Pameran Lukisan Bertema Hari Kemerdekaan, Hasto: Seniman Ekspresikan Semangat Juang
Selasa, 23 Agustus 2022 - 20:58 WIB
“Suasana kebatinan saat teks Proklamasi dibacakan, ancaman todongan senjata tentara Jelang dan Sekutu ada di depan mata. Suasana memang penuh tekanan, suasana kevakuman kekuasaan dan tentara sekutu sudah berdatangan di Jakarta dan itulah yang memberikan ancaman keamanan termasuk ke Bung Karno-Hatta. Sehingga membaca proklamasi itu perlu keberanian karena senjata siap ditembakkan,” beber Hasto.
Dan terbukti, usai pembacaan Proklamasi, beberapa waktu kemudian, dalam upaya konsolidasi negara yang baru saja merdeka, Bung Karno dihadang tentara Sekutu yang diboncengi NICA di sekitar Kwitang. Mereka ingin mengadili dan langsung mengeksekusi Bung Karno di tengah jalan.
Mengetahui itu, dr. Soeharto langsung mengontak tentara Sekutu yang berasal dari India dan bersimpati pada kemerdekaan Indonesia agar datang. Dan mereka cepat bergerak, lalu bernegosiasi dengan tentara Sekutu yang berniat melakukan eksekusi.
“Kemudian terjadi perdebatan keras, akhirnya Bung Karno diizinkan meninggalkan mobil itu. Begitu Bung Karno keluar dari mobil, mobilnya ditembak habis. Sehingga ringsek mobil itu,” urai Hasto.
Peristiwa itulah yang kemudian memicu dipindahkannya ibu kota negara dari Jakarta yang dianggap tak aman, ke Yogyakarta. Tak lama kemudian Bung Karno, Ibu Fatmawati, dan Guntur Soekarnoputra ke Yogyakarta.
“Sedikit cerita ini menggambarkan kemerdekaan Indonesia dicapai dengan tidak mudah, dengan pertarungan nyawa,” kata Hasto.
“Sehingga ketika merdeka, semangat kita adalah percaya pada kekuatan sendiri. Karena itulah kita tak boleh sedikit sedikit menggantungkan diri kepada asing. Ketika kita mampu memproduksi sendiri, janganlah kita malah tergantung pada produk asing. Lalu untuk apa kita merdeka? Makanya Bung Karno mendorong semangat berdikari,” tegas Hasto.
Yang jelas, menurut Hasto, tiap karya seni termasuk lukisan di pameran ini, menggambarkan kehendak dan imajinasi para senimannya.
“Maka itu saya undang juga para kepala daerah ini untuk melihat dan ikut membeli, karena kita menghormati kebebasan berekspresi, menghormati karya seni,” tutut Hasto.
Hasto sendiri turut membeli sebuah lukisan berjudul Bu Fat karya Harun Al Rasyid yang menggambarkan bagaimana Ibu Fatmawati menjahit bendera Sang Saka Merah Putih.
Dan terbukti, usai pembacaan Proklamasi, beberapa waktu kemudian, dalam upaya konsolidasi negara yang baru saja merdeka, Bung Karno dihadang tentara Sekutu yang diboncengi NICA di sekitar Kwitang. Mereka ingin mengadili dan langsung mengeksekusi Bung Karno di tengah jalan.
Mengetahui itu, dr. Soeharto langsung mengontak tentara Sekutu yang berasal dari India dan bersimpati pada kemerdekaan Indonesia agar datang. Dan mereka cepat bergerak, lalu bernegosiasi dengan tentara Sekutu yang berniat melakukan eksekusi.
“Kemudian terjadi perdebatan keras, akhirnya Bung Karno diizinkan meninggalkan mobil itu. Begitu Bung Karno keluar dari mobil, mobilnya ditembak habis. Sehingga ringsek mobil itu,” urai Hasto.
Peristiwa itulah yang kemudian memicu dipindahkannya ibu kota negara dari Jakarta yang dianggap tak aman, ke Yogyakarta. Tak lama kemudian Bung Karno, Ibu Fatmawati, dan Guntur Soekarnoputra ke Yogyakarta.
“Sedikit cerita ini menggambarkan kemerdekaan Indonesia dicapai dengan tidak mudah, dengan pertarungan nyawa,” kata Hasto.
“Sehingga ketika merdeka, semangat kita adalah percaya pada kekuatan sendiri. Karena itulah kita tak boleh sedikit sedikit menggantungkan diri kepada asing. Ketika kita mampu memproduksi sendiri, janganlah kita malah tergantung pada produk asing. Lalu untuk apa kita merdeka? Makanya Bung Karno mendorong semangat berdikari,” tegas Hasto.
Yang jelas, menurut Hasto, tiap karya seni termasuk lukisan di pameran ini, menggambarkan kehendak dan imajinasi para senimannya.
“Maka itu saya undang juga para kepala daerah ini untuk melihat dan ikut membeli, karena kita menghormati kebebasan berekspresi, menghormati karya seni,” tutut Hasto.
Hasto sendiri turut membeli sebuah lukisan berjudul Bu Fat karya Harun Al Rasyid yang menggambarkan bagaimana Ibu Fatmawati menjahit bendera Sang Saka Merah Putih.
Lihat Juga :
tulis komentar anda