Membaca Narasi Sejarah yang Mengerdilkan Peran Soekarno sebagai Penggagas Pancasila
loading...
A
A
A
JAKARTA - Agaknya hoaks telah menjadi senjata yang sejak dulu sengaja dilancarkan untuk menyerang pribadi para tokoh penting, termasuk salah satunya Bung Karno . Telah terjadi hoaks sejarah jelang masa kemerdekaan, ketika konsep Pancasila pertama kali diperkenalkan Soekarno pada 1 Juni 1945.
Ternyata, masih saja ada yang memperdebatkan soal hari lahir Pancasila . Bahkan, Soekarno dituduh menjiplak pemikiran Mohammad Yamin, yang berpidato sebelum Bung Karno pada sidang BPUPKI tanggal 29 Mei.
Sebelumnya pula, Soepomo disebut telah menyampaikan pidato tentang dasar negara pada 31 Mei. Peristiwa ini pun bukan rahasia, semua buku pelajaran sekolah memang menyebut dua tokoh ini sebagai pengusul lima sila sebelum Soekarno.
Kejadian tersebut hingga kini menjadi simpang siur sampai-sampai membuat sebuah narasi yang menyesatkan, bahwa Soekarno bukanlah tokoh sentral dalam kelahiran dan perumusan Pancasila.
Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila (PSPP) Syaiful Arif dalam sebuah dialog sejarah di kanal Youtube Historia menegaskan bahwa narasi sejarah yang mengecilkan peran Soekarno sebagai penggagas Pancasila adalah hoaks sejarah.
Hoaks ini, jelas Syaiful, bermula dari buku Naskah Persiapan UUD 1945 yang diterbitkan pada 1959. Buku ini disusun Yamin berdasarkan notulen sidang BPUPK yang dipinjamnya dari Abdul Gaffar Pringgodigdo (A.G. Pringgodigdo), wakil Kepala Tata Usaha BPUPK.
Dalam menyusun buku itu, Yamin memasukan naskah pidatonya sepanjang 21 halaman. Di dalam pidato Yamin itu, tertulis pula usulan lima sila dasar negara yang mirip dengan Pancasila. Buku ini kemudian menjadi rujukan penulisan sejarah era Orde Baru, terutama pada buku Risalah Sidang BPUPKI-PPKI yang diterbitkan oleh Sekretariat Negara Republik Indonesia pada 1992, 1995, dan 1998.
“Kalau kita menggunakan konstruksi sejarah selama Orde Baru itu, pertama, Pak Karno atau Bung Karno ini tidak hanya kita sebut sebagai sebatas mengusulkan nama Pancasila, tetapi juga beliau ini kalau menggunakan kontruksi ini (adalah) seorang plagiator,” terang Syaiful.
Padahal, naskah pidato 21 halaman itu sebenarnya bukanlah pidato Yamin yang disampaikan pada 29 Mei 1945. Naskah itu adalah rancangan Pembukaan UUD 1945 yang dibuat Yamin atas perintah Sukarno yang juga bersumber dari pidato 1 Juni. Sayangnya, naskah itu ditolak oleh Panitia Sembilan karena terlalu panjang.
Fakta ini dikuatkan oleh buku Uraian Pancasila yang disusun oleh Panitia Lima. Panitia Lima beranggotakan Moh. Hatta, A.A. Maramis, Ahmad Subardjo, Sunario, dan A.G. Pringgodigdo. Dalam Uraian Pancasila, dengan jelas disebutkan bahwa Pancasila lahir dari pidato Sukarno 1 Juni 1945. Selain itu, Hatta juga memberi kesaksian dalam bukunya Memoir.
“Nah kata Bung Hatta, ternyata draft Pembukaan Undang-Undang Dasar yang ditulis atas perintah Bung Karno sebagai Ketua Panitia Sembilan itu masih disimpan oleh Yamin sejak tahun ‘45 lalu kemudian diterbitkan tahun ‘59 sebagai pengganti notulensi pidato Pak Yamin yang asli,” jelas Syaiful.
Penggantian naskah pidato Yamin inilah yang memanipulasi kronologi sejarah lahirnya Pancasila. Sementara, notulen pidato asli Yamin pada 29 Mei 1945 sampai sekarang belum ditemukan setelah dipinjam Yamin dari A.G. Pringgodigdo. Padahal, notulen selain mengenai pidato Yamin kini telah ditemukan dan disimpan di Arsip Nasional RI.
