Implementasi Kurikulum Merdeka Dinilai Lebih Fleksibel untuk Dorong Kreativitas Anak
loading...
A
A
A
JAKARTA - Implementasi Kurikulum Merdeka telah diterapkan bertahap di semua jenjang termasuk PAUD . Kurikulum Merdeka pun dinilai lebih fleksibel untuk mendorong kreativitas anak usia dini.
Kepala Sekolah TK Cikal Cahaya, Kabupaten Bogor, Jawa Barat Riyanti Vitriyana mengatakan, gaya belajar dan tujuan pembelajaran Kurikulum Merdeka itu memberi dampak pada asesmen yang lebih fleksibel untuk diterapkan ke peserta didik.
Konsep asesmen, katanya, saat ini dengan Kurikulum Merdeka bisa disesuaikan dengan minat dan kemampuan murid. Tidak lagi siswa yang harus mengejar patokan asesmen yang sudah dibuat sekolah.
"Kalau dulu asesmen sudah jadi dan anak harus mengikuti. Konsepnya sekarang asesmen bisa berubah sesuai dengan minat. Guru pun jadi ngga stres," katanya pada Festival Kurikulum Merdeka, Rabu (17/5/2023).
Dia mengatakan, asesmen Kurikulum Merdeka lebih kepada melihat kemampuan individual siswa dan bukan menekankan pada sisi kekurangan anak.
Baca juga: Menginspirasi, 3 Siswa MAN 4 Jakarta Diterima di 13 Universitas Top Dunia
Riyanti menuturkan, metode pengajaran di Kurikulum Merdeka pun dinilai lebih baik untuk anak usia dini supaya lebih aktif. Guru tidak banyak menerangkan materi namun lebih kepada memberi sumber belajar.
"Misalnya saja materi dengan tema kendaraan. Ternyata kendaraan ada bermacam-macam. Lalu kira sediakan medianya, mereka lihat gambar atau video kemudian anak bisa mengeksplorasi sendiri tanpa guru mencontohkan," ujarnya.
Dia mengatakan, jika guru lebih banyak mencontohkan maka semua hasil karya yang dibuat anak akan sama. Namun dengan Kurikulum Merdeka maka hasil karya yang dibuat anak akan berbeda sesuai imajinasi masing-masing.
"Anak lebih diajarkan untuk lebih kreatif. Boleh sih mencontoh. Tetapi bagaimana selain mencontoh kita memodifikasi dan itu diajarkan anak kreatif," ungkap Riyanti.
Riyanti mengungkapkan, sejatinya praktik pembelajaran seperti Kurikulum Merdeka ini sudah diterapkan sejak dulu di sekolahnya. Hanya saja tidak ada payung hukumnya resmi seperti Kurikulum Merdeka.
Dia pun menyambut baik adanya Kurikulum Merdeka ini karena ternyata apa yang sudah sekolahnya lakukan selama ini sudah sesuai dengan keinginan pemerintah.
Baca juga: SINDOnews Goes to Pesantren Gelar Pelatihan Jurnalistik di PP Darus-Sunnah Ciputat
"Kita praktiknya sudah tahu. Tetapi secara konsep, ini benar ga ya yang kami lakukan. Jadi kita menemukan payungnya (Kurikulum Merdeka), rumah untuk apa yang sudah kita lakukan selama ini," ucapnya.
Dia mengungkapkan, dengan pembelajaran yang memerdekakan murid itu membuat anak didik di sekolahnya lebih senang belajar. Hal ini terjadi karena murid tidak bosan karena akan menemui pembelajaran yang sama setiap harinya.
Riyanti yang saat ini sedang kuliah S2 Pendidikan PAUD di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) menuturkan, agar pendidikan anak usia dini bisa menghasilkan generasi emas maka sekolah harus memghilangkan paradigma bahwa ada masalah dalam diri anak usia dini.
Misalnya saja paradigma anak nakal, katanya, jangan sampai stigma anak nakal ini melekat dan membuat para guru menimpakan stigma buruk kepada anak tersebut.
Dengan tidak adanya paradigma tertentu kepada anak inilah, katanya, maka guru pun akan mudah mendekati anak dan mengajari sang anak sesuai dengan kemampuannya.
"Jadi saat masuk ke sini tidak ada paradigma bahwa anak ini nakal. Yang tadinya pemalu atau takut ke orang bisa mulai percaya diri. Dan itu pondasinya untuk anak melangkah ke depan itu memang ada di TK," terangnya.
Di samping itu, Riyanti menuturkan, sekolahnya juga menerima anak berkebutuhan khusus. Materi pembelajarannya sama yakni mengutamakan keunggulan sang anak namun bagi mereka didatangkan terapis ke sekolah untuk menjalani terapi seusai sekolah.
Dia menambahkan, sekolah memberikan perhatian bagi guru untuk meningkatkan kompetensinya. Salah satunya dengan menguliahkan lagi para gurunya di Universitas Terbuka (UT).
Fasilitas ini diberikan, katanya, karena masih ada gurunya tidak berlatarbelakang sarjana pendidikan anak usia dini. "Maka kami seleksi dan kita sekolahkan lagi ke S1 PAUD di UT. Kuliahnya jumat dan sabtu supaya bisa belajar dan mengajar," katanya.
