juga ekonomi, sosial dan berbagai bidang ilmu lainnya.
Khairul mengatakan pelajar Indonesia di luar negeri, khususnya yang menempuh studi doktoral di Inggris harus saling bekerja sama dan memobilisasi potensi-potensi yang ada agar berdampak untuk Indonesia. Mahasiswa doktoral yang memiliki riset sejenis harus saling melakukan harmonisasi agar hasil risetnya memiliki dampak lebih besar.
Gatot Subroto, Ketua Doctoral Epistemic of Indonesian in the United Kingdom (Doctrine-UK), sebuah organisasi independen, yang mempersatukan seluruh mahasiswa doktoral Indonesia dari berbagai universitas di Inggris Raya, mengungkapkan bahwa mahasiswa Indonesia di luar negeri merupakan aset bangsa yang strategis.
“Biaya satu orang mahasiswa Indonesia untuk menyelesaikan doktoral di Inggris mencapai hingga Rp 6 miliar. Mayoritas kami dibiayai oleh pemerintah Indonesia. Ini adalah sebuah investasi yang sangat besar. Oleh sebab itu, hasil risetnya harus berdampak signifikan pada negara,” ujarnya.
Oleh karena itu, ratusan mahasiswa doktoral Indonesia di Inggris membentuk wadah DoctrineUK. Organisasi kemahasiswaan ini bertujuan mengumpulkan seluruh mahasiswa Indonesia doktoral di Inggris, agar hasil riset mereka terhubung satu dengan lainnya.
Gatot, yang merupakan mahasiswa PhD di University College London, mengatakan organisasi tersebut juga memberikan dukungan agar seluruh mahasiswa doktoral Indonesia sukses menjalani studi. “Kami tidak ingin ada mahasiswa Indonesia yang menyendiri. Menjalani kuliah doktoral adalah hal yang sangat berat. Kita harus saling membantu,” ujar Gatot.
Dalam kesempatan yang sama, Atdikbud memaparkan beberapa tugas pokok yang dilakukan termasuk mendokumentasikan akreditasi perguruan tinggi di Inggris. Untuk itulah para mahasiswa tersebut diharapkan dapat mengajukan surat keterangan akreditasi program studi. Dokumen ini dibutuhkan bagi mahasiswa yang program studinya belum terdaftar di Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud-Ristek.
“Universitas-universitas di Inggris memiliki standar kualitas yang sangat baik. Namun mereka tidak memiliki sistem akreditasi yang sama dengan perguruan tinggi di Indonesia. Oleh karena itu, sebaiknya para mahasiswa mengajukan surat keterangan akreditasi,” ujar Khoirul.
Selain itu, ia juga memaparkan beragam jenis layanan untuk mendukung para mahasiswa doktoral. Di antaranya, surat keterangan selesai studi, surat keterangan akreditasi, surat keterangan pindah sekolah anak, dan pengisian sasaran kerja pegawai (SKP) bagi mahasiswa Aparatur Sipil Negara.
Selain layanan tersebut, Atase Pendidikan dan Kebudayaan juga siap memberikan layanan lain sesuai kebutuhan studi mahasiswa. “Untuk meningkatkan pelayanan, tahun ini kami akan membangun aplikasi agar layanan dapat diakses secara digital dan lebih cepat”, ujarnya.
Atase Pertahanan KBRI London Kolonel Faishal Ridlwan dan Koordinator Curhat Akademis Leeds Yoga Pratama juga turut menekankan pentingnya membangun jejaring di antara para mahasiswa doktoral.
Hal tersebut disampaikan Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI London, Khairul Munadi kepada para mahasiswa doktoral di Inggris. “Mahasiswa doktoral harus mampu memberikan kontribusi konkrit bagi Indonesia. Hal itu tidak dapat dilakukan bila melakukan riset sendiri-sendiri. Penting untuk saling bekerja sama dan berjejaring,” ujarnya Selasa (29/3).
Salah satu contoh permasalahan yang dihadapi Indonesia adalah perubahan iklim. Hal tersebut tidak hanya membutuhkan solusi dari kajian ilmu lingkungan, namun juga ekonomi, sosial dan berbagai bidang ilmu lainnya.
Khairul mengatakan pelajar Indonesia di luar negeri, khususnya yang menempuh studi doktoral di Inggris harus saling bekerja sama dan memobilisasi potensi-potensi yang ada agar berdampak untuk Indonesia. Mahasiswa doktoral yang memiliki riset sejenis harus saling melakukan harmonisasi agar hasil risetnya memiliki dampak lebih besar.
Gatot Subroto, Ketua Doctoral Epistemic of Indonesian in the United Kingdom (Doctrine-UK), sebuah organisasi independen, yang mempersatukan seluruh mahasiswa doktoral Indonesia dari berbagai universitas di Inggris Raya, mengungkapkan bahwa mahasiswa Indonesia di luar negeri merupakan aset bangsa yang strategis.
“Biaya satu orang mahasiswa Indonesia untuk menyelesaikan doktoral di Inggris mencapai hingga Rp 6 miliar. Mayoritas kami dibiayai oleh pemerintah Indonesia. Ini adalah sebuah investasi yang sangat besar. Oleh sebab itu, hasil risetnya harus berdampak signifikan pada negara,” ujarnya.
Oleh karena itu, ratusan mahasiswa doktoral Indonesia di Inggris membentuk wadah DoctrineUK. Organisasi kemahasiswaan ini bertujuan mengumpulkan seluruh mahasiswa Indonesia doktoral di Inggris, agar hasil riset mereka terhubung satu dengan lainnya.
Gatot, yang merupakan mahasiswa PhD di University College London, mengatakan organisasi tersebut juga memberikan dukungan agar seluruh mahasiswa doktoral Indonesia sukses menjalani studi. “Kami tidak ingin ada mahasiswa Indonesia yang menyendiri. Menjalani kuliah doktoral adalah hal yang sangat berat. Kita harus saling membantu,” ujar Gatot.
Dalam kesempatan yang sama, Atdikbud memaparkan beberapa tugas pokok yang dilakukan termasuk mendokumentasikan akreditasi perguruan tinggi di Inggris. Untuk itulah para mahasiswa tersebut diharapkan dapat mengajukan surat keterangan akreditasi program studi. Dokumen ini dibutuhkan bagi mahasiswa yang program studinya belum terdaftar di Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud-Ristek.
“Universitas-universitas di Inggris memiliki standar kualitas yang sangat baik. Namun mereka tidak memiliki sistem akreditasi yang sama dengan perguruan tinggi di Indonesia. Oleh karena itu, sebaiknya para mahasiswa mengajukan surat keterangan akreditasi,” ujar Khoirul.
Selain itu, ia juga memaparkan beragam jenis layanan untuk mendukung para mahasiswa doktoral. Di antaranya, surat keterangan selesai studi, surat keterangan akreditasi, surat keterangan pindah sekolah anak, dan pengisian sasaran kerja pegawai (SKP) bagi mahasiswa Aparatur Sipil Negara.
Selain layanan tersebut, Atase Pendidikan dan Kebudayaan juga siap memberikan layanan lain sesuai kebutuhan studi mahasiswa. “Untuk meningkatkan pelayanan, tahun ini kami akan membangun aplikasi agar layanan dapat diakses secara digital dan lebih cepat”, ujarnya.
Atase Pertahanan KBRI London Kolonel Faishal Ridlwan dan Koordinator Curhat Akademis Leeds Yoga Pratama juga turut menekankan pentingnya membangun jejaring di antara para mahasiswa doktoral.
(mpw)