Teliti Otak Orang Bunuh Diri, Siswi SMA Ini Raih Hadiah Rp750 Juta

Senin, 19 Juni 2023 - 16:55 WIB
loading...
Teliti Otak Orang Bunuh Diri, Siswi SMA Ini Raih Hadiah Rp750 Juta
Natasha Kulviwat, siswi SMA di New York, Amerika Serikat, meneliti otak orang yang bunuh diri. Foto/Insider
A A A
WASHINGTON - Natasha Kulviwat, siswi SMA , berhasil memenangkan penghargaan senilai USD50.000 atau setarab dengan Rp750 juta karena memenangkan Regeneron International Science and Engineering Fair. Dia meneliti otak orang yang bunuh diri dengan harapan bisa mempelajari cara mencegah bunuh diri.

Gadis berusia 16 tahun meneliti otak orang yang meninggal karena bunuh diri untuk mengidentifikasi biomarker. Itu menunjukkan Kulviwat bukan anak SMA biasa. Mulai Agustus 2022, dia menghabiskan enam bulan di laboratorium di Universitas Columbia mempelajari jaringan otak orang yang meninggal karena bunuh diri.

Siswi Jericho Senior High School, New York, Amerika Serikat, meneliti apakah ada biomarker - zat fisik dan terukur di otak - yang dapat membantu menjelaskan dan, mungkin suatu hari nanti, mencegah bunuh diri.

Hasil penelitiannya memenangkan Penghargaan Gordon E. Moore untuk Hasil Positif untuk Generasi Mendatang dan USD50.000 di Regeneron International Science and Engineering Fair. Itu merupakan sebuah kompetisi internasional untuk mahasiswa pra-perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh Society for Science.

Teliti Otak Orang Bunuh Diri, Siswi SMA Ini Raih Hadiah Rp750 Juta

Foto/societyforscience

Bagaimana hasil temuan penelitiannya? Kulviwat menemukan perbedaan otak 10 orang yang meninggal karena bunuh diri dibandingkan dengan orang yang meninggal karena sebab lain.

Otak dari mereka yang meninggal karena bunuh diri, yang disumbangkan untuk dipelajari oleh kerabat terdekat mereka, mengandung lebih banyak sitokin peradangan. Sitokin menciptakan peradangan sebagai bagian normal dari respons sistem kekebalan Anda terhadap patogen.

Terlalu banyak peradangan dalam tubuh dari waktu ke waktu dapat menimbulkan banyak efek negatif yaknkiini berimplikasi pada kondisi seperti penyakit jantung, kanker, dan penyakit autoimun.



Dalam hal ini, penelitian Kulviwat menunjukkan bahwa peradangan memengaruhi protein spesifik di otak yang dikenal sebagai claudin-5. Claudin-5 biasanya ditemukan dalam sel-sel yang membentuk penghalang darah-otak, yang memainkan peran penting dalam mengatur zat apa yang dapat mengalir dari darah ke sel-sel otak.

Tetapi Kulviwat menemukan peningkatan kadar claudin-5 di bagian lain otak — di neuron dan pembuluh mikro — dari mereka yang meninggal karena bunuh diri, menunjukkan adanya kerusakan pada penghalang darah-otak.

“Itu berarti zat asing dalam darah sekarang bisa masuk ke area fungsional otak, yang bisa menjadi neurotoksik,” katanya, dilansir Business Insider. Hasilnya menunjukkan peningkatan kadar claudin-5 di otak mungkin berfungsi sebagai biomarker risiko bunuh diri.

Teliti Otak Orang Bunuh Diri, Siswi SMA Ini Raih Hadiah Rp750 Juta

Foto/societyforscience

Pertanyaan adalah apakah biomarker menjadi cara baru untuk mengukur risiko bunuh diri?

Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat, risiko bunuh diri biasanya dievaluasi dengan melihat hal-hal seperti riwayat depresi atau penyakit mental lainnya, keadaan hidup seperti peristiwa masa kanak-kanak yang merugikan atau kehilangan pekerjaan, dan faktor psikologis subyektif lainnya — seperti impulsif atau rasa putus asa.

Meskipun ada pengobatan untuk perilaku bunuh diri, termasuk psikoterapi dan obat-obatan, tingkat bunuh diri sebagian besar meningkat selama 20 tahun terakhir. Pada tahun 2021, lebih dari 48.000 orang meninggal karena bunuh diri. Dan diperkirakan ada 1,7 juta percobaan bunuh diri.

Dengan bunuh diri menjadi masalah kesehatan masyarakat yang besar, penelitian Kulviwat memperkuat sejumlah penelitian yang mencari biomarker bunuh diri.

