Edukasi Minim, Ini Penjelasan Ahli soal Gempa Kuat di Zona Megathrust
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Daryono menyoroti ramainya perbincangan mengenai potensi gempa kuat di zona megathrust. Perbincangan ini menimbulkan keresahan di tengah masyarakat.
Menurut Daryono, masih banyak masyarakat yang belum memahami gempa megathrust. Gempa megathrust dipahami sebagai sesuatu yang baru dan segera akan terjadi dalam waktu dekat, berkekuatan sangat besar, dan menimbulkan kerusakan dan tsunami dahsyat.
"Pemahaman seperti ini tentu saja kurang tepat," kata Daryono melalui keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Sabtu (26/9/2020). (Baca juga: Mahasiswa ITS Asal Kebumen Ciptakan Aplikasi Tukar Sampah NUKERTRASH )
Daryono menjelaskan, zona megathrust sebenarnya sekadar istilah untuk menyebutkan sumber gempa tumbukan lempeng di kedalaman dangkal. Dalam hal ini, lempeng samudra yang menunjam ke bawah lempeng benua membentuk medan tegangan (stress) pada bidang kontak antar lempeng yang kemudian dapat bergeser secara tiba-tiba memicu gempa.
"Jika terjadi gempa, maka bagian lempeng benua yang berada di atas lempeng samudra bergerak terdorong naik (thrusting)," tuturnya. (Baca juga: UGM Ciptakan GeNose, Alat Deteksi COVID-19 Kurang dari 2 Menit )
Jalur subduksi lempeng umumnya sangat panjang dengan kedalaman dangkal mencakup bidang kontak antar lempeng. Dalam perkembangannya, zona subduksi diasumsikan sebagai 'patahan naik yang besar', yang kini populer disebut sebagai zona megathrust.
Ia menekankan, zona megathrust bukan hal baru. Di Indonesia, zona sumber gempa ini sudah ada sejak jutaan tahun lalu saat terbentuknya rangkaian busur kepulauan Indonesia.
Zona megathrust berada di zona subduksi aktif, seperti subduksi Sunda mencakup Sumatra, Jawa, Bali, Lombok, dan Sumba. Kemudian, subduksi Banda, subduksi Lempeng Laut Maluku, subduksi Sulawesi, subduksi Lempeng Laut Filipina, dan subduksi Utara Papua. (Baca juga: Mahasiswa ITS Buat Aplikasi Pemantau Kondisi Manula )
"Saat ini segmen zona megathrust Indonesia sudah dapat dikenali potensinya," ujarnya.
Seluruh aktivitas gempa yang bersumber di zona megathrust disebut sebagai gempa megathrust dan tidak selalu berkekuatan besar. Sebagai sumber gempa, kata dia, zona megathrust dapat membangkitkan gempa berbagai magnitudo dan kedalaman.
"Data hasil monitoring BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) menunjukkan, justru 'gempa kecil' yang lebih banyak terjadi di zona megathrust, meskipun zona megathrust dapat memicu gempa besar," ungkapnya.
Megathrust Selatan Jawa
Dalam buku Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia 2017 disebutkan, di Samudra Hindia selatan Jawa terdapat tiga segmentasi megathrust, yaitu Segmen Jawa Timur, Segmen Jawa Tengah-Jawa Barat, dan Segmen Banten-Selat Sunda. Ketiga segmen megathrust ini memiliki magnitudo tertarget M8,7.
"Namun demikian, jika skenario model dibuat dengan asumsi dua segmen megathrust yang 'bergerak' secara simultan maka magnitudo gempa yang dihasilkan bisa lebih besar dari 8,7," paparnya.
Besarnya magnitudo gempa yang disampaikan tersebut adalah potensi skenario terburuk (worst case) bukan prediksi yang akan terjadi dalam waktu dekat. Dengan begitu, tak ada yang tahu kapan terjadinya gempa megathrust.
"Untuk itu, dalam ketidakpastian kapan terjadinya, kita semua harus melakukan upaya mitigasi," ungkapnya.
Hasil monitoring BMKG menunjukkan, zona megathrust selatan Jawa memang sangat aktif yang tampak dalam peta aktivitas kegempaannya (seismisitas). Dalam catatan sejarah, sejak 1700, zona megathrust selatan Jawa sudah beberapa kali terjadi aktivitas gempa besar (major earthquake) dan dahsyat (great earthquake).
