Minat Membaca Masyarakat Masih Rendah, Saatnya Dijadikan Budaya Mainstream
Senin, 18 Mei 2020 - 04:01 WIB
JAKARTA - Rendahnya minat baca bangsa Indonesia di Hari Buku Nasional, Minggu (17/5/2020), menjadi tamparan keras bagi semua pihak untuk membenahi tata kelola pendidikan dan juga budaya membaca di Tanah Air. Wakil Ketua Komisi X DPR Abdul Fikri Faqih mengajak semua pihak dari lintas sektor untuk menjadikan membaca menjadi budaya arus utama (mainstream).
“Kita ini sudah sejak 2000 sampai 2018 indeks literasi 371, angkanya tetap selama 18 tahun. Kalau 2020 disurvei kemungkinan sama. Berarti sudah 20 tahun indeks literasi kita stagnan. Memang perlu ada usaha. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mesti sinergi, karena Kemendikbud sudah menyatu dengan Dikti, seharusnya bisa lebih sederhana (kebijakannya),” kata Fikri saat dihubungi SINDOnews, Minggu (17/5/2020).
Fikri menuturkan, mencari pengetahuan itu caranya dengan membaca, apapun konsentrasi ilmunya didapat dengan cara membaca. Untuk itu, antar kementerian/lembaga dan juga semua pihak harus bersinergi untuk meningkatkan indeks literasi Indonesia.
Berdasarkan survei Litbang Kemendikbud, kata Fikri, terdapat 4 variabel yang dinilai terkait dengan literasi, yakni, kecakapan, akses, budaya, dan alternatif. Variabel yang sudah bagus indeksnya adalah kecakapan dan kebudayaan, dimana angka buta huruf sudah relatif rendah. Sedangkan variabel akses masih menjadi kendala meskipun perpustakaan sudah dibangun di berbagai daerah.
“Yang masih rendah itu akses loh, padahal perpusatakaan dibangun di mana-mana. Tapi mungkin itu kurang relevan dari segi jumlah dan sebagainya, karena orang-orang seperti sekarang, apalagi WFH harus menghadirkan perpustakaan di rumah, harus dekat dengan masyarakat, bagaimana caranya. Padahal kita mengikuti yang konvensional saja, perputakaan umum, provinsi, kabupaten/kota, itu saja masih belum memadai,” terang Fikri.
Variable alternatif atau digital menjadi salah satu elemen penting di era digital ini. Sehingga, buku-buku yang ada seharusnya sudah mulai digitalisasi. Soal budaya, meskipun indeksnya sudah baik, perlu ada pergeseran budaya di Indonesia. Sebelumnya budaya mendongeng folk culture menjadi budaya menulis dan membaca. Hal itu semua tidak bisa hanya menjadi tanggung jawab Perpusnas dan Kemendikbud.
“Urutan kita selalu 3 dari bawah, 4 dari bawah, selalu dari bawah. Masa kita hanya di atas sedikit dari Afrika. Kalau Afrika dipahami karena perbudakan masih ada di sana, kita kan enggak ada perbudakan, sudah 70 tahun lebih merdeka. Korsel yang tahun merdekanya sama dengan Indonesia Sudah melejit begitu rupa, bahkan sekarang literasinya melesat naik. Mana Indonesia?” sesalnya.
Karena itu, mantan guru ini menegaskan, apa yang menjadi hasil dari survei itu harus menjadi perhatian bersama dan yang masih rendah harus diperbaiki. Semestinya akses membaca hari ini bisa dipermudah dan diperluas. Ini tanggung jawab kolektif untuk menjadikan membaca menjadi budaya mainstream di Indonesia.
“Harus dengan lintas sektor dan bersama-sama mengarus-utamakan atau mainstreaming budaya membaca,” pungkasnya.
“Kita ini sudah sejak 2000 sampai 2018 indeks literasi 371, angkanya tetap selama 18 tahun. Kalau 2020 disurvei kemungkinan sama. Berarti sudah 20 tahun indeks literasi kita stagnan. Memang perlu ada usaha. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mesti sinergi, karena Kemendikbud sudah menyatu dengan Dikti, seharusnya bisa lebih sederhana (kebijakannya),” kata Fikri saat dihubungi SINDOnews, Minggu (17/5/2020).
Fikri menuturkan, mencari pengetahuan itu caranya dengan membaca, apapun konsentrasi ilmunya didapat dengan cara membaca. Untuk itu, antar kementerian/lembaga dan juga semua pihak harus bersinergi untuk meningkatkan indeks literasi Indonesia.
Berdasarkan survei Litbang Kemendikbud, kata Fikri, terdapat 4 variabel yang dinilai terkait dengan literasi, yakni, kecakapan, akses, budaya, dan alternatif. Variabel yang sudah bagus indeksnya adalah kecakapan dan kebudayaan, dimana angka buta huruf sudah relatif rendah. Sedangkan variabel akses masih menjadi kendala meskipun perpustakaan sudah dibangun di berbagai daerah.
“Yang masih rendah itu akses loh, padahal perpusatakaan dibangun di mana-mana. Tapi mungkin itu kurang relevan dari segi jumlah dan sebagainya, karena orang-orang seperti sekarang, apalagi WFH harus menghadirkan perpustakaan di rumah, harus dekat dengan masyarakat, bagaimana caranya. Padahal kita mengikuti yang konvensional saja, perputakaan umum, provinsi, kabupaten/kota, itu saja masih belum memadai,” terang Fikri.
Variable alternatif atau digital menjadi salah satu elemen penting di era digital ini. Sehingga, buku-buku yang ada seharusnya sudah mulai digitalisasi. Soal budaya, meskipun indeksnya sudah baik, perlu ada pergeseran budaya di Indonesia. Sebelumnya budaya mendongeng folk culture menjadi budaya menulis dan membaca. Hal itu semua tidak bisa hanya menjadi tanggung jawab Perpusnas dan Kemendikbud.
“Urutan kita selalu 3 dari bawah, 4 dari bawah, selalu dari bawah. Masa kita hanya di atas sedikit dari Afrika. Kalau Afrika dipahami karena perbudakan masih ada di sana, kita kan enggak ada perbudakan, sudah 70 tahun lebih merdeka. Korsel yang tahun merdekanya sama dengan Indonesia Sudah melejit begitu rupa, bahkan sekarang literasinya melesat naik. Mana Indonesia?” sesalnya.
Karena itu, mantan guru ini menegaskan, apa yang menjadi hasil dari survei itu harus menjadi perhatian bersama dan yang masih rendah harus diperbaiki. Semestinya akses membaca hari ini bisa dipermudah dan diperluas. Ini tanggung jawab kolektif untuk menjadikan membaca menjadi budaya mainstream di Indonesia.
“Harus dengan lintas sektor dan bersama-sama mengarus-utamakan atau mainstreaming budaya membaca,” pungkasnya.
(thm)
tulis komentar anda