Denny JA Luncurkan Buku The Power of Silence, Ceritakan Perjalanan Batin Melalui Lukisan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA merilis buku terbarunya berjudul “The Power of Silence, 73 Lukisan Spiritual Denny JA” pada Senin (30/1/2023).
Berbeda dari buku-buku yang pernah ia tulis, karya terbarunya ini menceritakan perjalanan batinnya melalui lukisan. Bukan lukisan biasa, melainkan lukisan yang dibuat dengan bantuan Artificial intelligence (AI).
Denny JA yang merupakan Ketua Umum Perkumpulan Penulis Indonesia Satupena ini menceritakan bahwa pada musim panas di Museum Louvre, Perancis pada 2011, ia merasakan pengalaman yang berbeda, lantaran sinergi batinnya dengan suasana saat itu, bersentuhan dengan lukisan dunia, memberikannya pengalaman religius.
Pada saat itu, ia bahkan menghabiskan waktu berjam-jam untuk duduk di hadapan karya pelopor gerakan impresionis Perancis, Claude Monet (1840-1926). Lukisan itu adalah serial Water Lilies, Bunga Teratai.
“Di masa senjanya, Monet banyak melukis tema itu, Water Lilies. Para ahli memperkirakan, Monet membuat 250 lukisan untuk tema Water Lilies saja. Sebagian kecil dari karya asli Water Lilies itu dipajang di museum Louvre,” jelas Denny.
Menurutnya, teratai dalam lukisan Monet itu begitu hening, bahkan ia terasa ringan, tenang, diam di atas air. Seolah ia mengajak siapapun yang memandangnya untuk merasakan keheningan yang sama, yang asli.
“Dalam hati saya berkata, alangkah senangnya jika saya bisa menumpahkan rasa hening di dalam batin saya ke dalam lukisan. Hanya dalam hitungan menit, pihak lain yang sensitif akan cepat ikut tertular merasakan keheningan yang sama melalui lukisan itu,” papar Denny.
Namun untuk melakukan hal itu, diperlukan kemampuan menguasai teknik melukis yang memadai. Denny memperkirakan bahwa untuk bisa memiliki kemampuan itu, setidaknya ia perlu berlatih melukis secara intens selama 10 tahun.
Hal itulah yang kemudian membuat Denny melupakan gagasan untuk mengekspresikan keheningan melalui lukisan. Perhatiannya pun sibuk teralihkan oleh kegiatan lain.
Namun 11 tahun kemudian, momen dan gagasan tersebut datang kembali. Pada 2022, saat dunia telah berubah begitu pesat dan Artificial Intelligence (AI) sudah masuk lebih intens dalam kehidupan sehari-hari, Denny pun berkenalan dengan banyak aplikasi lukisan. Beberapa di antaranya menggunakan AI.
Pada periode Oktober-November 2022, Denny pun intens menggabungkan 4 hingga 5 aplikasi lukisan dengan AI, agar saling melengkapi. Trial and error pun ia jalani.
“Tapi ternyata, sehebat-hebatnya satu aplikasi lukisan, walau ia berisi Artificial Intelligence sekalipun, tetap tak bisa memuaskan apa yang saya ingin,” tulis Denny.
Karena itulah, untuk memuaskan batinnya, ia menambahkan goresan tangan. “Harus ada goresan dari tangan saya sendiri, dengan tarikan dan getaran batin saya, dengan olahan warna ramuan saya sendiri, hanya dengan sentuhan personal seperti itu, imajinasi saya soal lukisan terpuaskan,” sambungnya.
Lalu, sebelum membuat serial lukisan, Denny pun merasa harus menjawab dan menuntaskan tiga perkara. Pertama, bisakah ia mengklaim lukisan yang dibantu berbagai aplikasi lukisan ini sebagai karya pribadi?
Kedua, di mana beda dan differensi lukisannya dibanding orang lain yang menggunakan aplikasi lukisan yang sama. Dan Ketiga, karakter apa yang ingin ia tampilkan dalam lukisan itu?
Ketiga hal itu pun ia jawab dengan detil melalui pengantar yang ia tulis di buku “The Power of Silence, 73 Lukisan Spiritual Denny JA”.
Buku setebal 116 halaman ini berisi 73 karya lukisan Denny JA yang dibantu dengan AI dan mengangkat tema spiritualitas dalam keheningan.
Keunikan karya terbarunya ini pun mengundang perhatian dari tiga kurator dan pengamat seni rupa kawakan di tanah air. Mereka adalah Agus Dermawan T, Bambang Asrini Widjanarko, dan Frigidanto Agung.
