Menko Muhadjir Ungkap Praktik Titipan Pejabat Biar Masuk Sekolah Favorit di PPDB
loading...
A
A
A
JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy menyoroti penyimpangan dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Mulai dari praktik jual beli kursi hingga memalsukan Kartu Tanda Penduduk (KTP) untuk masuk sekolah favorit.
“Misalnya soal PPDB, penerimaan siswa baru. Saya ingat waktu menjadi Mendikbud, Saya cerita ini, itu kita dirisaukan dengan adanya sekolah-sekolah elite negeri atau istilahnya kastanisasi sekolah. Ada di setiap kota, setiap daerah, ada sekolah negeri yang favorit, dan diburu oleh semua orang tua itu, dengan segala cara dengan segala cara,” kata Muhadjir di Kantor Kemenko PMK, Jakarta, dikutip Rabu (10/7/2024).
Baca juga: Wapres: Pembentukan Satgas PPDB Agar Pengawasan Lebih Ketat dan Fokus
Bahkan, kata Muhadjir, praktik jual beli kursi sekolah di PPDB ini juga dilakukan oleh para pejabat-pejabat untuk menitipkan agar anaknya masuk sekolah favorit itu. “Kemudian karena dia banyak yang berminat maka disitulah praktik-praktik penyimpangan itu terjadi, mulai dari jual beli kursi, sampai kemudian memalsukan kartu penduduk untuk pindah dari satu daerah ke daerah itu supaya bisa masuk di sekolah favorit itu. Kemudian juga menjadi titipan para pejabat,” katanya.
Baca juga: Kisruh PPDB 2024, Anak Pasutri Miskin Tuna Netra Ditolak Daftar Sekolah Negeri di Semarang
“Bukan itu saja, itu istri-istrinya pejabat juga semuanya direkomendasi pindah di sekolah favorit itu. Sementara ada sekolah yang Negeri juga tapi enggak ada peminatnya gitu, karena dianggap enggak mutu, karena dianggap pinggiran,” tambahnya.
Muhadjir pun menceritakan bahwa yang lebih mengenaskan adalah anak-anak yang tinggal di dekat sekolah favorit justru tidak dapat sekolah. “Dan yang lebih mengenaskan itu, anak-anak yang ada di sekitar sekolah itu, sekolah yang disebut elite itu enggak ada yang diterima di situ.”
“Dia kenapa? Karena dia mungkin memang tidak pintar ya secara akademik yang sesuai dengan kriteria sekolah favorit itu. Karena kalau favorit kan sekolah elite kan semakin kriteria tinggi kan, maka semakin tidak bisa lah ini anak-anak sekitar ini untuk masuk di situ,” kata Muhadjir.
Baca juga: Ombudsman: Sistem Zonasi Kurangi Favoritisme Sekolah
Selain itu, kata Muhadjir, anak yang terpinggirkan itu terpaksa sekolah di tempat yang jauh dari tempat tinggalnya karena miskin dan tidak bisa membayar mahal. “Yang kedua miskin, dia tidak bisa membayar dia tidak bisa memberikan sesuatu kepada sekolah itu sehingga dia tersingkir. Sehingga dia terpaksa harus sekolah di tempat yang jauh dari tempat itu, di tempat sekolah itu.”
Bahkan, Muhadjir mengatakan dia pernah menemui bahwa ada anak yang terpaksa menempuh perjalanan 5 jam untuk sekolah. “Coba bayangkan Bapak Ibu sekalian? Itu secara sosial adil nggak? Ini sama-sama anak bangsa ya, sama-sama bangsa kemudian dia berada di tempat itu tapi dia tidak bisa menikmati sekolah yang megah itu dan dia harus pergi jauh. Di Jakarta ini ada yang 5 jam, pernah saya kasus itu ada yang harus ambil sekolah di jauh yang tidak berjalan 5 jam. Padahal, enggak sampai 200 meter sekolah itu ada sekolah negeri itu," tuturnya.
“Nah kalau sudah seperti itu di mana secara sosial adil enggak, secara non sosial mungkin adil karena dia memang tidak memenuhi kriteria, dia tidak punya uang adalah karena dia nggak dapat gitu. Tapi secara sosial kan itu telah menciptakan ketidakadilan dan itulah yang dimaksud keadilan sosial,” pungkasnya.
