Soroti Ketimpangan Industri Garam, Pejabat KKP Raih Gelar Doktor Manajemen dan Bisnis IPB
Rabu, 30 Agustus 2023 - 15:23 WIB
“Pergeseran kelompok garam konsumsi atas Keppres 69/1994, seperti garam untuk aneka pangan yang dimasukkan dalam kelompok industri. Kondisi ini yang menyebabkan industri pengolahan garam nasional menghadapi unfair competition di tengah liberalisasi dan internasionalisasi pada emerging market,” tegas Rahmadi.
Lebih lanjut Rahmadi memaparkan, kondisi persaingan tidak sehat ini berdampak pada kemampuan Industri Kecil dan Menengah (IKM) pengolahan garam Indonesia, karena berhadapan dengan garam impor.
“Pasar garam lokal tergerus oleh importasi garam yang terus meningkat utamanya untuk memenuhi kebutuhan industri aneka pangan, serta industri manufaktur lainnya seperti water treatment, penyamakan kulit, pakan ternak, pertambangan, pengasinan ikan dan industri lainnya yang sebenarnya dapat dipenuhi dari garam lokal kualitas 1 (K1) baik secara keseluruhan ataupun Sebagian”, tandasnya.
Dalam Disertasinya, Rahmadi merekomendasikan beberapa solusi kepada pemerintah agar dapat meningkatkan daya saing industri garam nasional, khususnya untuk peningkatan daya saing IKM pengolahan garam Indonesia.
Menurutnya, pemerintah dapat mengimplementasikan sejumlah langkah strategi, baik dalam bentuk kebijakan substantif maupun kebijakan prosedural.Kebijakan prosedural dapat dilakukan dengan melakukan reformulasi kebijakan khususnya pada beberapa aspek.
Pertama, garam impor diklasifikasikan hanya dalam dua kelompok yaitu garam food grade dan garam CAP dengan SNI wajib. Hal ini untuk mendorong kualitas garam impor dan menghindari kebocoran garam impor.
Kedua, standar kualitas garam Food Grade dan garam CAP perlu disesuaikan dengan mengacu standar global. Ketiga, penegakan kepatuhan terhadap Keppres 69/1994 dengan memasukkan kembali garam aneka pangan dan pengasinan ikan sebagai garam konsumsi atau merevisi Keppres dan menetapkan standar garam aneka pangan sebagai garam Food Grade.
“Dalam rangka pengawalan atas reformulasi kebijakan ini diperlukan satuan tugas di bawah koordinasi Presiden/Menteri Koordinator. Sementara pada kebijakan subtantif, industri pengolahan garam akan mampu berkembang dan bersaing dengan garam impor sepanjang pemerintah mampu mewujudkan teknologi produksi dan ketersediaan bahan baku yang berkualitas, pengembangan teknologi pengolahan yang efisien dan efektif serta akses pembiayaaan dan permodalan, peningkatan kapasitas SDM dan akses pasar/kemitraan,” jelasnya.
Rahmadi Sunoko menilai penelitian tentang daya saing on farm selama ini telah banyak dilakukan namun penelitian daya saing IKM pengolah garam pada sentra industri garam belum banyak dilakukan. Kondisi ini yang menarik promovendus untuk melakukan kajian daya saing pada IKM pengolahan garam.
Lebih lanjut Rahmadi memaparkan, kondisi persaingan tidak sehat ini berdampak pada kemampuan Industri Kecil dan Menengah (IKM) pengolahan garam Indonesia, karena berhadapan dengan garam impor.
“Pasar garam lokal tergerus oleh importasi garam yang terus meningkat utamanya untuk memenuhi kebutuhan industri aneka pangan, serta industri manufaktur lainnya seperti water treatment, penyamakan kulit, pakan ternak, pertambangan, pengasinan ikan dan industri lainnya yang sebenarnya dapat dipenuhi dari garam lokal kualitas 1 (K1) baik secara keseluruhan ataupun Sebagian”, tandasnya.
Dalam Disertasinya, Rahmadi merekomendasikan beberapa solusi kepada pemerintah agar dapat meningkatkan daya saing industri garam nasional, khususnya untuk peningkatan daya saing IKM pengolahan garam Indonesia.
Menurutnya, pemerintah dapat mengimplementasikan sejumlah langkah strategi, baik dalam bentuk kebijakan substantif maupun kebijakan prosedural.Kebijakan prosedural dapat dilakukan dengan melakukan reformulasi kebijakan khususnya pada beberapa aspek.
Pertama, garam impor diklasifikasikan hanya dalam dua kelompok yaitu garam food grade dan garam CAP dengan SNI wajib. Hal ini untuk mendorong kualitas garam impor dan menghindari kebocoran garam impor.
Kedua, standar kualitas garam Food Grade dan garam CAP perlu disesuaikan dengan mengacu standar global. Ketiga, penegakan kepatuhan terhadap Keppres 69/1994 dengan memasukkan kembali garam aneka pangan dan pengasinan ikan sebagai garam konsumsi atau merevisi Keppres dan menetapkan standar garam aneka pangan sebagai garam Food Grade.
“Dalam rangka pengawalan atas reformulasi kebijakan ini diperlukan satuan tugas di bawah koordinasi Presiden/Menteri Koordinator. Sementara pada kebijakan subtantif, industri pengolahan garam akan mampu berkembang dan bersaing dengan garam impor sepanjang pemerintah mampu mewujudkan teknologi produksi dan ketersediaan bahan baku yang berkualitas, pengembangan teknologi pengolahan yang efisien dan efektif serta akses pembiayaaan dan permodalan, peningkatan kapasitas SDM dan akses pasar/kemitraan,” jelasnya.
Rahmadi Sunoko menilai penelitian tentang daya saing on farm selama ini telah banyak dilakukan namun penelitian daya saing IKM pengolah garam pada sentra industri garam belum banyak dilakukan. Kondisi ini yang menarik promovendus untuk melakukan kajian daya saing pada IKM pengolahan garam.
tulis komentar anda