Tinjauan penelitian, yang diterbitkan pada tahun 2021, menemukan beberapa biomarker potensial - termasuk bahan kimia yang terlibat dalam respons stres tubuh atau yang berinteraksi dengan serotonin - tetapi tidak ada penelitian yang mengamati claudin-5.

Kulviwat dan peneliti lain berharap bahwa mengidentifikasi proses fisiologis yang terlibat dalam bunuh diri - yaitu, memandang bunuh diri bukan hanya sebagai masalah psikologis. Sehingga itu dapat membantu memprediksi dengan lebih akurat siapa yang berisiko daripada metode saat ini dan membantu mengembangkan perawatan farmasi yang lebih bertarget untuk pencegahan.



Menariknya, dalam penelitiannya, Kulviwat menemukan bahwa beberapa obat psikiatri yang digunakan untuk membantu pasien yang ingin bunuh diri dengan masalah seperti depresi atau kecemasan, seperti Lexapro dan benzodiazepin, tidak berinteraksi secara kuat dengan claudin-5. Terlebih lagi, dalam beberapa kasus, pengobatan psikiatri bahkan dapat meningkatkan risiko bunuh diri. “Itu tidak berarti kita harus memberikan antiperadangan begitu saja kepada orang-orang yang mungkin ingin bunuh diri,” kata Kulviwat.

Sementara itu, David Feifel, ahli saraf dan profesor emeritus psikiatri di University of California San Diego, menggunakan perawatan yang lebih baru seperti ketamin dan stimulasi magnetik transkranial untuk kondisi kesehatan mental. Dia mengatakan hasil Kulviwat menarik, tetapi dicatat bahwa itu harus diperlakukan sebagai korelasi, bukan sebab-akibat.

Feifel mengatakan kelainan otak yang ditemukan Kulviwat bisa jadi merupakan hasil dari kelainan yang lebih mendasar, dan claudin-5 mungkin tidak memiliki kaitan langsung dengan bunuh diri. "Sebelum berdampak di lapangan, temuannya harus direplikasi dalam sampel yang lebih besar," kata Feifel.

Sebenarnya, saat menyelesaikan tahun pertamanya di sekolah menengah, Kulviwat mulai meneliti bunuh diri. Dia melihat kemungkinan kontributor psikologis, seperti impulsif dan penurunan kemampuan untuk mengatasi perubahan.

“Tetapi untuk proyek ini, saya ingin menjelajah ke perspektif neurobiologis karena tidak banyak penelitian yang melakukan itu," katanya kepada Insider.

Sebagian dari minatnya karena membaca penelitian bunuh diri berasal dari menjadi sukarelawan di American Foundation for Suicide Prevention dan menghadiri Out of the Darkness Walks, sebuah acara yang membantu meningkatkan kesadaran dan memberikan dukungan kepada orang-orang yang telah kehilangan orang yang dicintai karena bunuh diri.

“Mendengar perspektif yang berbeda dan mempertanyakan mengapa penelitian bunuh diri tidak berkembang sebanyak bidang lain - seperti kanker atau penyakit menular - menginspirasi penelitian,” kata Kulviwat

Dia mengatakan salah satu bagian tersulit dari proyek ini adalah menangani tanggung jawab akademik, kehidupan pribadinya, dan pekerjaan lab. Dia sering kali harus memilih penelitiannya dari waktu ke waktu bersama teman-temannya — bekerja di lab hingga larut malam dan selama liburan. Kulviwat berkata sambil tertawa, bahwa dia bahkan terkadang harus melewatkan kelas sekolah menengahnya untuk bekerja di lab.

Kulviwat sudah memikirkan penelitian untuk proyek berikutnya. Dia berencana untuk meneliti bagaimana obat-obatan seperti antiperadangan berinteraksi dengan claudin-5 pada model hewan. Penelitian ini mungkin menawarkan petunjuk untuk mengembangkan pengobatan alternatif dalam risiko bunuh diri.

Dia mengatakan hadiah uang sangat membantu untuk kuliah, tetapi secara keseluruhan itu tidak banyak berubah untuknya. "Saya masih seperti siswa sekolah menengah biasa. Saya belum mengikuti tes standar. Saya masih berusaha untuk lulus, berusaha untuk menjaga IPK saya tetap tinggi,” kata Kulviwat.

Kulviwat berharap bisa masuk sekolah kedokteran di masa depan dan menjadi dokter anak atau psikiater anak. "Untuk memastikan kami memiliki fondasi yang kuat dan memastikan masa muda kami baik-baik saja - saya pikir itu sangat penting untuk dilakukan, dan saya pikir penting untuk tidak mengabaikannya," katanya.
(ahm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3564 seconds (0.1#10.140)