Code of Conduct Laut China Selatan Harus Bisa Membatasi Perilaku Agresif China

Minggu, 17 September 2023 - 20:17 WIB
Direktur Eksekutif Pusat Riset ASEAN Universitas Padjajaran Bandung Dr. Teuku Rezasyah menilai urgensi diwujudkannya sebuah COC pada kawasan LCS tersebut. “Situasi di Laut Cina Selatan dapat dikatakan sangat mencekam, termasuk bagi Indonesia. Ini salah satunya karena 9 garis putus-putus (nine-dash line), yang baru saja berkembang menjadi 10 garis, menerabas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di perairan dekat Natuna dan beberapa ZEE negara-negara ASEAN lainnya,” katanya.

Menurut Teuku Rezasyah, perilaku dan aktivitas China di wilayah yang mereka klaim melalui 10 garis putus-putus itu berpotensi meningkatkan ketegangan bahkan konflik antara China di satu sisi dan Indonesia serta negara-negara sekitar di sisi lain. “Padahal, klaim wilayah oleh China yang ditandai garis putus-putus itu tidak ada menurut UNCLOS. Klaim itu hanya berdasarkan catatan sejarah China, yang menganggap bahwa nelayan-nelayan mereka sudah mengunjungi wilayah tersebut sejak ratusan atau bahkan ribuan tahun lalu,” papar Teuku.

Selain tidak berdasarkan UNCLOS, klaim 9 garis putus-putus juga tidak memiliki definisi yang jelas. “China memang sengaja mengaburkan agar terjadi kebingungan di kalangan negara-negara lain. Perlu dicatat bahwa China menganggap diri sebagai pusat dunia, sehingga negara-negara sekitar termasuk Asia Tenggara, dalam anggapan China perlu dijadikan beradab. Mereka tidak boleh membuat kebijakan yang bertentangan dengan China,” tutur Teuku.

Ia juga menekankan bahwa seiring dengan meningkatnya kekuatan ekonomi China, agresivitas negara tersebut juga turut meningkat. Dalam konteks inilah, menurut Teuku, COC, yang pada intinya seruan untuk menahan diri, diupayakan untuk segera terwujud. “Namun masih terdapat kesulitan-kesulitan, karena China meminta agar klaim mereka yang hanya didasarkan faktor historis semata, dan bukan berdasarkan UNCLOS, tetap dihargai,” katanya.

Teuku menekankan peran Indonesia yang sangat penting dalam upaya perwujudan COC di atas, meski dalam pandangannya jalan untuk COC betul betul terwujud sepertinya masih panjang. Namun ia mengatakan bahwa RI perlu terus mempertahankan perannya, sebagai semacam juru bicara untuk isu isu yang berhubungan dengan Laut China Selatan (LCS), meski Indonesia nanti tidak lagi menjadi ketua ASEAN.

Selain itu, peran diplomatik Indonesia itu perlu dibarengi dengan peningkatan nilai tawar kekuatan, antara lain dengan meningkatkan kredibilitas militer Indonesia. “Ini dapat dilakukan dengan memperbanyak latihan-latihan tempur dengan negara-negara yang lebih kuat,” tuturnya. Dalam pandangannya, latihan militer Garuda Shield atau Super Garuda Shield perlu dilanjutkan.

Pemerhati Hubungan Internasional dari UI Ristian Atriandi Supriyanto mengatakan bahwa strategi China di Laut China Selatan adalah mempertahankan ambiguitas. “China seolah-olah menekankan dukungan pada percepatan COC, tetapi baru saja kesepakatan percepatan COC diumumkan, China malah meningkatkan ekskalasi dengan merilis peta baru yang di dalamnya tercantum 10 garis putus putus yang mengklaim sebagian besar LCS—termasuk sebagian ZEE Indonesia di perairan Laut Natuna Utara—sebagai bagian dari teritori China,” tegas Ristian.

Menurut Ristian, ada beberapa tindakan provokatif China soal LCS yang bisa memicu ketegangan baru akhir-akhir ini. Dalam catatan Ristian, tindakan China itu misalnya dengan melakukan perilaku yang tak bertanggung jawab kepada kapal-kapal pembawa pasukan Filipina di sekitar Second Thomas Shoal dengan cara menyemprotkan air secara kuat kepada kapal Filipina. “Padahal itu berada di wilayah ZEE Filipina,”katanya.

Meski mendukung upaya perwujudan COC yang diharapkan dapat mencegah ketegangan-ketegangan yang muncul di masa mendatang, Ristian juga khawatir bila COC yang ada justru mengakodomasi kepentingan-kepentingan China, sehingga negeri tirai bambu itu dapat berperilaku sewenang-wenang. “Bila China berhasil mengikat negara-negara ASEAN melalui COC agar tidak melibatkan negara di luar kawasan, maka China dapat bertindak sewenang-wenang karena ia merupakan aktor lebih kuat dari negara-negara ASEAN,” tuturnya.

Itulah sebabnya Ristian menyatakan bahwa COC yang hasilnya serampangan seharusnya ditolak. “COC yang diwujudkan tidak boleh bersifat lunak, tetapi harus bisa mengekang perilaku agresif China,” pungkas akademisi yang sedang menyelesaikan disertasi doktor dari Australian National University itu.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More