Ikuti Kompetisi Riset, Dosen UIN Jakarta Raih Masayoshi Ohira Memorial Prize
Senin, 17 Agustus 2020 - 23:14 WIB
Rebutan Kue Ekonomi dan Adu Kuat Jejaring Politik
Buku Wahyu berjudul Networked: Business and Politics in Decentralizing Indonesia 1998-2004 diterbitkan salahsatu penerbit buku bergengsi di kawasan Asia dan dunia, NUS Press. NUS Press sendiri merupakan bagian dari perguruan tinggi asal Singapura, National University of Singapore, yang mengkhususkan diri pada penerbitan karya-karya akademisi dunia, terutama karya bidang sosial dan humaniora masyarakat Asia bersama Kyoto University Press.
Dalam bukunya yang terdiri dari enam bagian ditambah bagian pendahuluan dan kesimpulan, Wahyu menyoroti kecenderungan tumbuhnya jejaring politik atau political networked pasca jatuhnya Orde Baru dalam struktur pemerintahan pusat dan daerah di Indonesia. Jatuhnya pemerintahan Orde Baru dan munculnya reformasi mendorong munculnya desakan desentralisasi melalui otonomi daerah. (Baca juga: Rektor UGM: Pandemi Covid Pacu Kreativitas dan Lahirkan Berbagai inovasi )
Kebijakan desentralisasi memungkinkan daerah memiliki kewenangan melakukan tata kelola politik dan birokrasi tanpa harus selalu diarahkan oleh pemerintah pusat, termasuk pengelolaan sumber daya ekonomi. Namun masalah muncul ketika pengelolaan sumber daya alam dan bagi hasilnya di daerah otonomi hanya memberikan porsi kepemilikan saham dan bagi hasil yang dinilai terlalu sedikit oleh daerah.
Akibatnya, pemerintah daerah dan pemerintah pusat acapkali bersitegang. Pada situasi inilah, sebutnya, muncul kecenderungan jejaring politik dimana daerah memanfaatkan koneksi politiknya di lingkar politik dan birokrasi pemerintahan pusat untuk mempengaruhi kebijakan tentang kepemilikan saham dan bagi hasil yang lebih besar bagi daerah.
Dalam penelitiannya, Wahyu memotret pengalaman tiga daerah dengan kekayaan sumber daya alam dalam membangun jejaring politik untuk mengamankan kepentingannya, yaitu Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Riau, dan Provinsi Kalimantan Timur. Diketahui, Sumatera Barat memiliki tambang batu kapur yang penting dalam produksi semen, Provinsi Riau memiliki banyak tambang eksplorasi minyak bumi, dan Kalimantan Timur dengan tambang batubaranya.
“Buku bercerita tentang konflik sumber daya alam di Kalimantan Timur, Riau, dan Sumatera Barat. Tapi cara saya memahaminya dengan melihat jejaring-jejaring para aktor politik di tiga daerah tadi. Bagaimana mereka bisa bangun jejaring politik, political networked, untuk bisa mempertahankan kepentingannya,” tuturnya.
Masing-masing daerah, sebutnya, berusaha membangun jejaring politik dengan memaksimalkan persamaan daerah asal para elit nasional, baik di jalur partai politik maupun birokrasi. Dari tiga daerah itu, Sumatera Barat dinilai berhasil membangun jejaringnya, disusul Kalimantan Timur. “Kalau Riau, jejaring politiknya tidak kuat,” katanya.
Pemerintahan lokal Sumatera Barat dan Kalimantan Timur dinilai berhasil membangun jejaring politik karena mereka memiliki banyak elit politik dan birokrasi, bahkan militer, yang menempati jabatan-jabatan penting di tingkat pusat selain memiliki ikatan kedaerahan yang kuat. Sedangkan Riau dinilai tidak berhasil karena gagal membangun jejaring politik. “Mereka (Kalimantan Timur dan Sumatera Barat, red.) bisa kuat karena punya jejaring daerah ke pusat. Kalau Riau jejaring politiknya enggak terlalu kuat, makanya (konflik, red.) bisa dimenangkan (pemerintah, red.) pusat,” terangnya.
Lebih jauh, Wahyu menjelaskan, pemerintah pusat dan daerah perlu menyepakati aturan baku besaran kepemilikan saham dan bagi hasil atas proyek investasi yang melibatkan pusat-daerah. Menurutnya, hal ini diperlukan agar pemerintah lokal dan pusat tidak selalu terlibat konflik yang menguras energi.