Sejarawan dan Ahli Peneliti Utama LIPI Dr. Asvi Warman Adam menjelaskan, rekayasa sejarah lahirnya Pancasila berlangsung sejak awal Orde Baru untuk mengecilkan jasa Soekarno dan melebih-lebihkan peran Soeharto.
Dikutip dari laman resmi LIPI, Asvi menyebut bahwa hal tersebut dilakukan untuk menghilangkan peluang bagi pendukung ajaran Soekarno tampil di kancah politik nasional, selain juga memberi legitimasi historis kepada Jenderal Soeharto.
Yang publik ketahui kini, setiap tanggal 1 Juni selalu diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila. Pemerintah secara rutin menggelar upacara kenegaraan, yang dihadiri oleh Presiden beserta jajarannya. Upacara juga tak lewat dilaksanakan di masa pandemi Covid-19, meskipun harus secara daring.
Selebrasi tersebut sangat kontras dengan sejarah bangsa ini yang pernah melarang peringatan lahirnya Pancasila sejak 1 Juni 1970. Pada tahun sama, yakni pada tanggal 22 Juni, Bung Karno pun berpulang.
Sejarawan Asvi mengutip ungkapan ahli sejarah asal Perancis, Jacques Leclerc yang mengatakan bahwa pada hakikatnya, Bung Karno telah dibunuh dua kali.
Secara fisik, Soekarno dalam status “tahanan rumah” tidak dirawat sebagaimana mestinya, sehingga kesehatannya terus memburuk dan akhirnya meninggal, sedangkan pemikirannya dilarang untuk didiskusikan.
Kronologi manuver sejarah
Sebenarnya, banyak catatan dan kesaksian para tokoh sejarah yang membenarkan peran Soekarno sebagai penggagas Pancasila.
Dalam buku Uraian Pancasila yang disusun Panitia Lima beranggotakan Moh. Hatta, A.A. Maramis, Ahmad Soebardjo, Sunario, dan A.G. Pringgodigdo, menyebutkan dengan jelas Pancasila lahir dari pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945. Selain itu, Bung Hatta juga memberikan kesaksian dalam bukunya Memoir.
Para sejarawan memiliki beberapa analisis mengenai awal kemunculan kontroversi terkait lahirnya Pancasila. Asvi dalam tulisan sama mengungkapkan, hal ini dimulai pada awal Orde Baru dengan terbitnya buku tipis Nugroho Notosusanto berjudul: Naskah Proklamasi jang otentik dan Rumusan Pancasila jang otentik.
Dalam buku itu, lanjutnya, Nugroho mengatakan bahwa ada empat rumusan Pancasila, yakni yang disampaikan Moh. Yamin, Soekarno, berdasar hasil kerja Tim Sembilan yang dikenal sebagai Piagam Jakarta, dan sebagaimana termaktub dalam UUD 1945.
Nugroho menilai, rumusan Pancasila yang otentik adalah rumusan 18 Agustus 1945 karena Pancasila yang termasuk dalam pembukaan UUD 1945 itu dilahirkan secara sah, yakni berlandaskan proklamasi, pada 18 Agustus 1945. Pada akhir leaflet itu, Nugroho menandaskan:
“Kiranya tidak perlu lahirnya Pancasila itu kita kaitkan kepada seorang tokoh secara mutlak. Sebab, lahirnya sesuatu gagasan sebagai sesuatu yang abstrak memang tidak mudah ditentukan dengan tajam. Yang dapat kita pastikan adalah saat pengesahan formal dan resmi suatu dokumen.”
Namun, manuver sejarah yang pada awalnya bersumber dari Pusat Sejarah ABRI itu kemudian ditentang sejarawan dan pelaku sejarah. A.B. Kusuma dalam makalah berjudul Menelusuri Dokumen Historis BPUPKI berdasar notulen yang telah ditemukan kembali 1989 mengatakan, tidak benar bahwa Moh. Yamin yang pertama mengungkapkan dasar negara Pancasila.
Hal itu kemudian ditegaskan dalam buku A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945 (Jakarta, 2004). Bahkan, Yamin sendiri dalam bukunya mengakui Soekarno sebagai penggali Pancasila.
Oleh karena itu, ada baiknya generasi muda juga kritis dalam membaca sejarah. Seperti kata Winston Churchill, “History has been written by the victors” yang artinya kurang lebih “Sejarah ditulis oleh para pemenang”.
Meski demikian, bukan berarti kita juga perlu mengagung-agungkan Bung Karno sebagai penggagas Pancasila. Yang perlu dipahami, sebagai fakta sejarah, perannya tak boleh dikerdilkan.