Dalam komentarnya di buku tersebut, Penulis Seni Rupa, Bambang Asrini Widjanarko mengutip tesis Walter Benjamin yang menyoroti hadirnya teknologi yang mengubah sejarah lukisan.
“Sebelum masuknya teknologi, lukisan benar- benar menjadi karya personal. Lalu hadirlah mesin yang bisa mencetak lukisan dan poster secara masif,” ujarnya.
Dunia lukisan pun berubah dengan ditemukannya alat atau mesin untuk mereproduksi instrumen visual via pencetakan, print-making atau fotografi.
Kemudian proses foto-mekanik juga serta elektrik yang secara serius mengubah paras dan keberadaan karya seni secara filosofis sekaligus praktik penciptaannya.
“Hingga di masa kini datang aplikasi Artificial Intelligence yang ikut diperkenalkan Denny JA di dunia lukisan. Dunia lukisan memang sudah berubah,” tulis Bambang.
Sementara itu, Agus Dermawan T mendeskripsikan beberapa karya lukisan Denny JA.
Tulis Agus, di satu lukisan, Denny menggubah pemandangan sungai yang melintas di bawah dua planet bercahaya. Sungai yang mengalir tenang ke muara itu digambarkan berbinar-binar dengan kemilau keemasan.
“Di tepian sungai yang ditumbuhi pepohonan, muncul patung wajah Budha. Dengan mata terkatup dan raut yang bijak Sang Budha digambarkan bertutur, ‘Three things you can’t hide: the Sun, the Moon, and the Truth’,” tulisnya.
Menurutnya, tuturan Budha itu juga dihadirkan sebagai inskripsi, sekaligus judul lukisan.
Ia juga menilai bahwa Denny JA mengubah lukisan-lukisannya dengan bahasa yang realis, namun dengan sentuhan suasana yang kadang surealistik, dan dengan aksen-aksen goresan dan pulasan yang beraura ekspresionistik dan impresionistik.
Sejumlah paduan gaya lukisan yang populer dalam jagat penciptaan seni lukis modern, dan telah memesona pencinta seni visual di mana-mana.
Agus menulis, Denny yang “menemukan” perpaduan itu di berbagai museum seni lukis di dunia lewat lukisan Claude Monet, Van Gogh, Camile Pissaro dan sebagainya. Ia pun terhanyut, dan lantas mengikut.
Namun yang unik, bila Claude Monet dan pelukis lainnya itu menggubah bentuk lewat prosedur seni lukis konvensional, maka Denny melukis dengan cara yang cenderung “radikal”.
“Apabila Monet yang menggunakan pensil, kuas, pisau palet serta cat untuk menciptakan wujud, Denny menggunakan perangkat AI untuk menghadirkan bentuk,” tambahnya.
Apabila Monet dan kawan- kawannya melukis dengan tangannya, Denny mencipta dengan komputernya. Dengan perangkat canggih itu menjalankan proses penciptaannya.
Komentar senada juga diungkapkan oleh Frigidanto Agung. Menurutnya, subjek lukisan Denny JA digambarkan secara nyata dalam ruang yang apa adanya. Bawah laut dengan penyelamnya seorang diri menyelami dunia bawah dengan alat selam. Sedangkan ruang angkasa digambarkan pesawat ulang alik yang sedang terbang di langit pencapaian tertingginya.
Warna-warna yang dipakai dalam lukisan ini mempersepsikan bagaimana kondisi yang ada dalam kenyataan alam, bawah laut dan ruang angkasa, dengan warna pastel, goresan ada di sana-sini untuk menunjukan reaktansi alam dengan geraknya yang tersentuh liyan (the other).
Mengenai bahasa visual yang dimunculkan dalam lukisan ini menjadi atraktif karena pemakaian teknologi. Percampuran lukisan dengan teknologi yang kini berkembang pesat membawa misi bahwa pengaruh satu bidang akan mempengaruhi bidang lainnya.
"Teknologi telah masuk pada bidang seni, pengaruhnya luar biasa. Ditambah lagi dengan pemakaian computerized dalam mengadaptasi berbagai memori dan remote terhadap karya seni yang dibuat. Hal ini menambah nampak rumitnya karya tersebut," jelasnya.
Tidak berhenti pada buku ini, Denny JA pun tengah mempersiapkan buku kedua soal lukisan yang dibantu AI. Jika buku pertama berisi lukisan mengeksplor perjalanan batin, maka buku kedua lebih soal lukisan isu sosial. Misalnya rekaman mengenai drama manusia di era bencana covid-19.
