Gadis Asal Papua Ini Berhasil Jadi Dokter dengan Beasiswa ADik, Apa Kunci Suksesnya?
loading...
A
A
A
Ria mengungkapkan, di sekolahnya, siswa yang bolos itu hal yang biasa, bahkan saat ujian. Begitu juga dengan kemampuan bahasa Inggris, Ria mengaku, biasa-biasa saja. Dengan kesadaran itu, Ria memantapkan niat awalnya untuk kuliah, memperkuat tujuan hidupnya untuk bermanfaat bagi orang lain, dan pantang menyerah,
Baca juga: Perjuangan Dosen Muda UIN Jakarta Lolos Beasiswa Indonesia Bangkit S3 Luar Negeri
“Menjalani kuliah dan menjadi dokter tidak mudah, butuh semangat dan perjuangan dengan dukungan orang di sekitar kita, terutama orang tua. Saya juga bersyukur dan karena itu berterima kasih pada Kemendikbudristek yang mengelola ADik, guru-guru saya saat SMA, teman-teman kuliah dan para dosen di Universitas Bengkulu,” ucapnya.
Tantangan saat Berkuliah
Sebagai orang Papua yang kuliah di Bengkulu dengan perbedaan bahasa, budaya, bahkan fisik, Ria mengaku mengalami suka dan duka Ria mengisahkan, saat pertama kali datang ke Bengkulu, banyak yang bertanya, “Kalian di Papua apa makan nasi ngga sih, emang sejadul itukah pandangan terhadap Papua?” tanya Ria sambil tertawa.
Begitu juga ketika dia berjalan di sekitar Bengkulu, banyak masyarakat yang melihatinya, diketawain, dikira bule, dan berbagai pandangan lainnya yang menurut Ria sebagai hal yang wajar karena jarang sekali orang Papua yang hidup di Bengkulu.
Pandangan dan penilaian orang Bengkulu terhadap mahasiswa Papua itulah, dikatakan Ria, menjadi salah satu alasan beberapa mahasiswa Papua penerima ADik tak kuat menjalani perkuliahan hingga akhirnya kembali ke Papua.
Dari sembilan orang mahasiswa penerima ADik tahun 2013 seangkatan Ria, yang berhasil selesai kuliah hingga wisuda hanya empat orang. Hal yang sama juga dialami mahasiswa ADik angkatan sebelumnya, dari sembilan orang, hanya tiga orang yang berhasil diwisuda.
Padahal, lanjut Ria, pihak kampus, termasuk dosennya, sangat memperhatikan kebutuhan mahasiswa Papua penerima ADik. Bahkan dalam penilaian Ria, kepedulian para dosen dan pihak kampus terlalu baik.
“Para dosen selalu membantu kami saat punya masalah dalam kuliah dan selalu menawarkan bantuan bila kami punya permasalahan apapun. Istilah saya, kami, mahasiswa Papua merasa punya privilege, punya keistimewaan dibanding mahasiswa lain yang bukan Papua,” terangnya.
Baca juga: Perjuangan Dosen Muda UIN Jakarta Lolos Beasiswa Indonesia Bangkit S3 Luar Negeri
“Menjalani kuliah dan menjadi dokter tidak mudah, butuh semangat dan perjuangan dengan dukungan orang di sekitar kita, terutama orang tua. Saya juga bersyukur dan karena itu berterima kasih pada Kemendikbudristek yang mengelola ADik, guru-guru saya saat SMA, teman-teman kuliah dan para dosen di Universitas Bengkulu,” ucapnya.
Tantangan saat Berkuliah
Sebagai orang Papua yang kuliah di Bengkulu dengan perbedaan bahasa, budaya, bahkan fisik, Ria mengaku mengalami suka dan duka Ria mengisahkan, saat pertama kali datang ke Bengkulu, banyak yang bertanya, “Kalian di Papua apa makan nasi ngga sih, emang sejadul itukah pandangan terhadap Papua?” tanya Ria sambil tertawa.
Begitu juga ketika dia berjalan di sekitar Bengkulu, banyak masyarakat yang melihatinya, diketawain, dikira bule, dan berbagai pandangan lainnya yang menurut Ria sebagai hal yang wajar karena jarang sekali orang Papua yang hidup di Bengkulu.
Pandangan dan penilaian orang Bengkulu terhadap mahasiswa Papua itulah, dikatakan Ria, menjadi salah satu alasan beberapa mahasiswa Papua penerima ADik tak kuat menjalani perkuliahan hingga akhirnya kembali ke Papua.
Dari sembilan orang mahasiswa penerima ADik tahun 2013 seangkatan Ria, yang berhasil selesai kuliah hingga wisuda hanya empat orang. Hal yang sama juga dialami mahasiswa ADik angkatan sebelumnya, dari sembilan orang, hanya tiga orang yang berhasil diwisuda.
Padahal, lanjut Ria, pihak kampus, termasuk dosennya, sangat memperhatikan kebutuhan mahasiswa Papua penerima ADik. Bahkan dalam penilaian Ria, kepedulian para dosen dan pihak kampus terlalu baik.
“Para dosen selalu membantu kami saat punya masalah dalam kuliah dan selalu menawarkan bantuan bila kami punya permasalahan apapun. Istilah saya, kami, mahasiswa Papua merasa punya privilege, punya keistimewaan dibanding mahasiswa lain yang bukan Papua,” terangnya.