Kisah Guru Galih, Peraih Beasiswa LPDP ke Kampus Top Dunia di Inggris
Selasa, 28 November 2023 - 12:53 WIB
Galih memulai kuliahnya di London pada 2018. Diakui bahwa pengalamannya bekerja di sekolah internasional membuatnya kagum dengan pendidikan Barat sebagai metode yang adiluhung. Tapi ia justru menemukan perspektif baru saat berada di Inggris, yang notabene masih dunia Barat.
Inisiator komunitas Bekal Pendidik ini diajarkan tentang kontekstualisasi. Bahwa setiap negara memiliki masalahnya sendiri yang tentunya terdapat perbedaan formulasi penanganannya.
“Sebenarnya tidak adil untuk kita membandingkan setiap negara. Tapi kalau saya boleh cerita apa sih yang kemudian membuat pendidikan di Inggris misalnya itu lebih maju daripada pendidikan kita di Indonesia,” ujar Galih. Jawabnya kemudian adalah literasi.
Membaca buku adalah kegiatan yang tak asing lagi dan sudah menjadi budaya masyarakat Inggris. Ia menemukan mudahnya mendapatkan buku di ruang publik sebagai sumber pengetahuan. Banyak dari orang tua yang juga punya tradisi membaca di rumah dengan anak-anaknya.
“Karena mereka sudah terbiasa baca buku, mereka sudah terbiasa melihat kalau kita baca buku kan baik itu fiksi atau non-fiksi, kita membaca kalimat, kita terpapar dengan banyak vocabularies gitu ya, kosa kata, dan kita terpapar juga dengan berbagai sudut pandang” tutur Galih.
Baca juga: Berkah Doa Ibu, Ini Kisah Mujab, Alumnus UI Penerima Beasiswa LPDP ke Inggris
Kekayaan informasi dan wawasan dari membaca buku ini membantu anak-anak berpendidikan di sana untuk mudah berargumen di muka umum. Inilah yang sebenarnya cocok dengan kurikulum Merdeka Belajar di Indonesia. Di Merdeka Belajar terdapat Profil Pelajar Pancasila yang salah satunya terdapat dimensi bernalar kritis. Artinya, karakter nalar kritis ini diharapkan ada di anak-anak Indonesia.
Masalahnya, bagaimana bisa menghasilkan karakter bernalar kritis pada anak didik apabila dari pendidiknya belum berada di level yang setara. Hal-hal seperti ini pula yang sebenarnya tidak bisa didapatkan hanya dengan mengajar. Perlu kemauan mandiri untuk untuk terus mengembangkan diri dan membaca buku.
“Bernalar kritis itu erat hubungannya dengan literasi. Guru-guru juga perlu punya literatur yang banyak, perlu punya perbandingan teori pendidikan, metode pendidikan, dan sebagainya yang mana menurut saya, bukannya S1 itu tidak cukup, tapi ketika kita punya pengalaman S2. Di sana kita belajar untuk bisa memformulasikan opini” jelas Galih.
Inisiator komunitas Bekal Pendidik ini diajarkan tentang kontekstualisasi. Bahwa setiap negara memiliki masalahnya sendiri yang tentunya terdapat perbedaan formulasi penanganannya.
“Sebenarnya tidak adil untuk kita membandingkan setiap negara. Tapi kalau saya boleh cerita apa sih yang kemudian membuat pendidikan di Inggris misalnya itu lebih maju daripada pendidikan kita di Indonesia,” ujar Galih. Jawabnya kemudian adalah literasi.
Membaca buku adalah kegiatan yang tak asing lagi dan sudah menjadi budaya masyarakat Inggris. Ia menemukan mudahnya mendapatkan buku di ruang publik sebagai sumber pengetahuan. Banyak dari orang tua yang juga punya tradisi membaca di rumah dengan anak-anaknya.
“Karena mereka sudah terbiasa baca buku, mereka sudah terbiasa melihat kalau kita baca buku kan baik itu fiksi atau non-fiksi, kita membaca kalimat, kita terpapar dengan banyak vocabularies gitu ya, kosa kata, dan kita terpapar juga dengan berbagai sudut pandang” tutur Galih.
Baca juga: Berkah Doa Ibu, Ini Kisah Mujab, Alumnus UI Penerima Beasiswa LPDP ke Inggris
Kekayaan informasi dan wawasan dari membaca buku ini membantu anak-anak berpendidikan di sana untuk mudah berargumen di muka umum. Inilah yang sebenarnya cocok dengan kurikulum Merdeka Belajar di Indonesia. Di Merdeka Belajar terdapat Profil Pelajar Pancasila yang salah satunya terdapat dimensi bernalar kritis. Artinya, karakter nalar kritis ini diharapkan ada di anak-anak Indonesia.
Masalahnya, bagaimana bisa menghasilkan karakter bernalar kritis pada anak didik apabila dari pendidiknya belum berada di level yang setara. Hal-hal seperti ini pula yang sebenarnya tidak bisa didapatkan hanya dengan mengajar. Perlu kemauan mandiri untuk untuk terus mengembangkan diri dan membaca buku.
“Bernalar kritis itu erat hubungannya dengan literasi. Guru-guru juga perlu punya literatur yang banyak, perlu punya perbandingan teori pendidikan, metode pendidikan, dan sebagainya yang mana menurut saya, bukannya S1 itu tidak cukup, tapi ketika kita punya pengalaman S2. Di sana kita belajar untuk bisa memformulasikan opini” jelas Galih.
tulis komentar anda