Kisah Pahlawan: Syarif Hidayat, Mengajar Madrasah Berbekal Dua Liter Beras
loading...
A
A
A
JAKARTA - KAMPUNGitu bernama Cilulumpang, berjarak 37 km dari Kota Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Kemarau panjang sedang melanda tempat itu: sawah-sawah gersang, sungai yang mulai mengering dan pepohonan yang meranggas. Untuk mencapai kampung tersebut, harus melalui jalanan yang cukup terjal dan melintasi kebun-kebun karet yang berada di lereng bukit Warungkiara. Jalanan pun masih belum diaspal, beberapa masih berupa marka yang belum rapi dan berkerikil.
Di sana, kita akan bertemu seorang petani dengan kehidupan yang sederhana, tapi ia adalah cahaya bagi warga Cilulumpang dengan madrasah yang dipimpinnya. “Daerahnya sangat jauh, Kang. Semua warga bertani, tapi sekarang lagi paceklik,” tutur tukang ojek yang mengantar dari pangkalan ojek Cikidang, pinggir jalan raya, 8 km dari kampung Cilulumpang.
Satu jam kemudian saya sampai di sebuah bangunan berwarna coklat yang dibagi empat petak kecil-kecil berukuran 6x4 meter. Tepat di depan bangunan itu ada papan kayu bertuliskan: Diniyah Takmiliyah Awaliyah Miftahul Aulad. Di sanalah, Syarif Hidayat memimpin sebuah madrasah kecil bagi anak-anak. Bangunan ini berdiri sejak tahun 1980.
Berawal dari inisiatif H Atang, sesepuh Kampung Cilulumpang yang melihat ketiadaan lembaga pendidikan agama di kampung tersebut, ia mengajak warga mendirikan madrasah. Tak lama setelah itu, datanglah seorang pemuda. Ia alumni Pesantren Siqoyatur Rohmah, Sukabumi, asuhan KH Mahmud Mudrika Hanafi. Kelak, pemuda 25 tahun itu menikahi Wewen, putri H Atang.
Nama pemuda itu Syarif Hidayat. Setelah beberapa waktu seusai pernikahan berlangsung, ia dipercaya mengelola madrasah tersebut. Di madrasah itu, ia mengajar akhlak, fikih, ibadah ubudiyah dan syariah. Ada sekitr 130–140 murid setiap tahun yang belajar di sini. Dari sekitar 2000 warga Kampung Cilulumpang, 90% pernah mengaji di madrasah ini. Saat ini, ia dibantu 5 orang guru yang kebanyakan alumni madrasah tersebut.
“Kiai Syarif itu ulama, guru bagi warga Cilulumpang. Kesabaran yang diajarkan pada kami, khususnya mengelola anak-anak agar selalu punya akhlakul karimah,” ungkap Ustaz Ismail, guru sekaligus alumni Madrasah Miftahul Aulad, sebagaimana dilansir dari laman resmi Kemenag, Kamis (4/11/2021).
Mungkin tidak pernah terbayangkan dalam benak Syarif Hidayat bahwa madrasah yang diamanahkan kepadanya itu kini mampu bertahan hingga 35 tahun. Tentu bukan waktu sebentar, ia seakan tak percaya hal ini bisa terjadi. “Semua ini pasti karena barokah,” ujarnya.
Berbekal Beras Dua Liter
Mata pencaharian utama warga di Kampung Cilulumpang adalah bertani. Tidak banyak yang berprofesi di bidang lain, entah itu berdagang, apalagi pegawai. Tingkat pendidikan di kampung ini juga tidak terlalu tinggi. “Rata-rata ya SMP atau SMA. Kebanyakan yang muda pergi ke kota, jadi buruh,” papar Sopyan (28 th), putera kedua Syarif Hidayat.
Sopyan yang juga aktif di Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama (LPPNU) Kota Sukabumi ini menjelaskan, bagaimana susahnya menjadi petani di Kampung Cilulumpang. Praktis, hanya musim penghujan sawah bisa ditanami padi. Selebihnya, sawah akan dibiarkan. Ketiadaan irigasi atau waduk yang mampu menampung air hujan menjadi penyebab utama. Efeknya, dalam setahun warga cuma dua kali panen saja. “Kalau sudah musim kering, sawah akan dibiarkan saja. Kira-kira 4-5 bulan per tahun sawah jadi tidak produktif,” tambahnya.
