Sekolah di Zona Kuning Dibuka, PGRI: Hijau Saja Berisiko Apalagi Kuning
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pembukaan sekolah di zona kuning menjadi dilema besar bagi guru, para siswa, tenaga kependidikan, dan para orang tua. Penyebaran virus Sars Cov-II masih tinggi tentu membuat seluruh warga sekolah berisiko terpapar COVID-19.
Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) meminta pemerintah berkoordinasi dengan Satuan Tugas (Satgas) Nasional Penanganan COVID-19, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mengenai risiko pembelajaran tatap muka di zona kuning.
“Kami sudah memberikan pandangan kepada kementerian (pendidikan dan kebudayaan), yakni yang hijau saja berisiko apalagi yang kuning. PGRI meminta pemerintah untuk mencarikan solusinya,” ujar Wasekjen PB PGRI Dudung Abdul Qodir saat dihubungi SINDOnews, sabtu (15/8/2020). (Baca juga: Pemerintah Persilahkan Dana BOS untuk Biayai Rapid Test Siswa dan Guru )
KPAI sendiri tidak setuju dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri yang terbaru. SKB tersebut merelaksasi pembukaan sekolah tidak hanya di zona hijau, tapi zona kuning juga boleh.
Sementara itu, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dalam rilis 30 Mei lalu, meminta kegiatan belajar mengajar (KBM) dilakukan dari jarak jauh. Sekolah-sekolah diminta tidak dibuka sampai Desember 2020.
“Kami manut dengan IDAI untuk tidak membuka zona kuning demi keselamatan guru dan anak. persoalannya, pemerintah daerah pun tidak kompak,” ucapnya. (Baca juga: 1.410 Sekolah Sudah Lakukan Belajar Tatap Muka di Zona Hijau dan Kuning )
Dudung menerangkan selama PJJ ada daerah yang masih mewajibkan guru melakukan absen finger print. Pola ini memberatkan para guru dan rentan terpapar COVID-19 dalam perjalanan menuju dan pulang dari sekolah.
Dudung menjelaskan, kondisi saat ini memang dalam dilema. Apalagi ketika para orang tua sudah mulai bekerja. Sementara, selama ini perangkat pembelajaran jarak jauh (PJJ), seperti ponsel pintar, yang biasa digunakan siswa sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP) itu milik orang tuanya.
Faktanya, menurutnya, sekarang anak-anak berkeliaran. Karena ketidakadaan gawai, mereka tidak bisa mengikuti PJJ secara daring.
Dudung mengungkapkan berdasarkan survei-surveinya, guru dan para orang tua memang menginginkan pembelajaran tatap muka. Tentu dengan beragam alasan.
Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) meminta pemerintah berkoordinasi dengan Satuan Tugas (Satgas) Nasional Penanganan COVID-19, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mengenai risiko pembelajaran tatap muka di zona kuning.
“Kami sudah memberikan pandangan kepada kementerian (pendidikan dan kebudayaan), yakni yang hijau saja berisiko apalagi yang kuning. PGRI meminta pemerintah untuk mencarikan solusinya,” ujar Wasekjen PB PGRI Dudung Abdul Qodir saat dihubungi SINDOnews, sabtu (15/8/2020). (Baca juga: Pemerintah Persilahkan Dana BOS untuk Biayai Rapid Test Siswa dan Guru )
KPAI sendiri tidak setuju dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri yang terbaru. SKB tersebut merelaksasi pembukaan sekolah tidak hanya di zona hijau, tapi zona kuning juga boleh.
Sementara itu, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dalam rilis 30 Mei lalu, meminta kegiatan belajar mengajar (KBM) dilakukan dari jarak jauh. Sekolah-sekolah diminta tidak dibuka sampai Desember 2020.
“Kami manut dengan IDAI untuk tidak membuka zona kuning demi keselamatan guru dan anak. persoalannya, pemerintah daerah pun tidak kompak,” ucapnya. (Baca juga: 1.410 Sekolah Sudah Lakukan Belajar Tatap Muka di Zona Hijau dan Kuning )
Dudung menerangkan selama PJJ ada daerah yang masih mewajibkan guru melakukan absen finger print. Pola ini memberatkan para guru dan rentan terpapar COVID-19 dalam perjalanan menuju dan pulang dari sekolah.
Dudung menjelaskan, kondisi saat ini memang dalam dilema. Apalagi ketika para orang tua sudah mulai bekerja. Sementara, selama ini perangkat pembelajaran jarak jauh (PJJ), seperti ponsel pintar, yang biasa digunakan siswa sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP) itu milik orang tuanya.
Faktanya, menurutnya, sekarang anak-anak berkeliaran. Karena ketidakadaan gawai, mereka tidak bisa mengikuti PJJ secara daring.
Dudung mengungkapkan berdasarkan survei-surveinya, guru dan para orang tua memang menginginkan pembelajaran tatap muka. Tentu dengan beragam alasan.