Cerita Alumnus UMM Puasa di Tengah Suhu Cuaca 5 Derajat Celcius di Hungaria
loading...
A
A
A
JAKARTA - Alumnus UMM Hesti Miranda menceritakan pengalaman puasa di Hungaria . Ia mesti menahan lapar dan haus di tengah suhu cuaca 5 derajat celcius di salah satu negeri kawasan Eropa itu.
Hesti adalah alumnus Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) jurusan Bahasa Inggris yang saat ini tengah berkuliah di University of Debrecen, Hungaria dengan mengambil jurusan Educational Science.
Mahasiswa doktoral tingkat akhir ini tengah merasakan perbedaan budaya dan kebiasaan ketika menjalani ibadah puasa ramadan yang jauh dari rumah dan keluarga.
Baca juga: Begini Cerita Alumnus Vokasi UMM Berpuasa di Jepang, Rindu Suara Azan
Walaupun suhu udara saat di Hungaria saat ini kurang lebih 5 derajat celcius, namun Hesti merasakan kehangatan dari teman sekelasnya. Hal ini terjadi karena teman sekelas Hesti yang beragama non-muslim terkadang memberinya makanan asli Hungaria untuk berbuka puasa.
Selain itu, hal menarik lainnya adalah tingginya toleransi yang ia rasakan, paling tidak di lingkungannya. Misalnya saat teman-temannya berusaha untuk tidak makan di depannya dan tidak lagi mengajaknya makan di siang hari karena tahu bahwa ia sedang berpuasa
Baca juga: Cerita Alumnus UNY Berpuasa 16 Jam di Tengah Berkuliah dan Meneliti di Inggris
“Kebetulan saat ini sedang musim semi, jadi puasa lebih nyaman dan tidak terlalu panas. Berkat musim ini pula, durasi puasanya juga tidak jauh berbeda dengan Indonesia. Sayangnya, di sini tentu tentu tidak ada takjil sebagaimana di Indonesia. Jadi kalau ingin makan gorengan, mau tidak mau harus bikin sendiri,” katanya, dikutip dari laman UMM, Rabu (26/3/2024).
Uniknya, dalam menjalani ibadah puasa faktor yang paling mendukung adalah cuaca. Jika di Indonesia musim yang paling cocok adalah musim panas, namun di Hungaria musim yang paling cocok adalah musim dingin dan musim semi.
Baca juga: Cerita Dosen UNS Berpuasa di Jepang, Bunga Sakura Bermekaran Sambut Ramadan
Karena pada saat itu suhu masih terbilang dingin, sehingga panas matahari tidak terlalu terik dan aktivitas menjadi lebih fleksibel.
Selain itu, perbedaan mencolok lainnya adalah tidak adanya penjual di pinggir jalan yang menjajakan takjil mereka. Maka dari itu, Hesti menyiasati jika ingin memakan takjil ia harus harus usaha lebih untuk membuat takjil sendiri.
Sementara untuk tempat ibadah, Hungaria memiliki masjid namun tidak menyelenggarakan ibadah tarawih. Sehingga, ketika akan melaksanakan tarawih, Hesti biasanya mengikuti sholat tarawih yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) atau dengan sholat di rumah salah satu teman Indonesianya.
“Sebenarnya tak jauh beda dengan di Indonesia, namun disini hanya cuacanya saja yang mendukung kami para muslim untuk berpuasa,” tambahnya.
Hesti adalah alumnus Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) jurusan Bahasa Inggris yang saat ini tengah berkuliah di University of Debrecen, Hungaria dengan mengambil jurusan Educational Science.
Mahasiswa doktoral tingkat akhir ini tengah merasakan perbedaan budaya dan kebiasaan ketika menjalani ibadah puasa ramadan yang jauh dari rumah dan keluarga.
Baca juga: Begini Cerita Alumnus Vokasi UMM Berpuasa di Jepang, Rindu Suara Azan
Walaupun suhu udara saat di Hungaria saat ini kurang lebih 5 derajat celcius, namun Hesti merasakan kehangatan dari teman sekelasnya. Hal ini terjadi karena teman sekelas Hesti yang beragama non-muslim terkadang memberinya makanan asli Hungaria untuk berbuka puasa.
Selain itu, hal menarik lainnya adalah tingginya toleransi yang ia rasakan, paling tidak di lingkungannya. Misalnya saat teman-temannya berusaha untuk tidak makan di depannya dan tidak lagi mengajaknya makan di siang hari karena tahu bahwa ia sedang berpuasa
Baca juga: Cerita Alumnus UNY Berpuasa 16 Jam di Tengah Berkuliah dan Meneliti di Inggris
“Kebetulan saat ini sedang musim semi, jadi puasa lebih nyaman dan tidak terlalu panas. Berkat musim ini pula, durasi puasanya juga tidak jauh berbeda dengan Indonesia. Sayangnya, di sini tentu tentu tidak ada takjil sebagaimana di Indonesia. Jadi kalau ingin makan gorengan, mau tidak mau harus bikin sendiri,” katanya, dikutip dari laman UMM, Rabu (26/3/2024).
Uniknya, dalam menjalani ibadah puasa faktor yang paling mendukung adalah cuaca. Jika di Indonesia musim yang paling cocok adalah musim panas, namun di Hungaria musim yang paling cocok adalah musim dingin dan musim semi.
Baca juga: Cerita Dosen UNS Berpuasa di Jepang, Bunga Sakura Bermekaran Sambut Ramadan
Karena pada saat itu suhu masih terbilang dingin, sehingga panas matahari tidak terlalu terik dan aktivitas menjadi lebih fleksibel.
Selain itu, perbedaan mencolok lainnya adalah tidak adanya penjual di pinggir jalan yang menjajakan takjil mereka. Maka dari itu, Hesti menyiasati jika ingin memakan takjil ia harus harus usaha lebih untuk membuat takjil sendiri.
Sementara untuk tempat ibadah, Hungaria memiliki masjid namun tidak menyelenggarakan ibadah tarawih. Sehingga, ketika akan melaksanakan tarawih, Hesti biasanya mengikuti sholat tarawih yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) atau dengan sholat di rumah salah satu teman Indonesianya.
“Sebenarnya tak jauh beda dengan di Indonesia, namun disini hanya cuacanya saja yang mendukung kami para muslim untuk berpuasa,” tambahnya.
(nnz)