Setahun Jokowi-Ma'ruf, Komisi X: Dunia Pendidikan Masih Gagap akibat Pandemi
Rabu, 21 Oktober 2020 - 19:10 WIB
”Harusnya sejak dari awal harus diantisipasi jika social distancing saat pandemi Covid-19 mengharuskan siswa belajar dari rumah. Oleh karena itu harus ada penyesuaian beban kurikulum, tapi ternyata kurikulum adaptif itu baru dirilis pertengahan Agustus atau hampir enam bulan setelah kasus Covid-19 merebak,” katanya.
Kendati demikian, Huda memberikan apresiasi terhadap politik anggaran Kemendikbud yang merespons dampak krisis ekonomi di bidang Pendidikan. Pihaknya mencatat Kemendikbud melakukan mengeluarkan kebijakan relaksasi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) di mana kepala sekolah diberikan kelonggaran dalam penggunaan anggaran termasuk untuk menggaji guru honorer atau membeli pulsa untuk kebutuhan PJJ. (Baca juga: Dunia Pendidikan Indonesia Belum Memiliki Peta Jalan yang Jelas )
Kemendikbud juga melakukan kebijakan pemberian Dana BOS afirmasi bagi sekolah swasta. “Jumlah alokasi dana BOS afirmasi dan kinerja sebesar Rp3,2 triliun dengan sasaran sebanyak 56.115 sekolah di 32.321 desa/kelurahan daerah khusus,” katanya
Untuk pendidikan tinggi, kata Huda, Kemendikbud juga memberikan relaksasi pembayaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) bagi mahasiswa PTN terdampak pandemi. Mereka bisa mengajukan penundaan pembayaran, meminta keringan hingga meminta bantuan UKT kepada rektor masing-masing. Selain itu, Kemendikbud juga menyiapkan anggaran Rp1 triliun untuk 400.000 bantuan UKT mahasiswa.
Hal yang tidak kalah penting adalah Kemendikbud juga mengalokasikan anggaran hingga hampir Rp7 triliun untuk bantuan pembelian pulsa internet bagi peserta didik dan tenaga pengajar mulai dari PAUD hingga Perguruan Tinggi. “Kami menilai subsidi kuota internet ini cukup krusial dilakukan karena hampir semua aktivitas pendidikan dilakukan secara daring. Kami memberikan apresiasi atas kebijakan Kemendikbud ini,” katanya.
Ke depan, kata Huda, Kemendikbud harus memperbaiki sektor komunikasi publik. Dalam satu tahun terakhir, menurutnya muncul banyak kegaduhan akibat ketidakmampuan Kemendikbud dalam mengelola komunikasi publik ini. Kegaduhan Program Organisasi Penggerak (POP) menjadi contoh konkret betapa buruknya komunikasi publik Kemendikbud.
Turunan Program Merdeka Belajar ini ternyata menimbulkan polemik berkepanjangan di mana banyak elemen masyarakat yang protes terkait ketidakjelasan mekanisme rekruitmen dan indikator entitas pendidikan yang masuk POP. Akhirnya POP tersebut harus ditunda. Selain itu juga publik juga digaduhkan dengan kebijakan Kemendikbud dalam menggandeng Netflix, jargon Merdeka Belajar yang ternyata merek swasta, dan somasi pemilik film yang karyanya digunakan untuk materi belajar dari rumah.
”Menurut kami kegaduhan-kegaduhan ini muncul akibat kurang bagusnya Kemendikbud dalam mengelola komunikasi mereka. Oleh karena itu, kedepan kami meminta agar hal tersebut bisa diperbaiki sehingga kerja besar Pendidikan tidak tersandera oleh hal-hal kecil yang bisa diselesaikan dengan komunikasi yang baik,” katanya.
Perbaikan komunikasi tersebut, lanjut Huda, juga harus dilakukan khususnya untuk wacana perbaikan kurikulum pendidikan di Tanah Air. Menurutnya, perbaikan kurikulum merupakan kerja besar yang harus dikaji secara matang dengan mempertimbangkan pandangan dari banyak kalangan. Jangan sampai publik kembali dikejutkan dengan bocornya rencana penghapusan mata pelajaran agama yang hendak digabung dengan mata pelajaran moral-Pancasila, atau kebijakan menjadikan pelajaran sejaran sebagai mata pelajaran pilihan.