Gempa besar dengan magnitudo antara 7,0 dan 7,9 yang bersumber di zona megathrust selatan Jawa sudah terjadi sebanyak 8 kali, yaitu pada 1903 (M7,9), 1921 (M7,5), 1937 (M7,2), 1981 (M7,0), 1994 (M7,6), 2006 (M7,8) dan 2009 (M7,3).
Sementara itu, gempa dahsyat dengan magnitudo 8,0 atau lebih besar yang bersumber di zona megathrust selatan Jawa sudah terjadi 3 kali, yaitu pafa 1780 (M8,5), 1859 (M8,5), dan 1943 (M8,1).
"Sedangkan untuk gempa dengan kekuatan 9,0 atau lebih besar di selatan Jawa belum tercatat dalam katalog sejarah gempa," ujarnya.
Daryono menambahkan, wilayah selatan Jawa sudah beberapa kali terjadi tsunami. Bukti adanya peristiwa tsunami selatan Jawa dapat dijumpai dalam katalog tsunami Indonesia BMKG. Tsunami pernah terjadi di antaranya pada 1840, 1859, 1921, 1921, 1994, dan 2006.
"Selain data tersebut, hasil penelitian paleotsunami juga mengonfirmasi adanya jejak tsunami yang berulang terjadi di selatan Jawa di masa lalu," ujarnya.
Seringnya zona selatan Jawa dilanda gempa dan tsunami adalah risiko yang harus dihadapi oleh masyarakat yang tinggal dan menumpang hidup di pertemuan batas lempeng tektonik. Namun, kondisi ini tak lantas haeus membuat masyarakat takut atau cemas.
"Karena dengan mewujudkan upaya mitigasi yang kongkrit maka kita dapat meminimalkan risiko, sehingga kita masih dapat hidup aman dan nyaman di daerah rawan bencana," ungkap dia.
Perbincangan mengenai gempa megathrust mengemuka setelah riset Sri Widyantoro mengenai tsunami menyedot perhatian. Guru Besar bidang Sesimologi ITB itu memprediksi tsunami setinggi 20 meter di Pantai Selatan Jawa Barat dan 12 meter di Selatan Jawa Timur.
Menurut Daryono, masih banyak masyarakat yang belum memahami gempa megathrust. Gempa megathrust dipahami sebagai sesuatu yang baru dan segera akan terjadi dalam waktu dekat, berkekuatan sangat besar, dan menimbulkan kerusakan dan tsunami dahsyat.
"Pemahaman seperti ini tentu saja kurang tepat," kata Daryono melalui keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Sabtu (26/9/2020). (Baca juga: Mahasiswa ITS Asal Kebumen Ciptakan Aplikasi Tukar Sampah NUKERTRASH )
Daryono menjelaskan, zona megathrust sebenarnya sekadar istilah untuk menyebutkan sumber gempa tumbukan lempeng di kedalaman dangkal. Dalam hal ini, lempeng samudra yang menunjam ke bawah lempeng benua membentuk medan tegangan (stress) pada bidang kontak antar lempeng yang kemudian dapat bergeser secara tiba-tiba memicu gempa.
"Jika terjadi gempa, maka bagian lempeng benua yang berada di atas lempeng samudra bergerak terdorong naik (thrusting)," tuturnya. (Baca juga: UGM Ciptakan GeNose, Alat Deteksi COVID-19 Kurang dari 2 Menit )
Jalur subduksi lempeng umumnya sangat panjang dengan kedalaman dangkal mencakup bidang kontak antar lempeng. Dalam perkembangannya, zona subduksi diasumsikan sebagai 'patahan naik yang besar', yang kini populer disebut sebagai zona megathrust.
Ia menekankan, zona megathrust bukan hal baru. Di Indonesia, zona sumber gempa ini sudah ada sejak jutaan tahun lalu saat terbentuknya rangkaian busur kepulauan Indonesia.
Zona megathrust berada di zona subduksi aktif, seperti subduksi Sunda mencakup Sumatra, Jawa, Bali, Lombok, dan Sumba. Kemudian, subduksi Banda, subduksi Lempeng Laut Maluku, subduksi Sulawesi, subduksi Lempeng Laut Filipina, dan subduksi Utara Papua. (Baca juga: Mahasiswa ITS Buat Aplikasi Pemantau Kondisi Manula )
"Saat ini segmen zona megathrust Indonesia sudah dapat dikenali potensinya," ujarnya.
