President University Kukuhkan 1 Guru Besar Baru, Kini Miliki 9 Profesor

Sabtu, 08 Juni 2024 - 10:37 WIB
loading...
A A A
Pemahaman yang keliru semacam ini, lanjut dia, membuat ilmu antropologi seakan-akan tersingkir dari kehidupan modern.

“Di era globalisasi sekarang ini, definisi tentang masyarakat terpencil perlu dikaji ulang. Sekarang ini di era digital dan internet semuanya bisa dijangkau dengan mudah dan murah,” terangnya.

Etnografi ke Netnografi


Menurut Prof. Retno, perkembangan TIK telah mengubah pola interaksi, pola pikir, pola tindak dan perilaku masyarakat sehari-hari. “Kalau dulu interaksinya dengan tatap muka, masyarakat sekarang merasa lebih nyaman, lebih efektif dan lebih efisien berinteraksi di dunia maya,” tuturnya.

Baca juga: Dubes Iran Kuliah Tamu di Presuniv, Paparkan Sejarah Hubungan Dua Negara

Kondisi tersebut menuntut perubahan cara melakukan penelitian.

“Sebelumnya penelitian antropologi dilakukan dengan pendekatan etnografi. Penelitian semacam itu menuntut para peneliti untuk datang dan tinggal bersama masyarakat yang ditelitinya dalam jangka waktu tertentu,” papar Prof. Retno.

Seiring dengan perkembangan TIK yang memicu terjadinya perubahan, arena kajian pun berubah menjadi digital. Katanya, “Sekarang ini media sosial sudah menjadi potret dari kehidupan masyarakat sehari-hari. Maka, apa yang terjadi di media sosial dapat menjadi data riset untuk kajian antropologi.”

Mengutip data, Prof. Retno menyebutkan bahwa dari 281,7 juta penduduk Indonesia, sebanyak 185,3 juta atau 66% di antaranya merupakan pengguna internet. Lalu, sebanyak 139 juta atau 49% dari seluruh penduduk Indonesia tercatat aktif menggunakan media sosial. Untuk itu, lanjut dia, penelitian antropologi perlu berubah dari semula memakai metode etnografi menjadi netnografi.

“Netnografi adalah singkatan dari internet dan etnografi. Metode ini bisa dipakai untuk mengidentifikasi kehidupan di dunia maya dan menjadikannya sebagai bahan riset,” ungkapnya.

Saat ini relatif murahnya tarif internet serta kecepatan dan kemudahan aksesnya telah merevolusi media sosial. “Siapa pun bebas mengakses dan memproduksi informasi. Sayangnya banjir informasi ini tidak diimbangi dengan daya kritis dari pengguna media sosial. Akibatnya ruang public pun menjadi riuh. Berbagai ide dan gagasan mengalir dengan tanpa filter dan seleksi,” lanjutnya.

Prof. Retno mencatat setidak-tidaknya ada 10 media sosial yang paling banyak digunakan masyarakat Indonesia. WhatApps digunakan oleh 92,1% warganet, disusul Instagram (86,5%), Facebook (83,5%), Tiktok (73,5%), Telegram (64,3%), X (57,5%), Facebook Messenger (44,9%), Pinteres (34%), Kuai-shou (32,4%) dan LinkedIn (25%).
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.8004 seconds (0.1#10.140)