Mengurai Bahaya Laten PPDB yang Selalu Kisruh Tiap Tahun
loading...
A
A
A
JAKARTA - Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di Indonesia merupakan bahaya laten. Hampir setiap tahun proses PPDB selalu memunculkan kekisruhan yang menyisakan banyak cerita sedih. Butuh terobosan agar PPDB benar-benar berjalan transparan dan memenuhi kebutuhan pendidikan bagi anak-anak Indonesia.
Aristawidya Maheswari (15) tak bisa menyembunyikan gurat kesedihan di wajahnya. Meskipun dia banyak tersenyum saat menjawab pertanyaan, siswa dengan banyak prestasi itu kerap tertunduk saat menceritakan kronologi kegagalannya mengikuti PPDB di wilayah DKI Jakarta. Anak yatim-piatu itu akhirnya memutuskan untuk putus sekolah dan menunggu satu tahun agar bisa masuk bangku sekolah menengah atas. ”Agak sedih juga, tapi karena memang tidak masuk karena nilai. Nilai aku tidak terlalu tinggi, tidak terlalu rendah juga. Udah coba ke delapan sekolah, tapi tidak dapat juga," kata Arista di kediamannya, di Rusun Jatinegara Kaum, Pulo Gadung, Jakarta Timur, pekan lalu.
Siswa penerima 700 penghargaan seni lukis ini menuturkan, dirinya telah mencoba berbagai macam jalur PPDB. Dari jalur prestasi nonakademik, jalur afirmasi untuk pemegang Kartu Jakarta Pintar (KJP), zonasi, hingga prestasi akademik. Namun, Arista ternyata tetap gagal meraih kursi sekolah negeri. Dia sempat mencoba jalur tahap akhir pada 8 Juli 2020, yang dialokasikan dari peserta PPDB yang tidak mendaftar ulang serta siswa tidak naik kelas. Meski faktor usia tidak lagi dipertimbangkan dalam jalur terakhir itu, Arista kalah bersaing dalam perolehan pembobotan nilai. Alumnus SMPN 92 Jakarta itu hanya mengumpulkan total nilai 7.762,4. Total nilai itu didasarkan akumulasi nilai rata-rata rapor 81,71 dikalikan nilai akreditasi 9,5 poin. “Pada jalur terakhir ini aku mencoba di SMAN 12, 21, 36, 61, 53, 59, 45, dan 102. Tapi, rata-rata yang diterima nilainya 8.000-an,” katanya.
Siwi (60) nenek Arista, mengaku tidak mempunyai biaya jika harus menyekolahkan sang cucu ke sekolah swasta. Dia dan suaminya yang merupakan pensiunan pegawai swasta tidak mempunyai penghasilan tetap. “Kesehariannya ya kami dibantu untuk memenuhi kebutuhan hidup. Karena itu, berat biayanya kalau sekolah swasta,” ujar Siwi. (Baca: Kisruh PPDB, DPR Minta Kemendikbud Atur Lebih Rinci)
PPDB tahun 2020 juga menyisakan cerita sedih bagi banyak ibu rumah tangga. Pipiet, seorang ibu rumah tangga di Kota Tangerang, Banten, mengaku sedih melihat sang anak, Zulfan, selalu murung setelah gagal lolos seleksi di SMP Negeri 4 Kota Tangerang. Padahal, Pipiet mengaku telah membayar sejumlah uang kepada oknum guru untuk membantu proses seleksi sang anak. “Kasihan anaknya jadi murung karena belum jelas mau melanjutkan ke mana,” katanya.
Kesedihan yang sama juga dirasakan oleh seorang ibu asal Jember, Jawa Timur, Dwi Riska Hartoyo. Dia menuding PPDB di Jember berlangsung curang. Hal itu dibuktikan dengan kegagalan anaknya masuk dari jalur zonasi ke SMA Negeri 2 Jember. Padahal, jarak rumahnya di Jalan Danau Toba, Batu Raden hanya berjarak kurang dari 2 kilometer dari lokasi SMA Negeri 2 Jember di Jalan Jawa. Di sisi lain, dia menemukan banyak calon siswa dari Jenggawah yang jaraknya hampir 20 kilometer dari SMA Negeri 2 Jember malah diterima. “Mohon ya, Pak, rumah saya di Jalan Danau Toba, Batu Raden, jaraknya dari sekolah sekitar Rp1,5 – 1,6 kilometer. Sekarang yang dari Jenggawah dan Wuluhan bisa masuk SMA 2 itu dari mana? Sampai anak saya stres. Bagaimana saya? Sampai sekarang tidak mau masuk SMA 5. Sampai saya dibikin pusing sama anak saya,” kata Dwi, terisak, saat rapat dengar pendapat dengan anggota Komisi D DPRD Jember.
