Independensi dan Kolaborasi Kunci Iklim Riset yang Kondusif
Jum'at, 25 Maret 2022 - 15:06 WIB
Ia menjelaskan, saat ini ada delapan jenis skema fasilitasi riset dan akan terus bertambah. Sementara itu, BRIN telah mengembangkan regulasi turunan, meskipun masih berbentuk peraturan BRIN, terkait klirens etik yang didalamnya termasuk mengenai izin peneliti asing.
“Kami berharap aturan-aturan yang sedang kami buat tidak menyulitkan bagi periset karena kami yakin kita membutuhkan kolaborasi sebesar-besarnya dengan berbagai pihak,” imbuh Agus.
Lebih lanjut, Direktur Pendidikan Tinggi dan IPTEK, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Tatang Muttaqin, menyampaikan tentang proses teknokratis dalam mengonsolidasikan kebijakan berbasis bukti.
“Dari riset kebijakan, secara regulasi ada irisan antara UU Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dengan Sisnas IPTEK, Bappenas mengonsolidasikan dan BRIN melakukan kajian dan menyampaikan rekomendasi. Dalam dua proses tersebut yang dikenal dengan proses teknokratis agar kebijakan berbasis bukti dapat dikonsolidasikan, titik temu ini yang kita cari dan akan menjadi sebuah tradisi untuk menghasilkan policy terbaik untuk berkontribusi pada peningkatan ekonomi,” kata Tatang.
Selain itu, Kepala Program Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora BRIN, Trina Fizzanty, juga menjelaskan bagaimana BRIN memanfaatkan peran strategisnya dalam menjembatani kolaborasi antar periset BRIN dan periset eksternal, seperti lembaga-lembaga riset independen yang ada di Indonesia.
“Kami melihat kehadiran lembaga riset independen (LRI) adalah sebuah aset bagi nasional, karena tidak hanya bergerak dari sisi diseminasi dari pengetahuan ke kebijakan tetapi juga menghasilkan pengetahuan. Kolaborasi diperlukan agar kita dapat memberikan evidence yang solid bagi pembuat kebijakan,” kata Trina.
Ia menjelaskan bahwa BRIN memiliki rumah program yang didesain untuk bisa menjawab persoalan strategis nasional. “Mengenai metode, tidak perlu dikhawatirkan di dalam rumah program karena dijaga dengan proses manajemen kualitas dari proses producing knowledge. Komite etik juga telah menjadi bagian dari proses bisnis rumah program,” imbuh Trina.
Sebelumnya, Ruang Bincang 9 dimulai dengan pemaparan benang merah dari delapan Ruang Bincang dalam rangkaian Konferensi K2P. Dalam menyampaikan hal tersebut, Advisor Center for Innovation and Policy Governance (CIPG), Yanuar Nuhgroho menggarisbawahi aspek-aspek kolaborasi sebagai bagian yang telah didiskusikan di delapan Ruang Bincang Konferensi K2P.
Bersama Yanuar, Sekretaris SMERU Heni Kurniasih, kemudian menjelaskan terkait Memo Bersama 18 Lembaga Riset Kebijakan terkait independensi riset dan produksi pengetahuan Indonesia sebagai hasil dari diskusi terarah yang dilakukan sebelumnya, “Dua hal inti yang kami diskusikan dan kami gagas adalah kolaborasi dan independensi,” ujar Trina.
Kolaborasi memerlukan kemitraan untuk mendorong kebijakan berbasis bukti. Kehadiran LRI bisa melengkapi peran BRIN terutama dalam bidang sosial-humaniora yang menjadi bidang hilir translasi knowledge untuk kebijakan.
“Kami berharap aturan-aturan yang sedang kami buat tidak menyulitkan bagi periset karena kami yakin kita membutuhkan kolaborasi sebesar-besarnya dengan berbagai pihak,” imbuh Agus.
Lebih lanjut, Direktur Pendidikan Tinggi dan IPTEK, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Tatang Muttaqin, menyampaikan tentang proses teknokratis dalam mengonsolidasikan kebijakan berbasis bukti.
“Dari riset kebijakan, secara regulasi ada irisan antara UU Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dengan Sisnas IPTEK, Bappenas mengonsolidasikan dan BRIN melakukan kajian dan menyampaikan rekomendasi. Dalam dua proses tersebut yang dikenal dengan proses teknokratis agar kebijakan berbasis bukti dapat dikonsolidasikan, titik temu ini yang kita cari dan akan menjadi sebuah tradisi untuk menghasilkan policy terbaik untuk berkontribusi pada peningkatan ekonomi,” kata Tatang.
Selain itu, Kepala Program Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora BRIN, Trina Fizzanty, juga menjelaskan bagaimana BRIN memanfaatkan peran strategisnya dalam menjembatani kolaborasi antar periset BRIN dan periset eksternal, seperti lembaga-lembaga riset independen yang ada di Indonesia.
“Kami melihat kehadiran lembaga riset independen (LRI) adalah sebuah aset bagi nasional, karena tidak hanya bergerak dari sisi diseminasi dari pengetahuan ke kebijakan tetapi juga menghasilkan pengetahuan. Kolaborasi diperlukan agar kita dapat memberikan evidence yang solid bagi pembuat kebijakan,” kata Trina.
Ia menjelaskan bahwa BRIN memiliki rumah program yang didesain untuk bisa menjawab persoalan strategis nasional. “Mengenai metode, tidak perlu dikhawatirkan di dalam rumah program karena dijaga dengan proses manajemen kualitas dari proses producing knowledge. Komite etik juga telah menjadi bagian dari proses bisnis rumah program,” imbuh Trina.
Sebelumnya, Ruang Bincang 9 dimulai dengan pemaparan benang merah dari delapan Ruang Bincang dalam rangkaian Konferensi K2P. Dalam menyampaikan hal tersebut, Advisor Center for Innovation and Policy Governance (CIPG), Yanuar Nuhgroho menggarisbawahi aspek-aspek kolaborasi sebagai bagian yang telah didiskusikan di delapan Ruang Bincang Konferensi K2P.
Bersama Yanuar, Sekretaris SMERU Heni Kurniasih, kemudian menjelaskan terkait Memo Bersama 18 Lembaga Riset Kebijakan terkait independensi riset dan produksi pengetahuan Indonesia sebagai hasil dari diskusi terarah yang dilakukan sebelumnya, “Dua hal inti yang kami diskusikan dan kami gagas adalah kolaborasi dan independensi,” ujar Trina.
Kolaborasi memerlukan kemitraan untuk mendorong kebijakan berbasis bukti. Kehadiran LRI bisa melengkapi peran BRIN terutama dalam bidang sosial-humaniora yang menjadi bidang hilir translasi knowledge untuk kebijakan.
tulis komentar anda