Qonita, Alumni Unhas Sukses Raih Gelar Doktor di Irlandia Pada Usia 25 Tahun
loading...
A
A
A
JAKARTA - Qonita Kurnia Anjani adalah alumni Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin ( Unhas ) angkatan 2012 yang berhasil mengembangkan karier keilmuannya. Qonita berhasil meraih gelar doktor di Queen’s University Belfast, Irlandia Utara pada usia yang terbilang masih muda, 25 tahun.
Qonita memang tertarik dengan pengembangan obat-obatan sejak semester satu di Unhas. Ia mulai menekuni bidang penelitian tentang teknologi penghantaran obat, khususnya teknologi yang memungkinkan obat bisa masuk ke dalam kulit. Sejak itu, dirinya aktif mengikuti berbagai perlombaan yang berhubugan dengan penelitian di bidang farmasi.
Ketertarikannya tersebut kemudian dituangkan dalam skripsi yang membahas tentang gel. Belakangan ia tahu, ternyata di luar negeri sudah dikembangkan teknologi serupa yang lebih praktis, yaitu microneedle.
Baca: Sempat Alami Culture Shock, Ini Cerita Mahasiswi Unair Ikut IISMA ke Thailand
Qonita menjelaskan, bentuknya seperti patch yang dilengkapi dengan jarum-jarum mikro, yang dapat menghantarkan obat tanpa darah dan rasa sakit. Qonita awalnya terdaftar memperoleh beasiswa sebagai mahasiswa S2 di Queen’s University Belfast, dengan masa studi dua tahun.
Setelah melewati tahap initial review (evaluasi progres penelitian tiga bulan pertama), dosen pembimbing di Queen’s University Belfast melihat potensi penelitian yang ia garap, sehingga ia pun didorong melanjutkan penelitian S3. Pertimbangannya, penelitian yang Qonita lakukan memenuhi standar untuk program Ph.D.
“Sempat menolak waktu itu, apalagi mengingat beasiswa yang saya terima hanya untuk masa dua tahun, sedangkan untuk studi Ph.D membutuhkan waktu normal minimal 3 tahun. Saya cukup dilematis, karena merasa tidak mampu termasuk untuk bertahan hidup di luar negeri, dengan tambahan satu tahun tanpa bantuan beasiswa,” katanya, dilansir dari laman resmi Unhas, Jumat (13/5/2022).
Baca juga: 5 Kampus dengan Biaya Kuliah Murah di Australia
Namun, setelah melewati berbagai pertimbangan, Qonita akhirnya memilih untuk kembali melanjutkan pendidikan doktor dengan sisa waktu yang ada. Dalam pendidikan doktornya, penelitian yang diambil berjudul “Development of Antibiotic Microneedle Delivery Systems for Tuberculosis Treatment”.
Penelitian ini berfokus pada pengembangan teknologi microneedle patch untuk obat-obatan tuberkulosis. “Saat itu saya benar-benar mengerahkan segala kemampuan dan tenaga untuk mengejar tenggat waktu yang tersedia. Alhamdulillah, saya dapat selesai dalam waktu dua tahun tiga bulan,” tambah Qonita.
Menurut Qonita, saat kuliah di luar negeri sangat penting untuk mendapatkan dukungan dan lingkungan yang baik. Tidak hanya itu, berdoa dan berusaha semaksimal mungkin serta mengetahui minat bakat diri yang dimiliki melalui berbagai proses dan pengalaman.
Qonita memang tertarik dengan pengembangan obat-obatan sejak semester satu di Unhas. Ia mulai menekuni bidang penelitian tentang teknologi penghantaran obat, khususnya teknologi yang memungkinkan obat bisa masuk ke dalam kulit. Sejak itu, dirinya aktif mengikuti berbagai perlombaan yang berhubugan dengan penelitian di bidang farmasi.
Ketertarikannya tersebut kemudian dituangkan dalam skripsi yang membahas tentang gel. Belakangan ia tahu, ternyata di luar negeri sudah dikembangkan teknologi serupa yang lebih praktis, yaitu microneedle.
Baca: Sempat Alami Culture Shock, Ini Cerita Mahasiswi Unair Ikut IISMA ke Thailand
Qonita menjelaskan, bentuknya seperti patch yang dilengkapi dengan jarum-jarum mikro, yang dapat menghantarkan obat tanpa darah dan rasa sakit. Qonita awalnya terdaftar memperoleh beasiswa sebagai mahasiswa S2 di Queen’s University Belfast, dengan masa studi dua tahun.
Setelah melewati tahap initial review (evaluasi progres penelitian tiga bulan pertama), dosen pembimbing di Queen’s University Belfast melihat potensi penelitian yang ia garap, sehingga ia pun didorong melanjutkan penelitian S3. Pertimbangannya, penelitian yang Qonita lakukan memenuhi standar untuk program Ph.D.
“Sempat menolak waktu itu, apalagi mengingat beasiswa yang saya terima hanya untuk masa dua tahun, sedangkan untuk studi Ph.D membutuhkan waktu normal minimal 3 tahun. Saya cukup dilematis, karena merasa tidak mampu termasuk untuk bertahan hidup di luar negeri, dengan tambahan satu tahun tanpa bantuan beasiswa,” katanya, dilansir dari laman resmi Unhas, Jumat (13/5/2022).
Baca juga: 5 Kampus dengan Biaya Kuliah Murah di Australia
Namun, setelah melewati berbagai pertimbangan, Qonita akhirnya memilih untuk kembali melanjutkan pendidikan doktor dengan sisa waktu yang ada. Dalam pendidikan doktornya, penelitian yang diambil berjudul “Development of Antibiotic Microneedle Delivery Systems for Tuberculosis Treatment”.
Penelitian ini berfokus pada pengembangan teknologi microneedle patch untuk obat-obatan tuberkulosis. “Saat itu saya benar-benar mengerahkan segala kemampuan dan tenaga untuk mengejar tenggat waktu yang tersedia. Alhamdulillah, saya dapat selesai dalam waktu dua tahun tiga bulan,” tambah Qonita.
Menurut Qonita, saat kuliah di luar negeri sangat penting untuk mendapatkan dukungan dan lingkungan yang baik. Tidak hanya itu, berdoa dan berusaha semaksimal mungkin serta mengetahui minat bakat diri yang dimiliki melalui berbagai proses dan pengalaman.
(nz)