Kala Ketidakadilan Usik Dunia Pendidikan

Sabtu, 25 Juli 2020 - 07:35 WIB
loading...
A A A
PP Muhammadiyah juga menyoroti ketidakjelasan kriteria pemilihan organisasi yang lolos POP di mana ada yayasan milik keluarga konglomerat yang mendapatkan slot baik di Gajah maupun Macan. Bahkan, mereka mendapatkan jatah slot untuk lebih dari satu program.

“Kriteria pemilihan organisasi masyarakat yang ditetapkan lolos evaluasi proposal sangat tidak jelas, karena tidak membedakan antara lembaga CSR yang sepatutnya membantu dana pendidikan dengan organisasi masyarakat yang berhak mendapatkan bantuan dari pemerintah,” tukasnya.

Ketua Lembaga Pendidikan Maarif NU, Arifin Junaidi, melihat kejanggalan dalam program tersebut sedari awal. NU baru diminta membuat proposal untuk masuk dalam program ini dua hari sebelum penutupan. NU tidak menyanggupi permintaan ini. Namun, Kementerian tetap meminta proposal dimasukkan secara daring dan persyaratan lain menyusul setelah tanggal akhir pendaftaran. “Proposal kami ditolak,” kata Arifin.

Mengikuti sikap NU dan Muhammadiyah ini, PGRI juga menyatakan mundur dari POP. Padahal, PGRI dinyatakan mendapatkan dua slot klaster Gajah. “PGRI memandang bahwa dana yang telah dialokasikan untuk POP akan sangat bermanfaat apabila digunakan untuk membantu siswa, guru/honorer, penyediaan infrastruktur di daerah khususnya di daerah 3T, dalam menunjang pembelajaran jarak jauh (PJJ) di masa pandemi,” kata Ketua Umum PGRI Unifah Rosyidi. (Baca juga: Jangankan Mama Muda, Setan pun Terbukti Suka Doyan TikTok)

DPR Minta Ditunda

Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda berharap kebijakan program Organisasi Penggerak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk ditata ulang. Menurut Huda, Kemendikbud harus mencari skema terbaik agar program Organisasi Penggerak tidak menimbulkan polemik. Pasalnya, organisasi besar dalam dunia pendidikan seperti PGRI, Lembaga Pendidikan Ma'arif PBNU, dan Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah PP Muhammadiyah memutuskan mundur dari program ini.

"Saya kira tidak terlambat, dan tidak ada kata terlambat, sementara di-hold dulu pelaksanaan ini. Terkait dengan POP ini, di-hold dan carikan skema yang terbaik," kata Syaiful.

Peneliti dan pegiat filantropi Hamid Abidin menilai kekisruhan POP salah satunya dipicu ketidakpahaman pemerintah dan publik terhadap dunia filantropi. Seharusnya sejak awal ada klasterisasi organisasi masyarakat sipil yang ikut program tersebut. (Lihat videonya: Usai Memesan Minuman, Seorang Pengunjung Warkop Tiba-tiba Meninggal)

Tanoto Foundation dan Sampoerna Foundation menurutnya merupakan lembaga berbasis family foundation (yayasan keluarga). Di luar negeri, yayasan keluarga ini biasanya didirikan sebagai cara satu keluarga konglomerat untuk menyisihkan harta maupun keuntungan perusahaan untuk kegiatan sosial. Ini berbeda dengan CSR yang wajib didirikan oleh perusahaan untuk mengatasi dampak negatif suatu perusahaan bagi lingkungan, ekosistem, hingga nasib buruh.

“Tanoto dan Sampoerna Foundation sebenarnya sah-sah saja bila ingin berpartisipasi dalam upaya kegiatan pendidikan. Hanya, mereka seharusnya menjadi donor, bukan menerima anggaran dari APBN. Kecuali jika ada skema matching grand di mana dua yayasan keluarga tersebut tetap mengeluarkan dana, lalu ditambah dengan APBN untuk memperluas jangkauan program. Dan, itu sah dilakukan,” katanya. (Nono Suwarno)
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2156 seconds (0.1#10.140)