Dia menjelaskan, untuk implementasi Kurikulum Merdeka itu juga melihat kemampuan guru yang masih berbeda-beda. Oleh karena itu ada peer teaching yakni guru yang sudah beradaptasi bisa melatih guru yang belum bisa mengimplementasikan Kurikulum Merdeka.
Kepala Sekolah TK Cikal Cahaya, Kabupaten Bogor, Jawa Barat Riyanti Vitriyana mengatakan, gaya belajar dan tujuan pembelajaran Kurikulum Merdeka itu memberi dampak pada asesmen yang lebih fleksibel untuk diterapkan ke peserta didik.
Konsep asesmen, katanya, saat ini dengan Kurikulum Merdeka bisa disesuaikan dengan minat dan kemampuan murid. Tidak lagi siswa yang harus mengejar patokan asesmen yang sudah dibuat sekolah.
"Kalau dulu asesmen sudah jadi dan anak harus mengikuti. Konsepnya sekarang asesmen bisa berubah sesuai dengan minat. Guru pun jadi ngga stres," katanya pada Festival Kurikulum Merdeka, Rabu (17/5/2023).
Dia mengatakan, asesmen Kurikulum Merdeka lebih kepada melihat kemampuan individual siswa dan bukan menekankan pada sisi kekurangan anak.
Baca juga: Menginspirasi, 3 Siswa MAN 4 Jakarta Diterima di 13 Universitas Top Dunia
Riyanti menuturkan, metode pengajaran di Kurikulum Merdeka pun dinilai lebih baik untuk anak usia dini supaya lebih aktif. Guru tidak banyak menerangkan materi namun lebih kepada memberi sumber belajar.
"Misalnya saja materi dengan tema kendaraan. Ternyata kendaraan ada bermacam-macam. Lalu kira sediakan medianya, mereka lihat gambar atau video kemudian anak bisa mengeksplorasi sendiri tanpa guru mencontohkan," ujarnya.
Dia mengatakan, jika guru lebih banyak mencontohkan maka semua hasil karya yang dibuat anak akan sama. Namun dengan Kurikulum Merdeka maka hasil karya yang dibuat anak akan berbeda sesuai imajinasi masing-masing.
"Anak lebih diajarkan untuk lebih kreatif. Boleh sih mencontoh. Tetapi bagaimana selain mencontoh kita memodifikasi dan itu diajarkan anak kreatif," ungkap Riyanti.
Riyanti mengungkapkan, sejatinya praktik pembelajaran seperti Kurikulum Merdeka ini sudah diterapkan sejak dulu di sekolahnya. Hanya saja tidak ada payung hukumnya resmi seperti Kurikulum Merdeka.
Dia pun menyambut baik adanya Kurikulum Merdeka ini karena ternyata apa yang sudah sekolahnya lakukan selama ini sudah sesuai dengan keinginan pemerintah.
Baca juga: SINDOnews Goes to Pesantren Gelar Pelatihan Jurnalistik di PP Darus-Sunnah Ciputat
"Kita praktiknya sudah tahu. Tetapi secara konsep, ini benar ga ya yang kami lakukan. Jadi kita menemukan payungnya (Kurikulum Merdeka), rumah untuk apa yang sudah kita lakukan selama ini," ucapnya.
Dia mengungkapkan, dengan pembelajaran yang memerdekakan murid itu membuat anak didik di sekolahnya lebih senang belajar. Hal ini terjadi karena murid tidak bosan karena akan menemui pembelajaran yang sama setiap harinya.
Riyanti yang saat ini sedang kuliah S2 Pendidikan PAUD di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) menuturkan, agar pendidikan anak usia dini bisa menghasilkan generasi emas maka sekolah harus memghilangkan paradigma bahwa ada masalah dalam diri anak usia dini.
Misalnya saja paradigma anak nakal, katanya, jangan sampai stigma anak nakal ini melekat dan membuat para guru menimpakan stigma buruk kepada anak tersebut.
Dengan tidak adanya paradigma tertentu kepada anak inilah, katanya, maka guru pun akan mudah mendekati anak dan mengajari sang anak sesuai dengan kemampuannya.
"Jadi saat masuk ke sini tidak ada paradigma bahwa anak ini nakal. Yang tadinya pemalu atau takut ke orang bisa mulai percaya diri. Dan itu pondasinya untuk anak melangkah ke depan itu memang ada di TK," terangnya.
Di samping itu, Riyanti menuturkan, sekolahnya juga menerima anak berkebutuhan khusus. Materi pembelajarannya sama yakni mengutamakan keunggulan sang anak namun bagi mereka didatangkan terapis ke sekolah untuk menjalani terapi seusai sekolah.
Dia menambahkan, sekolah memberikan perhatian bagi guru untuk meningkatkan kompetensinya. Salah satunya dengan menguliahkan lagi para gurunya di Universitas Terbuka (UT).
Fasilitas ini diberikan, katanya, karena masih ada gurunya tidak berlatarbelakang sarjana pendidikan anak usia dini. "Maka kami seleksi dan kita sekolahkan lagi ke S1 PAUD di UT. Kuliahnya jumat dan sabtu supaya bisa belajar dan mengajar," katanya.
Dia menjelaskan, untuk implementasi Kurikulum Merdeka itu juga melihat kemampuan guru yang masih berbeda-beda. Oleh karena itu ada peer teaching yakni guru yang sudah beradaptasi bisa melatih guru yang belum bisa mengimplementasikan Kurikulum Merdeka.
(nnz)