Toh, Soekarno sendiri telah menegaskan di depan sidang BPUPKI bahwa dia tidak menciptakan Pancasila, tetapi menggalinya dari tradisi luhur yang sudah mengakar di dalam budaya bangsa Indonesia.
Ternyata, masih saja ada yang memperdebatkan soal hari lahir Pancasila . Bahkan, Soekarno dituduh menjiplak pemikiran Mohammad Yamin, yang berpidato sebelum Bung Karno pada sidang BPUPKI tanggal 29 Mei.
Sebelumnya pula, Soepomo disebut telah menyampaikan pidato tentang dasar negara pada 31 Mei. Peristiwa ini pun bukan rahasia, semua buku pelajaran sekolah memang menyebut dua tokoh ini sebagai pengusul lima sila sebelum Soekarno.
Kejadian tersebut hingga kini menjadi simpang siur sampai-sampai membuat sebuah narasi yang menyesatkan, bahwa Soekarno bukanlah tokoh sentral dalam kelahiran dan perumusan Pancasila.
Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila (PSPP) Syaiful Arif dalam sebuah dialog sejarah di kanal Youtube Historia menegaskan bahwa narasi sejarah yang mengecilkan peran Soekarno sebagai penggagas Pancasila adalah hoaks sejarah.
Hoaks ini, jelas Syaiful, bermula dari buku Naskah Persiapan UUD 1945 yang diterbitkan pada 1959. Buku ini disusun Yamin berdasarkan notulen sidang BPUPK yang dipinjamnya dari Abdul Gaffar Pringgodigdo (A.G. Pringgodigdo), wakil Kepala Tata Usaha BPUPK.
Dalam menyusun buku itu, Yamin memasukan naskah pidatonya sepanjang 21 halaman. Di dalam pidato Yamin itu, tertulis pula usulan lima sila dasar negara yang mirip dengan Pancasila. Buku ini kemudian menjadi rujukan penulisan sejarah era Orde Baru, terutama pada buku Risalah Sidang BPUPKI-PPKI yang diterbitkan oleh Sekretariat Negara Republik Indonesia pada 1992, 1995, dan 1998.
“Kalau kita menggunakan konstruksi sejarah selama Orde Baru itu, pertama, Pak Karno atau Bung Karno ini tidak hanya kita sebut sebagai sebatas mengusulkan nama Pancasila, tetapi juga beliau ini kalau menggunakan kontruksi ini (adalah) seorang plagiator,” terang Syaiful.
Padahal, naskah pidato 21 halaman itu sebenarnya bukanlah pidato Yamin yang disampaikan pada 29 Mei 1945. Naskah itu adalah rancangan Pembukaan UUD 1945 yang dibuat Yamin atas perintah Sukarno yang juga bersumber dari pidato 1 Juni. Sayangnya, naskah itu ditolak oleh Panitia Sembilan karena terlalu panjang.
Fakta ini dikuatkan oleh buku Uraian Pancasila yang disusun oleh Panitia Lima. Panitia Lima beranggotakan Moh. Hatta, A.A. Maramis, Ahmad Subardjo, Sunario, dan A.G. Pringgodigdo. Dalam Uraian Pancasila, dengan jelas disebutkan bahwa Pancasila lahir dari pidato Sukarno 1 Juni 1945. Selain itu, Hatta juga memberi kesaksian dalam bukunya Memoir.
“Nah kata Bung Hatta, ternyata draft Pembukaan Undang-Undang Dasar yang ditulis atas perintah Bung Karno sebagai Ketua Panitia Sembilan itu masih disimpan oleh Yamin sejak tahun ‘45 lalu kemudian diterbitkan tahun ‘59 sebagai pengganti notulensi pidato Pak Yamin yang asli,” jelas Syaiful.
Penggantian naskah pidato Yamin inilah yang memanipulasi kronologi sejarah lahirnya Pancasila. Sementara, notulen pidato asli Yamin pada 29 Mei 1945 sampai sekarang belum ditemukan setelah dipinjam Yamin dari A.G. Pringgodigdo. Padahal, notulen selain mengenai pidato Yamin kini telah ditemukan dan disimpan di Arsip Nasional RI.
Sejarawan dan Ahli Peneliti Utama LIPI Dr. Asvi Warman Adam menjelaskan, rekayasa sejarah lahirnya Pancasila berlangsung sejak awal Orde Baru untuk mengecilkan jasa Soekarno dan melebih-lebihkan peran Soeharto.