Buku Wahyu berjudul Networked: Business and Politics in Decentralizing Indonesia 1998-2004 diterbitkan salahsatu penerbit buku bergengsi di kawasan Asia dan dunia, NUS Press. NUS Press sendiri merupakan bagian dari perguruan tinggi asal Singapura, National University of Singapore, yang mengkhususkan diri pada penerbitan karya-karya akademisi dunia, terutama karya bidang sosial dan humaniora masyarakat Asia bersama Kyoto University Press.
Dalam bukunya yang terdiri dari enam bagian ditambah bagian pendahuluan dan kesimpulan, Wahyu menyoroti kecenderungan tumbuhnya jejaring politik atau political networked pasca jatuhnya Orde Baru dalam struktur pemerintahan pusat dan daerah di Indonesia. Jatuhnya pemerintahan Orde Baru dan munculnya reformasi mendorong munculnya desakan desentralisasi melalui otonomi daerah. (Baca juga: Rektor UGM: Pandemi Covid Pacu Kreativitas dan Lahirkan Berbagai inovasi )
Kebijakan desentralisasi memungkinkan daerah memiliki kewenangan melakukan tata kelola politik dan birokrasi tanpa harus selalu diarahkan oleh pemerintah pusat, termasuk pengelolaan sumber daya ekonomi. Namun masalah muncul ketika pengelolaan sumber daya alam dan bagi hasilnya di daerah otonomi hanya memberikan porsi kepemilikan saham dan bagi hasil yang dinilai terlalu sedikit oleh daerah.
Akibatnya, pemerintah daerah dan pemerintah pusat acapkali bersitegang. Pada situasi inilah, sebutnya, muncul kecenderungan jejaring politik dimana daerah memanfaatkan koneksi politiknya di lingkar politik dan birokrasi pemerintahan pusat untuk mempengaruhi kebijakan tentang kepemilikan saham dan bagi hasil yang lebih besar bagi daerah.
Dalam penelitiannya, Wahyu memotret pengalaman tiga daerah dengan kekayaan sumber daya alam dalam membangun jejaring politik untuk mengamankan kepentingannya, yaitu Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Riau, dan Provinsi Kalimantan Timur. Diketahui, Sumatera Barat memiliki tambang batu kapur yang penting dalam produksi semen, Provinsi Riau memiliki banyak tambang eksplorasi minyak bumi, dan Kalimantan Timur dengan tambang batubaranya.
“Buku bercerita tentang konflik sumber daya alam di Kalimantan Timur, Riau, dan Sumatera Barat. Tapi cara saya memahaminya dengan melihat jejaring-jejaring para aktor politik di tiga daerah tadi. Bagaimana mereka bisa bangun jejaring politik, political networked, untuk bisa mempertahankan kepentingannya,” tuturnya.
Masing-masing daerah, sebutnya, berusaha membangun jejaring politik dengan memaksimalkan persamaan daerah asal para elit nasional, baik di jalur partai politik maupun birokrasi. Dari tiga daerah itu, Sumatera Barat dinilai berhasil membangun jejaringnya, disusul Kalimantan Timur. “Kalau Riau, jejaring politiknya tidak kuat,” katanya.
Pemerintahan lokal Sumatera Barat dan Kalimantan Timur dinilai berhasil membangun jejaring politik karena mereka memiliki banyak elit politik dan birokrasi, bahkan militer, yang menempati jabatan-jabatan penting di tingkat pusat selain memiliki ikatan kedaerahan yang kuat. Sedangkan Riau dinilai tidak berhasil karena gagal membangun jejaring politik. “Mereka (Kalimantan Timur dan Sumatera Barat, red.) bisa kuat karena punya jejaring daerah ke pusat. Kalau Riau jejaring politiknya enggak terlalu kuat, makanya (konflik, red.) bisa dimenangkan (pemerintah, red.) pusat,” terangnya.
Lebih jauh, Wahyu menjelaskan, pemerintah pusat dan daerah perlu menyepakati aturan baku besaran kepemilikan saham dan bagi hasil atas proyek investasi yang melibatkan pusat-daerah. Menurutnya, hal ini diperlukan agar pemerintah lokal dan pusat tidak selalu terlibat konflik yang menguras energi.
tulis komentar anda