Beras menjadi komoditi utama di kampung ini, tapi hasilnya pun tidak terlalu banyak. Syarif Hidayat pun harus memutar otak, bagaimana supaya anak-anak tetap mendapatkan pendidikan agama tanpa memberatkan warga. “Kalau di SD, pendidikan agama hanya satu jam seminggu, kalau nggak ada madrasah repot. Mereka 1-2 jam sehari bisa diajar agama. Biar agama tersebar, akhlaknya bagus, ditambah kitab-kitab,” ujarnya.
Di sana, kita akan bertemu seorang petani dengan kehidupan yang sederhana, tapi ia adalah cahaya bagi warga Cilulumpang dengan madrasah yang dipimpinnya. “Daerahnya sangat jauh, Kang. Semua warga bertani, tapi sekarang lagi paceklik,” tutur tukang ojek yang mengantar dari pangkalan ojek Cikidang, pinggir jalan raya, 8 km dari kampung Cilulumpang.
Satu jam kemudian saya sampai di sebuah bangunan berwarna coklat yang dibagi empat petak kecil-kecil berukuran 6x4 meter. Tepat di depan bangunan itu ada papan kayu bertuliskan: Diniyah Takmiliyah Awaliyah Miftahul Aulad. Di sanalah, Syarif Hidayat memimpin sebuah madrasah kecil bagi anak-anak. Bangunan ini berdiri sejak tahun 1980.
Berawal dari inisiatif H Atang, sesepuh Kampung Cilulumpang yang melihat ketiadaan lembaga pendidikan agama di kampung tersebut, ia mengajak warga mendirikan madrasah. Tak lama setelah itu, datanglah seorang pemuda. Ia alumni Pesantren Siqoyatur Rohmah, Sukabumi, asuhan KH Mahmud Mudrika Hanafi. Kelak, pemuda 25 tahun itu menikahi Wewen, putri H Atang.
Nama pemuda itu Syarif Hidayat. Setelah beberapa waktu seusai pernikahan berlangsung, ia dipercaya mengelola madrasah tersebut. Di madrasah itu, ia mengajar akhlak, fikih, ibadah ubudiyah dan syariah. Ada sekitr 130–140 murid setiap tahun yang belajar di sini. Dari sekitar 2000 warga Kampung Cilulumpang, 90% pernah mengaji di madrasah ini. Saat ini, ia dibantu 5 orang guru yang kebanyakan alumni madrasah tersebut.
“Kiai Syarif itu ulama, guru bagi warga Cilulumpang. Kesabaran yang diajarkan pada kami, khususnya mengelola anak-anak agar selalu punya akhlakul karimah,” ungkap Ustaz Ismail, guru sekaligus alumni Madrasah Miftahul Aulad, sebagaimana dilansir dari laman resmi Kemenag, Kamis (4/11/2021).
Mungkin tidak pernah terbayangkan dalam benak Syarif Hidayat bahwa madrasah yang diamanahkan kepadanya itu kini mampu bertahan hingga 35 tahun. Tentu bukan waktu sebentar, ia seakan tak percaya hal ini bisa terjadi. “Semua ini pasti karena barokah,” ujarnya.
Berbekal Beras Dua Liter
Mata pencaharian utama warga di Kampung Cilulumpang adalah bertani. Tidak banyak yang berprofesi di bidang lain, entah itu berdagang, apalagi pegawai. Tingkat pendidikan di kampung ini juga tidak terlalu tinggi. “Rata-rata ya SMP atau SMA. Kebanyakan yang muda pergi ke kota, jadi buruh,” papar Sopyan (28 th), putera kedua Syarif Hidayat.
Sopyan yang juga aktif di Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama (LPPNU) Kota Sukabumi ini menjelaskan, bagaimana susahnya menjadi petani di Kampung Cilulumpang. Praktis, hanya musim penghujan sawah bisa ditanami padi. Selebihnya, sawah akan dibiarkan. Ketiadaan irigasi atau waduk yang mampu menampung air hujan menjadi penyebab utama. Efeknya, dalam setahun warga cuma dua kali panen saja. “Kalau sudah musim kering, sawah akan dibiarkan saja. Kira-kira 4-5 bulan per tahun sawah jadi tidak produktif,” tambahnya.
Beras menjadi komoditi utama di kampung ini, tapi hasilnya pun tidak terlalu banyak. Syarif Hidayat pun harus memutar otak, bagaimana supaya anak-anak tetap mendapatkan pendidikan agama tanpa memberatkan warga. “Kalau di SD, pendidikan agama hanya satu jam seminggu, kalau nggak ada madrasah repot. Mereka 1-2 jam sehari bisa diajar agama. Biar agama tersebar, akhlaknya bagus, ditambah kitab-kitab,” ujarnya.