Mendikbud Diminta Jelaskan Soal Asesmen Kompetensi Pengganti UN
A
A
A
JAKARTA - Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubeid Matraji menilai, wacana penghapusan Ujian Nasional (UN) dianggap sudah terlambat. Seharusnya pada 2020 sudah bisa dihapus tanpa menunggu 2021.
"Soal sistem asesmen publik masih bertanya-tanya gimana itu modelnya? Maka harus dijelaskan dengan gamblang agar publik mudah tahu," kata Ubeid saat dihubungi SINDOnews, Jumat (13/12/2019).
Menurut Ubeid, jika model asesmen kompetensi minimum dan survei karakter seperti menjawab soal-soal UN, maka model tersebut tak ubahnya seperti UN-UN yang dilakukan sebelumnya. Sehingga, dibutuhkan penjelasan yang berbeda dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tersebut.
Di sisi lain, kata Ubeid, bicara peningkatan kualitas pendidikan tak melulu mengevaluasi sistem belajar mengajar para siswa. Sebaliknya, evaluasi juga diterapkan terhadap tenaga pengajar atau guru. "Merdeka belajar itu juga harus dinulai dari gurunya. Gimana gurunya? Gak pernah dievaluasi," ungkapnya.
Mendikbud Nadiem Makariem sendiri meminta publik tak menjadikan wacana asesmen pendidikan pengganti UN. Dia mengaku istilah penghapusan yang terdengar 'bombastis' itu agar headline di media dan bisa diklik oleh pembaca. Nadiem menegaskan UN tidak dihapus.
Dia melanjutkan, asesmen kompetensi minimum hampir mirip dengan Programme for International Student Assessment (PISA) yaitu, literasi, numerasi dan survei karakter. "Karena kata dihapus itu sangat banyak kliknya, jadinya setiap kali dihapus itulah yang membuat orang membaca artikelnya. Tapi ya tentunya ini penyederhanaan yang cukup dramatis. Artinya tidak bisa dihapal, tidak ada buku bertumpuk-tumpuk yang harus dipelajari. Ini sekadar problem solving test, analisa tes, begitu," kata Nadiem.
"Soal sistem asesmen publik masih bertanya-tanya gimana itu modelnya? Maka harus dijelaskan dengan gamblang agar publik mudah tahu," kata Ubeid saat dihubungi SINDOnews, Jumat (13/12/2019).
Menurut Ubeid, jika model asesmen kompetensi minimum dan survei karakter seperti menjawab soal-soal UN, maka model tersebut tak ubahnya seperti UN-UN yang dilakukan sebelumnya. Sehingga, dibutuhkan penjelasan yang berbeda dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tersebut.
Di sisi lain, kata Ubeid, bicara peningkatan kualitas pendidikan tak melulu mengevaluasi sistem belajar mengajar para siswa. Sebaliknya, evaluasi juga diterapkan terhadap tenaga pengajar atau guru. "Merdeka belajar itu juga harus dinulai dari gurunya. Gimana gurunya? Gak pernah dievaluasi," ungkapnya.
Mendikbud Nadiem Makariem sendiri meminta publik tak menjadikan wacana asesmen pendidikan pengganti UN. Dia mengaku istilah penghapusan yang terdengar 'bombastis' itu agar headline di media dan bisa diklik oleh pembaca. Nadiem menegaskan UN tidak dihapus.
Dia melanjutkan, asesmen kompetensi minimum hampir mirip dengan Programme for International Student Assessment (PISA) yaitu, literasi, numerasi dan survei karakter. "Karena kata dihapus itu sangat banyak kliknya, jadinya setiap kali dihapus itulah yang membuat orang membaca artikelnya. Tapi ya tentunya ini penyederhanaan yang cukup dramatis. Artinya tidak bisa dihapal, tidak ada buku bertumpuk-tumpuk yang harus dipelajari. Ini sekadar problem solving test, analisa tes, begitu," kata Nadiem.
(cip)