3 Profesor Dunia Tawarkan 3 Rekomendasi Untuk Isu Prioritas Presidensi G20 Indonesia
Sabtu, 18 Juni 2022 - 11:52 WIB
Baca juga: Tingkatkan Akses Pendidikan Tinggi, UT Jalin Kerja Sama dengan Pemkab Kerinci
Sementara itu, dalam bidang transisi energi, Prof. Frank Jotzo melihat sistem energi masa depan dunia bukan lagi bergantung pada bahan bakar fosil, melainkan pada energi terbarukan. Transisi ini tidak mudah bagi produsen dan eksportir bahan bakar fosil besar, seperti Indonesia dan Australia. Oleh karena itu, diperlukan sistem kerja sama yang adil dan transparan untuk memberikan peluang investasi bagi negara-negara tersebut untuk menciptakan produktivitas ekonomi internasional selama beberapa dekade.
Terbukanya peluang kerja sama ekonomi antara Indonesia, Australia, dan negara-negara G20 lainnya akan melahirkan inovasi, investasi swasta, serta kemudahan dalam regulasi dan kebijakan. Ke depannya, yang harus dijalankan negara-negara ini adalah memobilisasi investasi untuk energi terbarukan, industri berat yang dimodernisasi, serta sistem transportasi yang diperbarui.
Diharapkan, transisi energi tanpa karbon menjadi terjangkau dan menjadi investasi besar pada 2020–2030-an untuk produktivitas jangka panjang. Sistem energi dunia sebagian besar akan bergantung pada energi terbarukan sehingga peluang perdagangan terbuka untuk energi ramah lingkungan.
Dalam isu transformasi digital dan ekonomi, Prof. Glenn menyoroti adanya kesenjangan digital di beberapa negara, terutama negara yang memiliki akses internet terbatas. Kesenjangan ini terjadi karena tiga hal, yaitu belum terlayani karena tidak ada penyedia broadband di rumah atau bisnis; kurang terlayani karena tidak ada penyedia yang menawarkan layanan yang memenuhi standar, misalnya 100/20 Mbps; serta non-pengadopsi yang memilih tidak membeli layanan broadband meski tersedia. Padahal, konektivitas digital memberikan manfaat jangka panjang yang luas dari sisi pendapatan dan pertumbuhan lapangan kerja di sektor perekonomian, kesehatan, pendidikan, dan lingkungan.
Menyadari potensi ini, infrastruktur broadband sangat diperlukan untuk menghubungkan seluruh komunitas dan sekolah, pemerintah, bisnis, serta jaringan internasional yang menyatukan berbagai negara. Ketersediaan konektivitas digital merupakan prasyarat untuk mencapai banyak tujuan kebijakan yang diidentifikasi dalam program T20, khususnya pada area kebijakan yang tercantum dalam Task Force 2–Meaningful Digital Connectivity, Cyber Security, Empowerment. Sayangnya, tujuan ini terhambat oleh kesenjangan dalam ketersediaan dan adopsi konektivitas.
Lihat Juga: Pengmas FIA UI Tingkatkan Internalisasi Entrepreneurial Mindset di Kalangan Pelajar Jakarta
Sementara itu, dalam bidang transisi energi, Prof. Frank Jotzo melihat sistem energi masa depan dunia bukan lagi bergantung pada bahan bakar fosil, melainkan pada energi terbarukan. Transisi ini tidak mudah bagi produsen dan eksportir bahan bakar fosil besar, seperti Indonesia dan Australia. Oleh karena itu, diperlukan sistem kerja sama yang adil dan transparan untuk memberikan peluang investasi bagi negara-negara tersebut untuk menciptakan produktivitas ekonomi internasional selama beberapa dekade.
Terbukanya peluang kerja sama ekonomi antara Indonesia, Australia, dan negara-negara G20 lainnya akan melahirkan inovasi, investasi swasta, serta kemudahan dalam regulasi dan kebijakan. Ke depannya, yang harus dijalankan negara-negara ini adalah memobilisasi investasi untuk energi terbarukan, industri berat yang dimodernisasi, serta sistem transportasi yang diperbarui.
Diharapkan, transisi energi tanpa karbon menjadi terjangkau dan menjadi investasi besar pada 2020–2030-an untuk produktivitas jangka panjang. Sistem energi dunia sebagian besar akan bergantung pada energi terbarukan sehingga peluang perdagangan terbuka untuk energi ramah lingkungan.
Dalam isu transformasi digital dan ekonomi, Prof. Glenn menyoroti adanya kesenjangan digital di beberapa negara, terutama negara yang memiliki akses internet terbatas. Kesenjangan ini terjadi karena tiga hal, yaitu belum terlayani karena tidak ada penyedia broadband di rumah atau bisnis; kurang terlayani karena tidak ada penyedia yang menawarkan layanan yang memenuhi standar, misalnya 100/20 Mbps; serta non-pengadopsi yang memilih tidak membeli layanan broadband meski tersedia. Padahal, konektivitas digital memberikan manfaat jangka panjang yang luas dari sisi pendapatan dan pertumbuhan lapangan kerja di sektor perekonomian, kesehatan, pendidikan, dan lingkungan.
Menyadari potensi ini, infrastruktur broadband sangat diperlukan untuk menghubungkan seluruh komunitas dan sekolah, pemerintah, bisnis, serta jaringan internasional yang menyatukan berbagai negara. Ketersediaan konektivitas digital merupakan prasyarat untuk mencapai banyak tujuan kebijakan yang diidentifikasi dalam program T20, khususnya pada area kebijakan yang tercantum dalam Task Force 2–Meaningful Digital Connectivity, Cyber Security, Empowerment. Sayangnya, tujuan ini terhambat oleh kesenjangan dalam ketersediaan dan adopsi konektivitas.
Lihat Juga: Pengmas FIA UI Tingkatkan Internalisasi Entrepreneurial Mindset di Kalangan Pelajar Jakarta
(nnz)
tulis komentar anda