Sekolah Amanat Undang-Undang
Keterbatasan akses pendidikan di Indonesia disinyalir sebagai satu di antara pemicu kekisruhan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di setiap tahun ajaran baru. Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda meminta pemerintah mempertimbangkan konsep Sekolah Amanat Undang-Undang (SAU). Dengan konsep ini, operasional sekolah-sekolah swasta akan 100% dibiayai oleh pemerintah sehingga gap kualitas sekolah swasta dengan sekolah negeri bisa diminimalkan. “Konsep SAU adalah sekolah swasta yang 100% dibiayai pemerintah sehingga mempunyai kualitas seperti sekolah negeri. Dengan SAU ini, calon siswa maupun orang tua siswa kian banyak opsi dalam memilih sekolah yang berkualitas,” ujarnya kepada wartawan, Rabu (8/7/2020).
Huda mengungkapkan, keterbatasan akses menjadi satu di antara persoalan besar pendidikan di Indonesia. Kondisi ini satu di antaranya tercermin dari angka partisipasi murni (APM) nasional baik di tingkat SMA, SMP, maupun SD pada 2019. Di setiap jenjang pendidikan tersebut angka anak usia didik yang tidak bisa bersekolah masih cukup besar. Di tingkat sekolah menengah atas APM nasional di kisaran 40%, SMP 30%, dan SD 3%. “Keterbatasan akses ini salah satunya dipicu karena daya tampung sekolah negeri yang terbatas sehingga tidak bisa menampung seluruh anak usia didik di masing-masing jenjang. Maka wajar jika setiap tahun PPDB akan kisruh apa pun metodenya karena banyaknya pihak-pihak yang kecewa,” katanya.
SAU bisa menjadi solusi jangka pendek dan murah mengingat saat ini banyak sekolah-sekolah swasta yang sudah menyediakan layanan pendidikan. Hanya, sebagian besar sekolah-sekolah tersebut dikelola sekadarnya karena keterbatasan biaya. “Jika konsep SAU ini dilaksanakan, maka pemerintah hanya wajib menyediakan biaya operasional sekolah tanpa terbebani dengan urusan infrastruktur maupun ketersediaan sumber daya manusia (SDM),” ungkap Huda. (Baca juga: Aies Baswedan Bakal Pecat ASN yang Menyalahi Aturan)
Aristawidya Maheswari (15) tak bisa menyembunyikan gurat kesedihan di wajahnya. Meskipun dia banyak tersenyum saat menjawab pertanyaan, siswa dengan banyak prestasi itu kerap tertunduk saat menceritakan kronologi kegagalannya mengikuti PPDB di wilayah DKI Jakarta. Anak yatim-piatu itu akhirnya memutuskan untuk putus sekolah dan menunggu satu tahun agar bisa masuk bangku sekolah menengah atas. ”Agak sedih juga, tapi karena memang tidak masuk karena nilai. Nilai aku tidak terlalu tinggi, tidak terlalu rendah juga. Udah coba ke delapan sekolah, tapi tidak dapat juga," kata Arista di kediamannya, di Rusun Jatinegara Kaum, Pulo Gadung, Jakarta Timur, pekan lalu.
Siswa penerima 700 penghargaan seni lukis ini menuturkan, dirinya telah mencoba berbagai macam jalur PPDB. Dari jalur prestasi nonakademik, jalur afirmasi untuk pemegang Kartu Jakarta Pintar (KJP), zonasi, hingga prestasi akademik. Namun, Arista ternyata tetap gagal meraih kursi sekolah negeri. Dia sempat mencoba jalur tahap akhir pada 8 Juli 2020, yang dialokasikan dari peserta PPDB yang tidak mendaftar ulang serta siswa tidak naik kelas. Meski faktor usia tidak lagi dipertimbangkan dalam jalur terakhir itu, Arista kalah bersaing dalam perolehan pembobotan nilai. Alumnus SMPN 92 Jakarta itu hanya mengumpulkan total nilai 7.762,4. Total nilai itu didasarkan akumulasi nilai rata-rata rapor 81,71 dikalikan nilai akreditasi 9,5 poin. “Pada jalur terakhir ini aku mencoba di SMAN 12, 21, 36, 61, 53, 59, 45, dan 102. Tapi, rata-rata yang diterima nilainya 8.000-an,” katanya.
