Lebih Efektif, Direktur Diktis: PTKIN Harus Seriusi Pembelajaran Digital
loading...
A
A
A
JAKARTA - UIN Jakarta maupun Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) lain di tanah air diminta terus meningkatkan sistem perkuliahan digital. Tidak hanya menyiasati pembelajaran di era pandemi, sistem pembelajaran digital juga turut memfasilitasi masyarakat yang kesulitan menempuh pendidikan tinggi akibat kebijakan belajar di ruang kelas atau sit in.
Demikian disampaikan Direktur Pendidikan Tinggi Islam (Diktis) Kementerian Agama RI Prof. Dr Suyitno saat menjadi pembicara kunci dalam Rapat Kerja Pimpinan UIN Jakarta di Syahida Inna, Rabu (10/3). Situasi pandemi setahun terahir, tuturnya, memberi pelajaran besar pentingnya mengadopsi sistem pembelajaran berbasis digital.
Selain menghindarkan resiko kesehatan, pembelajaran berbasis digital juga bisa berlangsung lebih efektif dibanding di ruang kelas. Pasalnya, pembelajaran digital memungkinkan para mahasiswa tetap produktif mengisi aktifitasnya yang lain.
“Makanya, saya terkejut mengapa dosen kita misalnya masih banyak magister. Perlu didorong untuk kuliah virtual. Mereka bisa kuliah sambil tetap meneruskan aktifitasnya berceramah di tengah-tengah masyarakat,” katannya seperti dilansir dari laman resmi UIN Jakarta, Kamis (11/3/2021).
Profesor Suyitno juga mengingatkan, pentingnya pembelajaran berbasis digital sebagai pemenuhan tanggungjawab perguruan tinggi Islam dalam memenuhi hak pendidikan kelompok masyarakat yang selama ini tidak tersentuh. “Setidaknya ada tiga pangsa pasar yang tidak tersentuh perguruan tinggi. Dan itu potensial,” katanya.
Kelompok pertama, jelasnya, adalah ratusan ribu guru madrasah yang belum berpendidikan sarjana. Para guru ini kesulitan memenuhi ketentuan berpendidikan sarjana bahkan karenanya tidak mendapat tunjangan sertifikasi akibat sulit mengikuti perkuliahan di kelas.
“Jumlahnya masih ratusan ribu. Bahkan di Jakarta juga ada. Kita berdosa membuat mereka enggak bisa sarjana dan mendapat sertifikasi. Kenapa? Karena kita tidak punya program afirmasi untuk mereka. Kita selama ini masih menerapkan kuliah berbasis sit in,” paparnya.
Selanjutnya kelompok kedua, para tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Secara ekonomi, kelompok ini merupakan kelompok potensial, namun kesulitan melanjutkan pendidikan akibat pembelajaran berbasis ruang kelas.
Demikian disampaikan Direktur Pendidikan Tinggi Islam (Diktis) Kementerian Agama RI Prof. Dr Suyitno saat menjadi pembicara kunci dalam Rapat Kerja Pimpinan UIN Jakarta di Syahida Inna, Rabu (10/3). Situasi pandemi setahun terahir, tuturnya, memberi pelajaran besar pentingnya mengadopsi sistem pembelajaran berbasis digital.
Selain menghindarkan resiko kesehatan, pembelajaran berbasis digital juga bisa berlangsung lebih efektif dibanding di ruang kelas. Pasalnya, pembelajaran digital memungkinkan para mahasiswa tetap produktif mengisi aktifitasnya yang lain.
“Makanya, saya terkejut mengapa dosen kita misalnya masih banyak magister. Perlu didorong untuk kuliah virtual. Mereka bisa kuliah sambil tetap meneruskan aktifitasnya berceramah di tengah-tengah masyarakat,” katannya seperti dilansir dari laman resmi UIN Jakarta, Kamis (11/3/2021).
Profesor Suyitno juga mengingatkan, pentingnya pembelajaran berbasis digital sebagai pemenuhan tanggungjawab perguruan tinggi Islam dalam memenuhi hak pendidikan kelompok masyarakat yang selama ini tidak tersentuh. “Setidaknya ada tiga pangsa pasar yang tidak tersentuh perguruan tinggi. Dan itu potensial,” katanya.
Kelompok pertama, jelasnya, adalah ratusan ribu guru madrasah yang belum berpendidikan sarjana. Para guru ini kesulitan memenuhi ketentuan berpendidikan sarjana bahkan karenanya tidak mendapat tunjangan sertifikasi akibat sulit mengikuti perkuliahan di kelas.
“Jumlahnya masih ratusan ribu. Bahkan di Jakarta juga ada. Kita berdosa membuat mereka enggak bisa sarjana dan mendapat sertifikasi. Kenapa? Karena kita tidak punya program afirmasi untuk mereka. Kita selama ini masih menerapkan kuliah berbasis sit in,” paparnya.
Selanjutnya kelompok kedua, para tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Secara ekonomi, kelompok ini merupakan kelompok potensial, namun kesulitan melanjutkan pendidikan akibat pembelajaran berbasis ruang kelas.