FSGI Sebut SKB 3 Menteri Terkait Seragam Sekolah Timbulkan Misinformasi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mengungkapkan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri tentang penggunaan seragam dan atribut bagi peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan di lingkungan sekolah menimbulkan misinformasi.
Sekjen FSGI Heru Purnomo mengatakan, pihaknya memberikan dukungan dan apresiasi terhadap hadirnya SKB 3 Menteri itu. SKB ini diduga terkait dengan peristiwa siswi nonmuslim SMKN 2 Padang yang diminta menggunakan jilbab.
FSGI memberikan beberapa catatan terhadap SKB 3 Menteri ini. “Jangan sampai SKB ini hanya sebagai tindakan reaktif pemerintah untuk meredam gejolak yang muncul dari kasus tersebut tanpa kajian dan tindak lanjut menyelesaikan masalah intoleran,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Senin (8/2/2021).
Peristiwa di SMKN 2 Padang itu merupakan puncak gunung es dari budaya intoleran di sekolah. Maka, Heru menyatakan SKB 3 Menteri itu tidak akan cukup menyelesaikan tindakan intoleran di sekolah.
FSGI menjabarkan, beberapa kasus intoleran di sekolah, antara lain, larangan siswi menggunakan jilbab di SMAN 2 Denpasar pada 2014, himbauan secara lisan yang melarang menggunakan jilbab di SD Inpres 22 Wosi Manokwari, dan himbauan untuk menggunakan jilbab di SMAN 2 Rambah hilir, Rokan Hulu.
Baca juga: DPR Minta SKB 3 Menteri soal Seragam dan Atribut Sekolah Disosialisasi Masif
Guru SMKN 1 Pali Belo, Kabupaten Bima, Eka Ilham mengatakan, jika dianalisis, pelarangan dan kewajiban menggunakan jilbab ini terjadi setelah reformasi. Ini seiring tumbuhnya politik identitas di Indonesia.
Selain itu, ada arogansi mayoritas terhadap minoritas karena selama orde baru, daerah-daerah terkekang dengan kekuatan sentralisasi pemerintah pusat. Apalagi di masa orde baru penggunaan jilbab di sekolah dilarang sampai dengan tahun 1991. Itu membuat pertentangan antara kewajiban dan larangan penggunaan jilbab hampir tidak muncul ke permukaan,” ujarnya.
Wakil Sekjen FSGI menjelaskan, sekarang muncul misinformasi terkait kehadiran SKB 3 Menteri. Pro dan kontra yang sangat tajam plus ketidakpercayaan terhadap pemerintah, termasuk Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) membuat misinformasi ini tersebar dengan masif.
“Pro dan kontra tidak bisa dipandang sebelah mata. Bahkan, dikhawatirkan dapat menjadi amunisi tindakan intoleran lainnya,” katanya.
Guru SMAN 38 Jakarta Slamet Maryanti mengatakan di lingkungan dan grup-grup WhatsApp yang diikutinya, banyak orang tua khawatir, terutama yang anaknya sekolah di Madrasah. “Mereka khawatir jika madrasah, seperti MI, MTs, dan MA, jangan-jangan juga akan dikenakan aturan yang sama. Akan diberikan kebebasan memilih untuk menggunakan jilbab atau tidak,” pungkasnya.
Sekjen FSGI Heru Purnomo mengatakan, pihaknya memberikan dukungan dan apresiasi terhadap hadirnya SKB 3 Menteri itu. SKB ini diduga terkait dengan peristiwa siswi nonmuslim SMKN 2 Padang yang diminta menggunakan jilbab.
FSGI memberikan beberapa catatan terhadap SKB 3 Menteri ini. “Jangan sampai SKB ini hanya sebagai tindakan reaktif pemerintah untuk meredam gejolak yang muncul dari kasus tersebut tanpa kajian dan tindak lanjut menyelesaikan masalah intoleran,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Senin (8/2/2021).
Peristiwa di SMKN 2 Padang itu merupakan puncak gunung es dari budaya intoleran di sekolah. Maka, Heru menyatakan SKB 3 Menteri itu tidak akan cukup menyelesaikan tindakan intoleran di sekolah.
FSGI menjabarkan, beberapa kasus intoleran di sekolah, antara lain, larangan siswi menggunakan jilbab di SMAN 2 Denpasar pada 2014, himbauan secara lisan yang melarang menggunakan jilbab di SD Inpres 22 Wosi Manokwari, dan himbauan untuk menggunakan jilbab di SMAN 2 Rambah hilir, Rokan Hulu.
Baca juga: DPR Minta SKB 3 Menteri soal Seragam dan Atribut Sekolah Disosialisasi Masif
Guru SMKN 1 Pali Belo, Kabupaten Bima, Eka Ilham mengatakan, jika dianalisis, pelarangan dan kewajiban menggunakan jilbab ini terjadi setelah reformasi. Ini seiring tumbuhnya politik identitas di Indonesia.
Selain itu, ada arogansi mayoritas terhadap minoritas karena selama orde baru, daerah-daerah terkekang dengan kekuatan sentralisasi pemerintah pusat. Apalagi di masa orde baru penggunaan jilbab di sekolah dilarang sampai dengan tahun 1991. Itu membuat pertentangan antara kewajiban dan larangan penggunaan jilbab hampir tidak muncul ke permukaan,” ujarnya.
Wakil Sekjen FSGI menjelaskan, sekarang muncul misinformasi terkait kehadiran SKB 3 Menteri. Pro dan kontra yang sangat tajam plus ketidakpercayaan terhadap pemerintah, termasuk Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) membuat misinformasi ini tersebar dengan masif.
“Pro dan kontra tidak bisa dipandang sebelah mata. Bahkan, dikhawatirkan dapat menjadi amunisi tindakan intoleran lainnya,” katanya.
Guru SMAN 38 Jakarta Slamet Maryanti mengatakan di lingkungan dan grup-grup WhatsApp yang diikutinya, banyak orang tua khawatir, terutama yang anaknya sekolah di Madrasah. “Mereka khawatir jika madrasah, seperti MI, MTs, dan MA, jangan-jangan juga akan dikenakan aturan yang sama. Akan diberikan kebebasan memilih untuk menggunakan jilbab atau tidak,” pungkasnya.
(mpw)