“Misalnya soal PPDB, penerimaan siswa baru. Saya ingat waktu menjadi Mendikbud, Saya cerita ini, itu kita dirisaukan dengan adanya sekolah-sekolah elite negeri atau istilahnya kastanisasi sekolah. Ada di setiap kota, setiap daerah, ada sekolah negeri yang favorit, dan diburu oleh semua orang tua itu, dengan segala cara dengan segala cara,” kata Muhadjir di Kantor Kemenko PMK, Jakarta, dikutip Rabu (10/7/2024).
Baca juga: Wapres: Pembentukan Satgas PPDB Agar Pengawasan Lebih Ketat dan Fokus
Bahkan, kata Muhadjir, praktik jual beli kursi sekolah di PPDB ini juga dilakukan oleh para pejabat-pejabat untuk menitipkan agar anaknya masuk sekolah favorit itu. “Kemudian karena dia banyak yang berminat maka disitulah praktik-praktik penyimpangan itu terjadi, mulai dari jual beli kursi, sampai kemudian memalsukan kartu penduduk untuk pindah dari satu daerah ke daerah itu supaya bisa masuk di sekolah favorit itu. Kemudian juga menjadi titipan para pejabat,” katanya.
Baca juga: Kisruh PPDB 2024, Anak Pasutri Miskin Tuna Netra Ditolak Daftar Sekolah Negeri di Semarang
“Bukan itu saja, itu istri-istrinya pejabat juga semuanya direkomendasi pindah di sekolah favorit itu. Sementara ada sekolah yang Negeri juga tapi enggak ada peminatnya gitu, karena dianggap enggak mutu, karena dianggap pinggiran,” tambahnya.
Muhadjir pun menceritakan bahwa yang lebih mengenaskan adalah anak-anak yang tinggal di dekat sekolah favorit justru tidak dapat sekolah. “Dan yang lebih mengenaskan itu, anak-anak yang ada di sekitar sekolah itu, sekolah yang disebut elite itu enggak ada yang diterima di situ.”
“Dia kenapa? Karena dia mungkin memang tidak pintar ya secara akademik yang sesuai dengan kriteria sekolah favorit itu. Karena kalau favorit kan sekolah elite kan semakin kriteria tinggi kan, maka semakin tidak bisa lah ini anak-anak sekitar ini untuk masuk di situ,” kata Muhadjir.
Baca juga: Ombudsman: Sistem Zonasi Kurangi Favoritisme Sekolah
Selain itu, kata Muhadjir, anak yang terpinggirkan itu terpaksa sekolah di tempat yang jauh dari tempat tinggalnya karena miskin dan tidak bisa membayar mahal. “Yang kedua miskin, dia tidak bisa membayar dia tidak bisa memberikan sesuatu kepada sekolah itu sehingga dia tersingkir. Sehingga dia terpaksa harus sekolah di tempat yang jauh dari tempat itu, di tempat sekolah itu.”
Bahkan, Muhadjir mengatakan dia pernah menemui bahwa ada anak yang terpaksa menempuh perjalanan 5 jam untuk sekolah. “Coba bayangkan Bapak Ibu sekalian? Itu secara sosial adil nggak? Ini sama-sama anak bangsa ya, sama-sama bangsa kemudian dia berada di tempat itu tapi dia tidak bisa menikmati sekolah yang megah itu dan dia harus pergi jauh. Di Jakarta ini ada yang 5 jam, pernah saya kasus itu ada yang harus ambil sekolah di jauh yang tidak berjalan 5 jam. Padahal, enggak sampai 200 meter sekolah itu ada sekolah negeri itu," tuturnya.
“Nah kalau sudah seperti itu di mana secara sosial adil enggak, secara non sosial mungkin adil karena dia memang tidak memenuhi kriteria, dia tidak punya uang adalah karena dia nggak dapat gitu. Tapi secara sosial kan itu telah menciptakan ketidakadilan dan itulah yang dimaksud keadilan sosial,” pungkasnya.
(nnz)