Melatih Tenaga Pendidik, Mendeteksi Gangguan Kesehatan Mental pada Siswa
Senin, 13 Mei 2024 - 13:03 WIB
Founder KGSB Ruth Andriani memaparkan, kegiatan Pelatihan PFA Batch II merupakan kelanjutan kegiatan serupa yang pernah diadakan KGSB pada 2022 lalu. Tak cukup sekadar prihatin atas fenomena meningkatnya masalah gangguan mental di kalangan siswa Indonesia, KGSB ingin berperan serta membantu para tenaga pendidik agar memiliki kemampuan untuk memberikan pertolongan awal yang tepat bagi siswa penderitanya
“Kami memang ingin menjaring peserta sebanyak mungkin dan dari latar belakang yang lebih beragam untuk diberikan pembekalan dan pelatihan PFA. Kami berharap, semua orang, tak harus tenaga psikolog profesional, seharusnya memiliki perhatian terhadap potensi gangguan mental pada anak, serta bisa melakukan tindakan PFA untuk menyelamatkan kesehatan mental mereka seawal mungkin,” ujar Ruth.
Lita Patricia Lunanta, M.Psi, Psikolog dari Konsultan Psikologi Pelangi & Dosen Fakultas Psikologi Universitas Esa Unggul menambahkan PFA dapat dilakukan di mana saja. Idealnya segera dilakukan saat kontak pertama dengan klien atau biasanya segera setelah musibah. Tapi kalau baru ketahuan, bisa juga beberapa hari atau minggu bahkan beberapa bulan kemudian,” jelas Lita.
Pada sesi roleplay, peserta dibagi dalam kelas-kelas kecil dengan pendampingan para fasilitator dari Alumni Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Dalam sesi ini, masing-masing peserta bergantian peran sebagai guru dan siswa. Mereka diminta mempraktikkan contoh komunikasi buruk (bad communication) serta komunikasi baik (good communication) saat konseling terkait problem mental health yang dialami siswa.
Melalui permainan tersebut, peserta bisa mendapatkan perspektif baru dari sudut pandang siswa. Selain itu, mereka juga bisa langsung mempratikkan ilmu PFA yang telah dijabarkan oleh narasumber yaitu ‘Look, Listen dan Link’.
Reneta Kristiani, M.Psi, Psikolog, Founder Konsultan Psikologi Pelangi & Dosen Fakultas Psikologi UNIKA Atma Jaya memaparkan, prinsip utama dari tindakan PFA adalah Look, Listen, dan Link (lihat, dengarkan, dan tautkan).
Pada tahap Look, penting bagi guru untuk terlebih dahulu menilai keadaan dari peristiwa yang sedang terjadi serta tentang (profil) siswa yang membutuhkan bantuan. Juga harus bisa dinilai risiko (keselamatan dan keamanan siswa bersangkutan) misalnya apakah ada cedera fisik, bagaimana pemenuhan kebutuhan primer dan mendasar dari siswa tersebut, serta bagaimana reaksi emosional mereka.
Pada tahapan Listen, asesmen yang diberikan antara lain dengan mendengarkan, mengerti, mengeksplorasi, mendorong, dan mencari solusi. Guru harus serius memperhatikan dan mendengarkan siswa tersebut secara aktif, mampu memahami perasaannya, bisa menenangkannya terkait situasi krisis yang tengah mereka derita, menanyakan apa kebutuhan dan kekhawatiran mereka, serta mampu membantu menyelesaikan kebutuhannya yang mendesak dan memecahkan permasalahannya.
Tahapan terakhir yakni Link adalah menghubungkan siswa dengan orang atau pihak lain sesuai dengan kebutuhannya. Bila siswa membutuhkan penanganan medis dapat dirujuk ke dokter. Bila siswa membutuhkan konseling lebih lanjut bisa dirujuk ke konselor atau psikolog. Bila sudah ada gangguan psikologis yang membutuhkan pengobatan lebih lanjut bisa dirujuk ke psikiater.
“Kami memang ingin menjaring peserta sebanyak mungkin dan dari latar belakang yang lebih beragam untuk diberikan pembekalan dan pelatihan PFA. Kami berharap, semua orang, tak harus tenaga psikolog profesional, seharusnya memiliki perhatian terhadap potensi gangguan mental pada anak, serta bisa melakukan tindakan PFA untuk menyelamatkan kesehatan mental mereka seawal mungkin,” ujar Ruth.
Lita Patricia Lunanta, M.Psi, Psikolog dari Konsultan Psikologi Pelangi & Dosen Fakultas Psikologi Universitas Esa Unggul menambahkan PFA dapat dilakukan di mana saja. Idealnya segera dilakukan saat kontak pertama dengan klien atau biasanya segera setelah musibah. Tapi kalau baru ketahuan, bisa juga beberapa hari atau minggu bahkan beberapa bulan kemudian,” jelas Lita.
Look, Listen dan Link sebagai Tindakan Awal
Pada sesi roleplay, peserta dibagi dalam kelas-kelas kecil dengan pendampingan para fasilitator dari Alumni Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Dalam sesi ini, masing-masing peserta bergantian peran sebagai guru dan siswa. Mereka diminta mempraktikkan contoh komunikasi buruk (bad communication) serta komunikasi baik (good communication) saat konseling terkait problem mental health yang dialami siswa.
Melalui permainan tersebut, peserta bisa mendapatkan perspektif baru dari sudut pandang siswa. Selain itu, mereka juga bisa langsung mempratikkan ilmu PFA yang telah dijabarkan oleh narasumber yaitu ‘Look, Listen dan Link’.
Reneta Kristiani, M.Psi, Psikolog, Founder Konsultan Psikologi Pelangi & Dosen Fakultas Psikologi UNIKA Atma Jaya memaparkan, prinsip utama dari tindakan PFA adalah Look, Listen, dan Link (lihat, dengarkan, dan tautkan).
Pada tahap Look, penting bagi guru untuk terlebih dahulu menilai keadaan dari peristiwa yang sedang terjadi serta tentang (profil) siswa yang membutuhkan bantuan. Juga harus bisa dinilai risiko (keselamatan dan keamanan siswa bersangkutan) misalnya apakah ada cedera fisik, bagaimana pemenuhan kebutuhan primer dan mendasar dari siswa tersebut, serta bagaimana reaksi emosional mereka.
Pada tahapan Listen, asesmen yang diberikan antara lain dengan mendengarkan, mengerti, mengeksplorasi, mendorong, dan mencari solusi. Guru harus serius memperhatikan dan mendengarkan siswa tersebut secara aktif, mampu memahami perasaannya, bisa menenangkannya terkait situasi krisis yang tengah mereka derita, menanyakan apa kebutuhan dan kekhawatiran mereka, serta mampu membantu menyelesaikan kebutuhannya yang mendesak dan memecahkan permasalahannya.
Tahapan terakhir yakni Link adalah menghubungkan siswa dengan orang atau pihak lain sesuai dengan kebutuhannya. Bila siswa membutuhkan penanganan medis dapat dirujuk ke dokter. Bila siswa membutuhkan konseling lebih lanjut bisa dirujuk ke konselor atau psikolog. Bila sudah ada gangguan psikologis yang membutuhkan pengobatan lebih lanjut bisa dirujuk ke psikiater.
Lihat Juga :
tulis komentar anda