Berbeda dari buku-buku yang pernah ia tulis, karya terbarunya ini menceritakan perjalanan batinnya melalui lukisan. Bukan lukisan biasa, melainkan lukisan yang dibuat dengan bantuan Artificial intelligence (AI).
Baca Juga
Denny JA yang merupakan Ketua Umum Perkumpulan Penulis Indonesia Satupena ini menceritakan bahwa pada musim panas di Museum Louvre, Perancis pada 2011, ia merasakan pengalaman yang berbeda, lantaran sinergi batinnya dengan suasana saat itu, bersentuhan dengan lukisan dunia, memberikannya pengalaman religius.
Pada saat itu, ia bahkan menghabiskan waktu berjam-jam untuk duduk di hadapan karya pelopor gerakan impresionis Perancis, Claude Monet (1840-1926). Lukisan itu adalah serial Water Lilies, Bunga Teratai.
“Di masa senjanya, Monet banyak melukis tema itu, Water Lilies. Para ahli memperkirakan, Monet membuat 250 lukisan untuk tema Water Lilies saja. Sebagian kecil dari karya asli Water Lilies itu dipajang di museum Louvre,” jelas Denny.
Baca Juga
Menurutnya, teratai dalam lukisan Monet itu begitu hening, bahkan ia terasa ringan, tenang, diam di atas air. Seolah ia mengajak siapapun yang memandangnya untuk merasakan keheningan yang sama, yang asli.
“Dalam hati saya berkata, alangkah senangnya jika saya bisa menumpahkan rasa hening di dalam batin saya ke dalam lukisan. Hanya dalam hitungan menit, pihak lain yang sensitif akan cepat ikut tertular merasakan keheningan yang sama melalui lukisan itu,” papar Denny.
Namun untuk melakukan hal itu, diperlukan kemampuan menguasai teknik melukis yang memadai. Denny memperkirakan bahwa untuk bisa memiliki kemampuan itu, setidaknya ia perlu berlatih melukis secara intens selama 10 tahun.
Hal itulah yang kemudian membuat Denny melupakan gagasan untuk mengekspresikan keheningan melalui lukisan. Perhatiannya pun sibuk teralihkan oleh kegiatan lain.
Namun 11 tahun kemudian, momen dan gagasan tersebut datang kembali. Pada 2022, saat dunia telah berubah begitu pesat dan Artificial Intelligence (AI) sudah masuk lebih intens dalam kehidupan sehari-hari, Denny pun berkenalan dengan banyak aplikasi lukisan. Beberapa di antaranya menggunakan AI.
Pada periode Oktober-November 2022, Denny pun intens menggabungkan 4 hingga 5 aplikasi lukisan dengan AI, agar saling melengkapi. Trial and error pun ia jalani.
“Tapi ternyata, sehebat-hebatnya satu aplikasi lukisan, walau ia berisi Artificial Intelligence sekalipun, tetap tak bisa memuaskan apa yang saya ingin,” tulis Denny.
Karena itulah, untuk memuaskan batinnya, ia menambahkan goresan tangan. “Harus ada goresan dari tangan saya sendiri, dengan tarikan dan getaran batin saya, dengan olahan warna ramuan saya sendiri, hanya dengan sentuhan personal seperti itu, imajinasi saya soal lukisan terpuaskan,” sambungnya.
Lalu, sebelum membuat serial lukisan, Denny pun merasa harus menjawab dan menuntaskan tiga perkara. Pertama, bisakah ia mengklaim lukisan yang dibantu berbagai aplikasi lukisan ini sebagai karya pribadi?
Kedua, di mana beda dan differensi lukisannya dibanding orang lain yang menggunakan aplikasi lukisan yang sama. Dan Ketiga, karakter apa yang ingin ia tampilkan dalam lukisan itu?
Ketiga hal itu pun ia jawab dengan detil melalui pengantar yang ia tulis di buku “The Power of Silence, 73 Lukisan Spiritual Denny JA”.
Buku setebal 116 halaman ini berisi 73 karya lukisan Denny JA yang dibantu dengan AI dan mengangkat tema spiritualitas dalam keheningan.
Keunikan karya terbarunya ini pun mengundang perhatian dari tiga kurator dan pengamat seni rupa kawakan di tanah air. Mereka adalah Agus Dermawan T, Bambang Asrini Widjanarko, dan Frigidanto Agung.
