Code of Conduct Laut China Selatan Harus Bisa Membatasi Perilaku Agresif China
loading...
A
A
A
Teuku menekankan peran Indonesia yang sangat penting dalam upaya perwujudan COC di atas, meski dalam pandangannya jalan untuk COC betul betul terwujud sepertinya masih panjang. Namun ia mengatakan bahwa RI perlu terus mempertahankan perannya, sebagai semacam juru bicara untuk isu isu yang berhubungan dengan Laut China Selatan (LCS), meski Indonesia nanti tidak lagi menjadi ketua ASEAN.
Selain itu, peran diplomatik Indonesia itu perlu dibarengi dengan peningkatan nilai tawar kekuatan, antara lain dengan meningkatkan kredibilitas militer Indonesia. “Ini dapat dilakukan dengan memperbanyak latihan-latihan tempur dengan negara-negara yang lebih kuat,” tuturnya. Dalam pandangannya, latihan militer Garuda Shield atau Super Garuda Shield perlu dilanjutkan.
Pemerhati Hubungan Internasional dari UI Ristian Atriandi Supriyanto mengatakan bahwa strategi China di Laut China Selatan adalah mempertahankan ambiguitas. “China seolah-olah menekankan dukungan pada percepatan COC, tetapi baru saja kesepakatan percepatan COC diumumkan, China malah meningkatkan ekskalasi dengan merilis peta baru yang di dalamnya tercantum 10 garis putus putus yang mengklaim sebagian besar LCS—termasuk sebagian ZEE Indonesia di perairan Laut Natuna Utara—sebagai bagian dari teritori China,” tegas Ristian.
Menurut Ristian, ada beberapa tindakan provokatif China soal LCS yang bisa memicu ketegangan baru akhir-akhir ini. Dalam catatan Ristian, tindakan China itu misalnya dengan melakukan perilaku yang tak bertanggung jawab kepada kapal-kapal pembawa pasukan Filipina di sekitar Second Thomas Shoal dengan cara menyemprotkan air secara kuat kepada kapal Filipina. “Padahal itu berada di wilayah ZEE Filipina,”katanya.
Meski mendukung upaya perwujudan COC yang diharapkan dapat mencegah ketegangan-ketegangan yang muncul di masa mendatang, Ristian juga khawatir bila COC yang ada justru mengakodomasi kepentingan-kepentingan China, sehingga negeri tirai bambu itu dapat berperilaku sewenang-wenang. “Bila China berhasil mengikat negara-negara ASEAN melalui COC agar tidak melibatkan negara di luar kawasan, maka China dapat bertindak sewenang-wenang karena ia merupakan aktor lebih kuat dari negara-negara ASEAN,” tuturnya.
Itulah sebabnya Ristian menyatakan bahwa COC yang hasilnya serampangan seharusnya ditolak. “COC yang diwujudkan tidak boleh bersifat lunak, tetapi harus bisa mengekang perilaku agresif China,” pungkas akademisi yang sedang menyelesaikan disertasi doktor dari Australian National University itu.
Selain itu, peran diplomatik Indonesia itu perlu dibarengi dengan peningkatan nilai tawar kekuatan, antara lain dengan meningkatkan kredibilitas militer Indonesia. “Ini dapat dilakukan dengan memperbanyak latihan-latihan tempur dengan negara-negara yang lebih kuat,” tuturnya. Dalam pandangannya, latihan militer Garuda Shield atau Super Garuda Shield perlu dilanjutkan.
Pemerhati Hubungan Internasional dari UI Ristian Atriandi Supriyanto mengatakan bahwa strategi China di Laut China Selatan adalah mempertahankan ambiguitas. “China seolah-olah menekankan dukungan pada percepatan COC, tetapi baru saja kesepakatan percepatan COC diumumkan, China malah meningkatkan ekskalasi dengan merilis peta baru yang di dalamnya tercantum 10 garis putus putus yang mengklaim sebagian besar LCS—termasuk sebagian ZEE Indonesia di perairan Laut Natuna Utara—sebagai bagian dari teritori China,” tegas Ristian.
Menurut Ristian, ada beberapa tindakan provokatif China soal LCS yang bisa memicu ketegangan baru akhir-akhir ini. Dalam catatan Ristian, tindakan China itu misalnya dengan melakukan perilaku yang tak bertanggung jawab kepada kapal-kapal pembawa pasukan Filipina di sekitar Second Thomas Shoal dengan cara menyemprotkan air secara kuat kepada kapal Filipina. “Padahal itu berada di wilayah ZEE Filipina,”katanya.
Meski mendukung upaya perwujudan COC yang diharapkan dapat mencegah ketegangan-ketegangan yang muncul di masa mendatang, Ristian juga khawatir bila COC yang ada justru mengakodomasi kepentingan-kepentingan China, sehingga negeri tirai bambu itu dapat berperilaku sewenang-wenang. “Bila China berhasil mengikat negara-negara ASEAN melalui COC agar tidak melibatkan negara di luar kawasan, maka China dapat bertindak sewenang-wenang karena ia merupakan aktor lebih kuat dari negara-negara ASEAN,” tuturnya.
Itulah sebabnya Ristian menyatakan bahwa COC yang hasilnya serampangan seharusnya ditolak. “COC yang diwujudkan tidak boleh bersifat lunak, tetapi harus bisa mengekang perilaku agresif China,” pungkas akademisi yang sedang menyelesaikan disertasi doktor dari Australian National University itu.
(wyn)