PB PGRI Beri Catatan Ini Terkait Tunjangan Profesi Guru di RUU Sisdiknas
loading...
A
A
A
Ketiga, lanjut Unifah, Kemendikbudristek secara lisan menyatakan, pemberian tunjangan untuk guru Aparatur Sipil Negara akan mengacu kepada UU No 5 Tahun 2014 tentang ASN berupa tunjangan fungsional. Meski demikian, ketentuan ini tidak tercantum secara eksplisit dalam RUU Sisdiknas. Hanya disampaikan secara lisan.
Selain itu mesti disadari, tunjangan profesi berbeda dengan tunjangan fungsional yang melekat dalam jabatan/kepangkatan seseorang. Adapun tunjangan profesi guru landasan hukumnya sangat kuat yakni Pasal 16 Ayat (1) dan (2) dan Pasal 15 Ayat (1) UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen.
“Karena tidak dinyatakan secara tertulis, menimbulkan kekhawatiran di kalangan guru apakah Kemendikbudristek bersungguh-sungguh akan memberikan tunjangan “fungsional” untuk guru? Jika besaran tunjangan profesi diikat oleh undang-undang sebesar satu kali gaji, bagaimana dengan tunjangan fungsional? Selama ini tidak pernah ada penjelasan dari Kemendikbudristek, apalagi dinyatakan secara tegas dalam undang-undang sehingga menimbulkan kekhawatiran di kalangan guru,” imbuhnya.
Keempat, dia mengungkapkan, lebih memprihatinkan lagi guru-guru sekolah swasta karena pengaturannya akan mengacu kepada UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja. Tidak ada lagi kekhususan untuk dunia pendidikan dan profesi guru, melainkan disamakan penghasilannya dengan buruh.
Baca juga: Miris, Perjuangan Guru Honorer Bergaji Rp250 Ribu per Bulan Harus Besarkan dan Biayai 3 Anak
Selain itu Kemendikbudristek mengesampingkan atau tutup mata terhadap kondisi sekolah swasta di Tanah Air. Tidak semua sekolah swasta kondisinya baik secara ekonomi. Banyak sekolah swasta yang kondisinya memprihatinkan, namun dilandasi semangat pengabdian yang tulus para pengurusnya, mereka tetap memberikan pelayanan pendidikan terbaik kepada peserta didik yang tidak mampu secara ekonomi.
“Kemendikbudristek memang menjanjikan akan memberikan tambahan BOS kepada sekolah-sekolah swasta tersebut. Namun bagi kami BOS itu adalah anggaran dari peserta didik untuk peserta didik, penggunaannya adalah untuk meningkatkan kualitas layanan pendidikan di sekolah, bukan diperuntukan bagi gaji guru,” tuturnya.
Berdasarkan paparan di atas, terangnya, maka PB PGRI meminta agar tunjangan profesi guru tetap diberikan kepada guru dan dinyatakan secara tegas dalam Undang-undang Sisdiknas. Selain itu PB PGRI sangat setuju dan berkomitmen untuk mendukung Kemendikbudristek dalam meningkatkan kompetensi dan profesionalisme guru.
“Karena itu PPG tidak dilakukan dengan metode yang rumit, namun melihat kompetensi dan profesionalisme guru di kelas. Sertifikasi harus merupakan bagian integral dari pengembangan profesi guru. Guru harus terus-menerus mendapat pelatihan terstruktur yang diselenggararakan oleh lembaga khusus dan profesional. Jadi untuk meningkatkan kesejahteraan guru, sudah selayaknya tunjangan profesi guru tidak dihapuskan,” tegasnya.
Sedangkan untuk meningkatkan kualitas guru, sistem pembinaan profesi yang harus diperbaiki. Melalui kedua langkah tersebut, kita mengharapkan akan tercipta guru-guru yang sejahtera dan berkualitas sehingga akan membawa kemajuan bagi Indonesia.
Selain itu mesti disadari, tunjangan profesi berbeda dengan tunjangan fungsional yang melekat dalam jabatan/kepangkatan seseorang. Adapun tunjangan profesi guru landasan hukumnya sangat kuat yakni Pasal 16 Ayat (1) dan (2) dan Pasal 15 Ayat (1) UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen.
“Karena tidak dinyatakan secara tertulis, menimbulkan kekhawatiran di kalangan guru apakah Kemendikbudristek bersungguh-sungguh akan memberikan tunjangan “fungsional” untuk guru? Jika besaran tunjangan profesi diikat oleh undang-undang sebesar satu kali gaji, bagaimana dengan tunjangan fungsional? Selama ini tidak pernah ada penjelasan dari Kemendikbudristek, apalagi dinyatakan secara tegas dalam undang-undang sehingga menimbulkan kekhawatiran di kalangan guru,” imbuhnya.
Keempat, dia mengungkapkan, lebih memprihatinkan lagi guru-guru sekolah swasta karena pengaturannya akan mengacu kepada UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja. Tidak ada lagi kekhususan untuk dunia pendidikan dan profesi guru, melainkan disamakan penghasilannya dengan buruh.
Baca juga: Miris, Perjuangan Guru Honorer Bergaji Rp250 Ribu per Bulan Harus Besarkan dan Biayai 3 Anak
Selain itu Kemendikbudristek mengesampingkan atau tutup mata terhadap kondisi sekolah swasta di Tanah Air. Tidak semua sekolah swasta kondisinya baik secara ekonomi. Banyak sekolah swasta yang kondisinya memprihatinkan, namun dilandasi semangat pengabdian yang tulus para pengurusnya, mereka tetap memberikan pelayanan pendidikan terbaik kepada peserta didik yang tidak mampu secara ekonomi.
“Kemendikbudristek memang menjanjikan akan memberikan tambahan BOS kepada sekolah-sekolah swasta tersebut. Namun bagi kami BOS itu adalah anggaran dari peserta didik untuk peserta didik, penggunaannya adalah untuk meningkatkan kualitas layanan pendidikan di sekolah, bukan diperuntukan bagi gaji guru,” tuturnya.
Berdasarkan paparan di atas, terangnya, maka PB PGRI meminta agar tunjangan profesi guru tetap diberikan kepada guru dan dinyatakan secara tegas dalam Undang-undang Sisdiknas. Selain itu PB PGRI sangat setuju dan berkomitmen untuk mendukung Kemendikbudristek dalam meningkatkan kompetensi dan profesionalisme guru.
“Karena itu PPG tidak dilakukan dengan metode yang rumit, namun melihat kompetensi dan profesionalisme guru di kelas. Sertifikasi harus merupakan bagian integral dari pengembangan profesi guru. Guru harus terus-menerus mendapat pelatihan terstruktur yang diselenggararakan oleh lembaga khusus dan profesional. Jadi untuk meningkatkan kesejahteraan guru, sudah selayaknya tunjangan profesi guru tidak dihapuskan,” tegasnya.
Sedangkan untuk meningkatkan kualitas guru, sistem pembinaan profesi yang harus diperbaiki. Melalui kedua langkah tersebut, kita mengharapkan akan tercipta guru-guru yang sejahtera dan berkualitas sehingga akan membawa kemajuan bagi Indonesia.