SINDOnews Goes To Campus: Dosen UPN Veteran Jakarta Berbagi Cara Antisipasi Disinformasi
Rabu, 05 Juni 2024 - 22:48 WIB
JAKARTA - Koorprodi Ilmu Komunikasi FISIP UPN Veteran Jakarta Azwar berbagi cara mengantisipasi dampak buruk dari terjadinya misinformasi, disinformasi, dan malinformasi. Azwar membeberkan sejumlah cara yang bisa dilakukan masyarakat.
"Kita melihat dunia berubah, perubahan itu salah satunya terkait bagaimana kita bermedia dan bagaimana media itu berjalan," ujar Azwar dalam Talkshow SINDOnews Goes To Campus di Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta, Rabu (5/6/2024).
Dia menuturkan, perubahan itu terjadi lantaran kebiasaan masyarakat pun berubah dalam bermedia. Namun, perubahan itu tak selalu dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat, tapi juga dimanfaatkan untuk hal negatif.
"Seharusnya perubahan ini bisa dimanfaatkan untuk hal positif, contohnya mungkin dahulu agak susah kita mengakses informasi, apalagi di daerah. Sekarang tak begitu, sekarang (berita atau informasi) di produksi 1 menit lalu sudah sampai ke pelosok nusantara ini, itu seharusnya disikapi dengan baik," tuturnya.
Dia menerangkan, akibat pemanfaatan negatif, muncul misinformasi, disinformasi, dan malinformasi. Ketiga hal itu berdampak buruk bagi masyarakat, apalagi pada kehidupan berbangsa dan bernegara.
"Bagi saya misinformasi, disinformasi, dan malinformasi ini berdampak buruk terhadap kita, terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Saya menyebutkan mengancam keutuhan bangsa," terangnya.
Dia mengungkapkan, misinformasi itu berita salah, tapi itu terjadi karena ketidahtahuan jika itu salah. Disinformasi itu konten-konten yang dipahami itu salah kemudian terlibat dalam menyebarluaskannya, bahkan memproduksinya, dan itu sangat berbahaya.
"Disinformasi berbahaya bagi kita pribadi, untuk anak keturunan nanti, dan berbahaya untuk bangsa secara umum. Lalu bagaimana cara memitigasinya? Pertama, sebelum ada disinformasi, perlu adanya literasi digital," ungkapnya.
Azwar mengingatkan ada juga media jadi-jadian alias yang pura-pura menjadi media massa. Media jadi-jadian ini bukan media massa yang menampilkan produk jurnalistik.
Maka itu, menurut dia, masyarakat perlu menumbuhkan kepercayaan kepada media konvensional. Misalnya, media yang tercatat di Dewan Pers. Kemudian, kantor medianya jelas ada, termasuk siapa bosnya. Dia mengimbau jangan mengakses media yang kantornya saja tak tahu dan tak jelas di mana, begitu juga siapa pemimpinnya.
"Kita juga bisa meningkatkan peran lembaga negara, salah satunya Dewan Pers dan seterusnya, Kemenkominfo dan seterusnya. Meningkatkan partisipasi kita sebagai warga negara, kita tak bisa biarkan informasi salah itu terus beredar di tengah kita semua. Ada istilah cukup sampai di kita kalau ada informasi yang menurut kita salah," pungkasnya.
Lihat Juga: Kolaborasi Riset Mahasiswa dan Dosen Prodi MIK UPNVJ Jadi Best Paper dalam Open Society Conference 2024
"Kita melihat dunia berubah, perubahan itu salah satunya terkait bagaimana kita bermedia dan bagaimana media itu berjalan," ujar Azwar dalam Talkshow SINDOnews Goes To Campus di Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta, Rabu (5/6/2024).
Dia menuturkan, perubahan itu terjadi lantaran kebiasaan masyarakat pun berubah dalam bermedia. Namun, perubahan itu tak selalu dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat, tapi juga dimanfaatkan untuk hal negatif.
Baca Juga
"Seharusnya perubahan ini bisa dimanfaatkan untuk hal positif, contohnya mungkin dahulu agak susah kita mengakses informasi, apalagi di daerah. Sekarang tak begitu, sekarang (berita atau informasi) di produksi 1 menit lalu sudah sampai ke pelosok nusantara ini, itu seharusnya disikapi dengan baik," tuturnya.
Dia menerangkan, akibat pemanfaatan negatif, muncul misinformasi, disinformasi, dan malinformasi. Ketiga hal itu berdampak buruk bagi masyarakat, apalagi pada kehidupan berbangsa dan bernegara.
"Bagi saya misinformasi, disinformasi, dan malinformasi ini berdampak buruk terhadap kita, terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Saya menyebutkan mengancam keutuhan bangsa," terangnya.
Dia mengungkapkan, misinformasi itu berita salah, tapi itu terjadi karena ketidahtahuan jika itu salah. Disinformasi itu konten-konten yang dipahami itu salah kemudian terlibat dalam menyebarluaskannya, bahkan memproduksinya, dan itu sangat berbahaya.
"Disinformasi berbahaya bagi kita pribadi, untuk anak keturunan nanti, dan berbahaya untuk bangsa secara umum. Lalu bagaimana cara memitigasinya? Pertama, sebelum ada disinformasi, perlu adanya literasi digital," ungkapnya.
Azwar mengingatkan ada juga media jadi-jadian alias yang pura-pura menjadi media massa. Media jadi-jadian ini bukan media massa yang menampilkan produk jurnalistik.
Maka itu, menurut dia, masyarakat perlu menumbuhkan kepercayaan kepada media konvensional. Misalnya, media yang tercatat di Dewan Pers. Kemudian, kantor medianya jelas ada, termasuk siapa bosnya. Dia mengimbau jangan mengakses media yang kantornya saja tak tahu dan tak jelas di mana, begitu juga siapa pemimpinnya.
"Kita juga bisa meningkatkan peran lembaga negara, salah satunya Dewan Pers dan seterusnya, Kemenkominfo dan seterusnya. Meningkatkan partisipasi kita sebagai warga negara, kita tak bisa biarkan informasi salah itu terus beredar di tengah kita semua. Ada istilah cukup sampai di kita kalau ada informasi yang menurut kita salah," pungkasnya.
Lihat Juga: Kolaborasi Riset Mahasiswa dan Dosen Prodi MIK UPNVJ Jadi Best Paper dalam Open Society Conference 2024
(rca)
tulis komentar anda