Lagi, Mahasiswa UI Juara Pertama Kompetisi LKTIN 2022 Berkat Desain Energi Terbarukan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Mahasiswa Universitas Indonesia (UI) kembali meraih juara pertama pada Lomba Karya Tulis Ilmiah Nasional (LKTIN) Kategori S2. Pada kompetisi nasional kali ini, Rhaditia Kurnia Asyuri meraih juara berkat presentasinya bertema “Transisi Menuju Energi Bersih dan Berkelanjutan”.
“Indonesia memiliki permasalahan besar dari kehadiran energi terbarukan, yaitu kesalahan perencanaan dari pemilihan power plant bagi negara kepulauan. Hal ini mengakibatkan unsustainability dari pembangkit tersebut,” kata Rhaditia, dalam keterangan pers, Kamis (11/8/2022).
Rhaditia merupakan mahasiswa program Magister Multidisiplin Teknik Sistem Energi, Fakultas Teknik Universitas Indonesia (TSE FTUI). Pada penulisan karya tulis ilmiah ini, Radhitia dibimbing oleh Dr.-Ing Eko Adhi Setiawan, IPU., Dosen FTUI yang juga Direktur Lembaga Riset Tropical Renewable Energy Centre (TREC) FTUI.
“Dari tulisan ini, saya ingin menunjukkan bahwa energi terbarukan, jika dirancang dengan tepat, mampu memberikan dampak yang sangat signifikan bagi suatu kawasan. Karya ilmiah saya menghasilkan solusi berupa problem articulation, model dasar pada system dynamics, berdasarkan simulasi Causal Loop Diagram (CLD) yang telah dikembangkan sebelumnya,” kata Rhadit.
Agar penetrasi dan sebaran energi terbarukan (EBT) dapat terpublikasikan secara massif, dibutuhkan adanya kesadaran bahwa Indonesia merupakan negara maritim dan beriklim tropis. Penggunaan bahan bakar fosil yang produksinya terpusat pada beberapa daerah saja di Indonesia, mengakibatkan biaya pengiriman bahan bakar antar pulau sangat tinggi.
Selain tidak cost-effective, hal ini juga mengakibatkan harga bahan bakar di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) Indonesia menjadi sangat tinggi.
“Indonesia yang beriklim tropis memiliki potensi dan variasi EBT yang berlimpah. Berdasarkan hasil penelitian, solusi sederhana yang saya tawarkan adalah memasang solar panel ataupun inovasi dari pembangkit tenaga matahari lainnya, bergantung dari potensi yang ada pada setiap pulau," terangnya.
"Jika hal ini dilakukan segera, maka Indonesia mampu menghilangkan ongkos bahan bakar fosil antarpulau, meringankan beban pemerintah, khususnya dalam subsidi, dan masyarakat tidak perlu membayar tagihan listrik yang mahal setiap bulannya, terutama masyarakat yang tinggal di kepulauan,” kata Rhadit.
“Indonesia memiliki permasalahan besar dari kehadiran energi terbarukan, yaitu kesalahan perencanaan dari pemilihan power plant bagi negara kepulauan. Hal ini mengakibatkan unsustainability dari pembangkit tersebut,” kata Rhaditia, dalam keterangan pers, Kamis (11/8/2022).
Rhaditia merupakan mahasiswa program Magister Multidisiplin Teknik Sistem Energi, Fakultas Teknik Universitas Indonesia (TSE FTUI). Pada penulisan karya tulis ilmiah ini, Radhitia dibimbing oleh Dr.-Ing Eko Adhi Setiawan, IPU., Dosen FTUI yang juga Direktur Lembaga Riset Tropical Renewable Energy Centre (TREC) FTUI.
“Dari tulisan ini, saya ingin menunjukkan bahwa energi terbarukan, jika dirancang dengan tepat, mampu memberikan dampak yang sangat signifikan bagi suatu kawasan. Karya ilmiah saya menghasilkan solusi berupa problem articulation, model dasar pada system dynamics, berdasarkan simulasi Causal Loop Diagram (CLD) yang telah dikembangkan sebelumnya,” kata Rhadit.
Agar penetrasi dan sebaran energi terbarukan (EBT) dapat terpublikasikan secara massif, dibutuhkan adanya kesadaran bahwa Indonesia merupakan negara maritim dan beriklim tropis. Penggunaan bahan bakar fosil yang produksinya terpusat pada beberapa daerah saja di Indonesia, mengakibatkan biaya pengiriman bahan bakar antar pulau sangat tinggi.
Selain tidak cost-effective, hal ini juga mengakibatkan harga bahan bakar di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) Indonesia menjadi sangat tinggi.
“Indonesia yang beriklim tropis memiliki potensi dan variasi EBT yang berlimpah. Berdasarkan hasil penelitian, solusi sederhana yang saya tawarkan adalah memasang solar panel ataupun inovasi dari pembangkit tenaga matahari lainnya, bergantung dari potensi yang ada pada setiap pulau," terangnya.
"Jika hal ini dilakukan segera, maka Indonesia mampu menghilangkan ongkos bahan bakar fosil antarpulau, meringankan beban pemerintah, khususnya dalam subsidi, dan masyarakat tidak perlu membayar tagihan listrik yang mahal setiap bulannya, terutama masyarakat yang tinggal di kepulauan,” kata Rhadit.