Menko PMK Minta Kemensos Tak Ambil Alih Sekolah Luar Biasa
loading...
A
A
A
"Jadi mereka kan tidak bisa sendiri. Dan memang sebagian besar juga dari anak-anak di Disabilitas ini dari keluarga tidak mampu,"katanya.
Dia pun menceritakan sejumlah tantangan yang dihadapi dari sekolah inklusi. Selain dibutuhkan sejumlah fasilitas penunjang, guru yang mengajar pun tidak semua memiliki latar belakang pendidikan inklusi.
"Itu mereka memerlukan treatment-treatment sendiri tidak bisa disamakan semua anak apa, anak disabilitas, tidak bisa," katanya.
Sehingga, dia ingin bekerja sama guna meningkatkan keterampilan para anak-anak di SLB. Risma berharap outputnya adalah mereka dapat mandiri minimal untuk menjalani kegiatan sehari-harinya tanpa bantuan orang lain.
"Saya mohon kayak SMK gitu loh jadi di SLB diberikan life skill untuk kalau misalkan dia tidak bisa melanjutkan sekolah. Oke kalau dia sampai perguruan tinggi enggak papa, tapi diberikan life skill sehingga saat dia keluar dia bisa mandiri untuk kehidupannya," ujarnya.
Lebih lanjut, pemberdayaan disabilitas, kata Risma, sebelumnya telah dilakukan di balai-balai milik Kemensos. Dia mengatakan bahwa banyak dari mereka sukses karena telah diberikan pelatihan untuk dapat mandiri dan melanjutkan hidupnya sehari-hari.
"Contohnya anak NTT itu dia tunarungu wicara kemudian kita latih di balai. Ini kita training di balai kita untuk bengkel motor, kemudian setelah itu dia kita bantu untuk usaha bengkel sehingga sekarang dia bisa mandiri," katanya.
Adapun dia mencatat ada sebanyak 42.940 anak disabilitas usia 6-18 tahun yang putus sekolah. Sehingga dia berharap kerja sama tersebut dapat segera dilakukan.
"Jadi yang paling penting bagi saya adalah mereka dapat bukan hanya pendidikan umum tapi life skill termasuk untuk bagaimana dia merawat dirinya,"tutur Mensos Risma.
Dia pun menceritakan sejumlah tantangan yang dihadapi dari sekolah inklusi. Selain dibutuhkan sejumlah fasilitas penunjang, guru yang mengajar pun tidak semua memiliki latar belakang pendidikan inklusi.
"Itu mereka memerlukan treatment-treatment sendiri tidak bisa disamakan semua anak apa, anak disabilitas, tidak bisa," katanya.
Sehingga, dia ingin bekerja sama guna meningkatkan keterampilan para anak-anak di SLB. Risma berharap outputnya adalah mereka dapat mandiri minimal untuk menjalani kegiatan sehari-harinya tanpa bantuan orang lain.
"Saya mohon kayak SMK gitu loh jadi di SLB diberikan life skill untuk kalau misalkan dia tidak bisa melanjutkan sekolah. Oke kalau dia sampai perguruan tinggi enggak papa, tapi diberikan life skill sehingga saat dia keluar dia bisa mandiri untuk kehidupannya," ujarnya.
Lebih lanjut, pemberdayaan disabilitas, kata Risma, sebelumnya telah dilakukan di balai-balai milik Kemensos. Dia mengatakan bahwa banyak dari mereka sukses karena telah diberikan pelatihan untuk dapat mandiri dan melanjutkan hidupnya sehari-hari.
"Contohnya anak NTT itu dia tunarungu wicara kemudian kita latih di balai. Ini kita training di balai kita untuk bengkel motor, kemudian setelah itu dia kita bantu untuk usaha bengkel sehingga sekarang dia bisa mandiri," katanya.
Adapun dia mencatat ada sebanyak 42.940 anak disabilitas usia 6-18 tahun yang putus sekolah. Sehingga dia berharap kerja sama tersebut dapat segera dilakukan.
"Jadi yang paling penting bagi saya adalah mereka dapat bukan hanya pendidikan umum tapi life skill termasuk untuk bagaimana dia merawat dirinya,"tutur Mensos Risma.
(nnz)