”Kami berharap khusus untuk kurikulum ini Kemendikbud harus benar-benar hati-hati karena perubahan kurikulum akan berdampak besar pada wajah pendidikan di Tanah Air. Oleh karena itu, rencana tersebut harus dikomunikasikan secara baik dengan para pemangku kepentingan pendidikan di Indonesia,” pungkasnya.
Kendati demikian, Huda memberikan apresiasi terhadap politik anggaran Kemendikbud yang merespons dampak krisis ekonomi di bidang Pendidikan. Pihaknya mencatat Kemendikbud melakukan mengeluarkan kebijakan relaksasi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) di mana kepala sekolah diberikan kelonggaran dalam penggunaan anggaran termasuk untuk menggaji guru honorer atau membeli pulsa untuk kebutuhan PJJ. (Baca juga: Dunia Pendidikan Indonesia Belum Memiliki Peta Jalan yang Jelas )
Kemendikbud juga melakukan kebijakan pemberian Dana BOS afirmasi bagi sekolah swasta. “Jumlah alokasi dana BOS afirmasi dan kinerja sebesar Rp3,2 triliun dengan sasaran sebanyak 56.115 sekolah di 32.321 desa/kelurahan daerah khusus,” katanya
Untuk pendidikan tinggi, kata Huda, Kemendikbud juga memberikan relaksasi pembayaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) bagi mahasiswa PTN terdampak pandemi. Mereka bisa mengajukan penundaan pembayaran, meminta keringan hingga meminta bantuan UKT kepada rektor masing-masing. Selain itu, Kemendikbud juga menyiapkan anggaran Rp1 triliun untuk 400.000 bantuan UKT mahasiswa.
Hal yang tidak kalah penting adalah Kemendikbud juga mengalokasikan anggaran hingga hampir Rp7 triliun untuk bantuan pembelian pulsa internet bagi peserta didik dan tenaga pengajar mulai dari PAUD hingga Perguruan Tinggi. “Kami menilai subsidi kuota internet ini cukup krusial dilakukan karena hampir semua aktivitas pendidikan dilakukan secara daring. Kami memberikan apresiasi atas kebijakan Kemendikbud ini,” katanya.
Ke depan, kata Huda, Kemendikbud harus memperbaiki sektor komunikasi publik. Dalam satu tahun terakhir, menurutnya muncul banyak kegaduhan akibat ketidakmampuan Kemendikbud dalam mengelola komunikasi publik ini. Kegaduhan Program Organisasi Penggerak (POP) menjadi contoh konkret betapa buruknya komunikasi publik Kemendikbud.
Turunan Program Merdeka Belajar ini ternyata menimbulkan polemik berkepanjangan di mana banyak elemen masyarakat yang protes terkait ketidakjelasan mekanisme rekruitmen dan indikator entitas pendidikan yang masuk POP. Akhirnya POP tersebut harus ditunda. Selain itu juga publik juga digaduhkan dengan kebijakan Kemendikbud dalam menggandeng Netflix, jargon Merdeka Belajar yang ternyata merek swasta, dan somasi pemilik film yang karyanya digunakan untuk materi belajar dari rumah.
”Menurut kami kegaduhan-kegaduhan ini muncul akibat kurang bagusnya Kemendikbud dalam mengelola komunikasi mereka. Oleh karena itu, kedepan kami meminta agar hal tersebut bisa diperbaiki sehingga kerja besar Pendidikan tidak tersandera oleh hal-hal kecil yang bisa diselesaikan dengan komunikasi yang baik,” katanya.
Perbaikan komunikasi tersebut, lanjut Huda, juga harus dilakukan khususnya untuk wacana perbaikan kurikulum pendidikan di Tanah Air. Menurutnya, perbaikan kurikulum merupakan kerja besar yang harus dikaji secara matang dengan mempertimbangkan pandangan dari banyak kalangan. Jangan sampai publik kembali dikejutkan dengan bocornya rencana penghapusan mata pelajaran agama yang hendak digabung dengan mata pelajaran moral-Pancasila, atau kebijakan menjadikan pelajaran sejaran sebagai mata pelajaran pilihan.
”Kami berharap khusus untuk kurikulum ini Kemendikbud harus benar-benar hati-hati karena perubahan kurikulum akan berdampak besar pada wajah pendidikan di Tanah Air. Oleh karena itu, rencana tersebut harus dikomunikasikan secara baik dengan para pemangku kepentingan pendidikan di Indonesia,” pungkasnya.
tulis komentar anda