Dalam komentarnya di buku tersebut, Penulis Seni Rupa, Bambang Asrini Widjanarko mengutip tesis Walter Benjamin yang menyoroti hadirnya teknologi yang mengubah sejarah lukisan.
“Sebelum masuknya teknologi, lukisan benar- benar menjadi karya personal. Lalu hadirlah mesin yang bisa mencetak lukisan dan poster secara masif,” ujarnya.
Dunia lukisan pun berubah dengan ditemukannya alat atau mesin untuk mereproduksi instrumen visual via pencetakan, print-making atau fotografi.
Kemudian proses foto-mekanik juga serta elektrik yang secara serius mengubah paras dan keberadaan karya seni secara filosofis sekaligus praktik penciptaannya.
“Hingga di masa kini datang aplikasi Artificial Intelligence yang ikut diperkenalkan Denny JA di dunia lukisan. Dunia lukisan memang sudah berubah,” tulis Bambang.
Sementara itu, Agus Dermawan T mendeskripsikan beberapa karya lukisan Denny JA.
Tulis Agus, di satu lukisan, Denny menggubah pemandangan sungai yang melintas di bawah dua planet bercahaya. Sungai yang mengalir tenang ke muara itu digambarkan berbinar-binar dengan kemilau keemasan.
“Di tepian sungai yang ditumbuhi pepohonan, muncul patung wajah Budha. Dengan mata terkatup dan raut yang bijak Sang Budha digambarkan bertutur, ‘Three things you can’t hide: the Sun, the Moon, and the Truth’,” tulisnya.
Menurutnya, tuturan Budha itu juga dihadirkan sebagai inskripsi, sekaligus judul lukisan.
Ia juga menilai bahwa Denny JA mengubah lukisan-lukisannya dengan bahasa yang realis, namun dengan sentuhan suasana yang kadang surealistik, dan dengan aksen-aksen goresan dan pulasan yang beraura ekspresionistik dan impresionistik.
Sejumlah paduan gaya lukisan yang populer dalam jagat penciptaan seni lukis modern, dan telah memesona pencinta seni visual di mana-mana.
Agus menulis, Denny yang “menemukan” perpaduan itu di berbagai museum seni lukis di dunia lewat lukisan Claude Monet, Van Gogh, Camile Pissaro dan sebagainya. Ia pun terhanyut, dan lantas mengikut.
Namun yang unik, bila Claude Monet dan pelukis lainnya itu menggubah bentuk lewat prosedur seni lukis konvensional, maka Denny melukis dengan cara yang cenderung “radikal”.
“Apabila Monet yang menggunakan pensil, kuas, pisau palet serta cat untuk menciptakan wujud, Denny menggunakan perangkat AI untuk menghadirkan bentuk,” tambahnya.
Apabila Monet dan kawan- kawannya melukis dengan tangannya, Denny mencipta dengan komputernya. Dengan perangkat canggih itu menjalankan proses penciptaannya.
Komentar senada juga diungkapkan oleh Frigidanto Agung. Menurutnya, subjek lukisan Denny JA digambarkan secara nyata dalam ruang yang apa adanya. Bawah laut dengan penyelamnya seorang diri menyelami dunia bawah dengan alat selam. Sedangkan ruang angkasa digambarkan pesawat ulang alik yang sedang terbang di langit pencapaian tertingginya.
Warna-warna yang dipakai dalam lukisan ini mempersepsikan bagaimana kondisi yang ada dalam kenyataan alam, bawah laut dan ruang angkasa, dengan warna pastel, goresan ada di sana-sini untuk menunjukan reaktansi alam dengan geraknya yang tersentuh liyan (the other).
Mengenai bahasa visual yang dimunculkan dalam lukisan ini menjadi atraktif karena pemakaian teknologi. Percampuran lukisan dengan teknologi yang kini berkembang pesat membawa misi bahwa pengaruh satu bidang akan mempengaruhi bidang lainnya.
"Teknologi telah masuk pada bidang seni, pengaruhnya luar biasa. Ditambah lagi dengan pemakaian computerized dalam mengadaptasi berbagai memori dan remote terhadap karya seni yang dibuat. Hal ini menambah nampak rumitnya karya tersebut," jelasnya.
Tidak berhenti pada buku ini, Denny JA pun tengah mempersiapkan buku kedua soal lukisan yang dibantu AI. Jika buku pertama berisi lukisan mengeksplor perjalanan batin, maka buku kedua lebih soal lukisan isu sosial. Misalnya rekaman mengenai drama manusia di era bencana covid-19.
(mpw)