Seluruh aktivitas gempa yang bersumber di zona megathrust disebut sebagai gempa megathrust dan tidak selalu berkekuatan besar. Sebagai sumber gempa, kata dia, zona megathrust dapat membangkitkan gempa berbagai magnitudo dan kedalaman.
"Data hasil monitoring BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) menunjukkan, justru 'gempa kecil' yang lebih banyak terjadi di zona megathrust, meskipun zona megathrust dapat memicu gempa besar," ungkapnya.
Megathrust Selatan Jawa
Dalam buku Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia 2017 disebutkan, di Samudra Hindia selatan Jawa terdapat tiga segmentasi megathrust, yaitu Segmen Jawa Timur, Segmen Jawa Tengah-Jawa Barat, dan Segmen Banten-Selat Sunda. Ketiga segmen megathrust ini memiliki magnitudo tertarget M8,7.
"Namun demikian, jika skenario model dibuat dengan asumsi dua segmen megathrust yang 'bergerak' secara simultan maka magnitudo gempa yang dihasilkan bisa lebih besar dari 8,7," paparnya.
Besarnya magnitudo gempa yang disampaikan tersebut adalah potensi skenario terburuk (worst case) bukan prediksi yang akan terjadi dalam waktu dekat. Dengan begitu, tak ada yang tahu kapan terjadinya gempa megathrust.
"Untuk itu, dalam ketidakpastian kapan terjadinya, kita semua harus melakukan upaya mitigasi," ungkapnya.
Hasil monitoring BMKG menunjukkan, zona megathrust selatan Jawa memang sangat aktif yang tampak dalam peta aktivitas kegempaannya (seismisitas). Dalam catatan sejarah, sejak 1700, zona megathrust selatan Jawa sudah beberapa kali terjadi aktivitas gempa besar (major earthquake) dan dahsyat (great earthquake).
Gempa besar dengan magnitudo antara 7,0 dan 7,9 yang bersumber di zona megathrust selatan Jawa sudah terjadi sebanyak 8 kali, yaitu pada 1903 (M7,9), 1921 (M7,5), 1937 (M7,2), 1981 (M7,0), 1994 (M7,6), 2006 (M7,8) dan 2009 (M7,3).
Sementara itu, gempa dahsyat dengan magnitudo 8,0 atau lebih besar yang bersumber di zona megathrust selatan Jawa sudah terjadi 3 kali, yaitu pafa 1780 (M8,5), 1859 (M8,5), dan 1943 (M8,1).
"Sedangkan untuk gempa dengan kekuatan 9,0 atau lebih besar di selatan Jawa belum tercatat dalam katalog sejarah gempa," ujarnya.
Daryono menambahkan, wilayah selatan Jawa sudah beberapa kali terjadi tsunami. Bukti adanya peristiwa tsunami selatan Jawa dapat dijumpai dalam katalog tsunami Indonesia BMKG. Tsunami pernah terjadi di antaranya pada 1840, 1859, 1921, 1921, 1994, dan 2006.
"Selain data tersebut, hasil penelitian paleotsunami juga mengonfirmasi adanya jejak tsunami yang berulang terjadi di selatan Jawa di masa lalu," ujarnya.
Seringnya zona selatan Jawa dilanda gempa dan tsunami adalah risiko yang harus dihadapi oleh masyarakat yang tinggal dan menumpang hidup di pertemuan batas lempeng tektonik. Namun, kondisi ini tak lantas haeus membuat masyarakat takut atau cemas.
"Karena dengan mewujudkan upaya mitigasi yang kongkrit maka kita dapat meminimalkan risiko, sehingga kita masih dapat hidup aman dan nyaman di daerah rawan bencana," ungkap dia.
Perbincangan mengenai gempa megathrust mengemuka setelah riset Sri Widyantoro mengenai tsunami menyedot perhatian. Guru Besar bidang Sesimologi ITB itu memprediksi tsunami setinggi 20 meter di Pantai Selatan Jawa Barat dan 12 meter di Selatan Jawa Timur.
(mpw)