Siwi (60) nenek Arista, mengaku tidak mempunyai biaya jika harus menyekolahkan sang cucu ke sekolah swasta. Dia dan suaminya yang merupakan pensiunan pegawai swasta tidak mempunyai penghasilan tetap. “Kesehariannya ya kami dibantu untuk memenuhi kebutuhan hidup. Karena itu, berat biayanya kalau sekolah swasta,” ujar Siwi. (Baca: Kisruh PPDB, DPR Minta Kemendikbud Atur Lebih Rinci)
PPDB tahun 2020 juga menyisakan cerita sedih bagi banyak ibu rumah tangga. Pipiet, seorang ibu rumah tangga di Kota Tangerang, Banten, mengaku sedih melihat sang anak, Zulfan, selalu murung setelah gagal lolos seleksi di SMP Negeri 4 Kota Tangerang. Padahal, Pipiet mengaku telah membayar sejumlah uang kepada oknum guru untuk membantu proses seleksi sang anak. “Kasihan anaknya jadi murung karena belum jelas mau melanjutkan ke mana,” katanya.
Kesedihan yang sama juga dirasakan oleh seorang ibu asal Jember, Jawa Timur, Dwi Riska Hartoyo. Dia menuding PPDB di Jember berlangsung curang. Hal itu dibuktikan dengan kegagalan anaknya masuk dari jalur zonasi ke SMA Negeri 2 Jember. Padahal, jarak rumahnya di Jalan Danau Toba, Batu Raden hanya berjarak kurang dari 2 kilometer dari lokasi SMA Negeri 2 Jember di Jalan Jawa. Di sisi lain, dia menemukan banyak calon siswa dari Jenggawah yang jaraknya hampir 20 kilometer dari SMA Negeri 2 Jember malah diterima. “Mohon ya, Pak, rumah saya di Jalan Danau Toba, Batu Raden, jaraknya dari sekolah sekitar Rp1,5 – 1,6 kilometer. Sekarang yang dari Jenggawah dan Wuluhan bisa masuk SMA 2 itu dari mana? Sampai anak saya stres. Bagaimana saya? Sampai sekarang tidak mau masuk SMA 5. Sampai saya dibikin pusing sama anak saya,” kata Dwi, terisak, saat rapat dengar pendapat dengan anggota Komisi D DPRD Jember.
Sekolah Amanat Undang-Undang
Keterbatasan akses pendidikan di Indonesia disinyalir sebagai satu di antara pemicu kekisruhan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di setiap tahun ajaran baru. Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda meminta pemerintah mempertimbangkan konsep Sekolah Amanat Undang-Undang (SAU). Dengan konsep ini, operasional sekolah-sekolah swasta akan 100% dibiayai oleh pemerintah sehingga gap kualitas sekolah swasta dengan sekolah negeri bisa diminimalkan. “Konsep SAU adalah sekolah swasta yang 100% dibiayai pemerintah sehingga mempunyai kualitas seperti sekolah negeri. Dengan SAU ini, calon siswa maupun orang tua siswa kian banyak opsi dalam memilih sekolah yang berkualitas,” ujarnya kepada wartawan, Rabu (8/7/2020).
Huda mengungkapkan, keterbatasan akses menjadi satu di antara persoalan besar pendidikan di Indonesia. Kondisi ini satu di antaranya tercermin dari angka partisipasi murni (APM) nasional baik di tingkat SMA, SMP, maupun SD pada 2019. Di setiap jenjang pendidikan tersebut angka anak usia didik yang tidak bisa bersekolah masih cukup besar. Di tingkat sekolah menengah atas APM nasional di kisaran 40%, SMP 30%, dan SD 3%. “Keterbatasan akses ini salah satunya dipicu karena daya tampung sekolah negeri yang terbatas sehingga tidak bisa menampung seluruh anak usia didik di masing-masing jenjang. Maka wajar jika setiap tahun PPDB akan kisruh apa pun metodenya karena banyaknya pihak-pihak yang kecewa,” katanya.
SAU bisa menjadi solusi jangka pendek dan murah mengingat saat ini banyak sekolah-sekolah swasta yang sudah menyediakan layanan pendidikan. Hanya, sebagian besar sekolah-sekolah tersebut dikelola sekadarnya karena keterbatasan biaya. “Jika konsep SAU ini dilaksanakan, maka pemerintah hanya wajib menyediakan biaya operasional sekolah tanpa terbebani dengan urusan infrastruktur maupun ketersediaan sumber daya manusia (SDM),” ungkap Huda. (Baca juga: Aies Baswedan Bakal Pecat ASN yang Menyalahi Aturan)