Dikutip dari laman resmi LIPI, Asvi menyebut bahwa hal tersebut dilakukan untuk menghilangkan peluang bagi pendukung ajaran Soekarno tampil di kancah politik nasional, selain juga memberi legitimasi historis kepada Jenderal Soeharto.
Yang publik ketahui kini, setiap tanggal 1 Juni selalu diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila. Pemerintah secara rutin menggelar upacara kenegaraan, yang dihadiri oleh Presiden beserta jajarannya. Upacara juga tak lewat dilaksanakan di masa pandemi Covid-19, meskipun harus secara daring.
Selebrasi tersebut sangat kontras dengan sejarah bangsa ini yang pernah melarang peringatan lahirnya Pancasila sejak 1 Juni 1970. Pada tahun sama, yakni pada tanggal 22 Juni, Bung Karno pun berpulang.
Sejarawan Asvi mengutip ungkapan ahli sejarah asal Perancis, Jacques Leclerc yang mengatakan bahwa pada hakikatnya, Bung Karno telah dibunuh dua kali.
Secara fisik, Soekarno dalam status “tahanan rumah” tidak dirawat sebagaimana mestinya, sehingga kesehatannya terus memburuk dan akhirnya meninggal, sedangkan pemikirannya dilarang untuk didiskusikan.
Kronologi manuver sejarah
Sebenarnya, banyak catatan dan kesaksian para tokoh sejarah yang membenarkan peran Soekarno sebagai penggagas Pancasila.
Dalam buku Uraian Pancasila yang disusun Panitia Lima beranggotakan Moh. Hatta, A.A. Maramis, Ahmad Soebardjo, Sunario, dan A.G. Pringgodigdo, menyebutkan dengan jelas Pancasila lahir dari pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945. Selain itu, Bung Hatta juga memberikan kesaksian dalam bukunya Memoir.
Para sejarawan memiliki beberapa analisis mengenai awal kemunculan kontroversi terkait lahirnya Pancasila. Asvi dalam tulisan sama mengungkapkan, hal ini dimulai pada awal Orde Baru dengan terbitnya buku tipis Nugroho Notosusanto berjudul: Naskah Proklamasi jang otentik dan Rumusan Pancasila jang otentik.
Dalam buku itu, lanjutnya, Nugroho mengatakan bahwa ada empat rumusan Pancasila, yakni yang disampaikan Moh. Yamin, Soekarno, berdasar hasil kerja Tim Sembilan yang dikenal sebagai Piagam Jakarta, dan sebagaimana termaktub dalam UUD 1945.
Nugroho menilai, rumusan Pancasila yang otentik adalah rumusan 18 Agustus 1945 karena Pancasila yang termasuk dalam pembukaan UUD 1945 itu dilahirkan secara sah, yakni berlandaskan proklamasi, pada 18 Agustus 1945. Pada akhir leaflet itu, Nugroho menandaskan:
“Kiranya tidak perlu lahirnya Pancasila itu kita kaitkan kepada seorang tokoh secara mutlak. Sebab, lahirnya sesuatu gagasan sebagai sesuatu yang abstrak memang tidak mudah ditentukan dengan tajam. Yang dapat kita pastikan adalah saat pengesahan formal dan resmi suatu dokumen.”
Namun, manuver sejarah yang pada awalnya bersumber dari Pusat Sejarah ABRI itu kemudian ditentang sejarawan dan pelaku sejarah. A.B. Kusuma dalam makalah berjudul Menelusuri Dokumen Historis BPUPKI berdasar notulen yang telah ditemukan kembali 1989 mengatakan, tidak benar bahwa Moh. Yamin yang pertama mengungkapkan dasar negara Pancasila.
Hal itu kemudian ditegaskan dalam buku A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945 (Jakarta, 2004). Bahkan, Yamin sendiri dalam bukunya mengakui Soekarno sebagai penggali Pancasila.
Oleh karena itu, ada baiknya generasi muda juga kritis dalam membaca sejarah. Seperti kata Winston Churchill, “History has been written by the victors” yang artinya kurang lebih “Sejarah ditulis oleh para pemenang”.
Meski demikian, bukan berarti kita juga perlu mengagung-agungkan Bung Karno sebagai penggagas Pancasila. Yang perlu dipahami, sebagai fakta sejarah, perannya tak boleh dikerdilkan.
Toh, Soekarno sendiri telah menegaskan di depan sidang BPUPKI bahwa dia tidak menciptakan Pancasila, tetapi menggalinya dari tradisi luhur yang sudah mengakar di dalam budaya bangsa Indonesia.
(mpw)