Keburu Sebar

Rabu, 15 April 2020 - 06:00 WIB
loading...
A A A
Merujuk penelitian itu, dalam tempo kurang dari 100 hari sejak pandemi Covid-19 menjadi isu dan ancaman di Indonesia mulai akhir Januari, telah ada 37 pernyataan blunder yang dikeluarkan Presiden Jokowi dan kabinetnya. Pertama , 13 pernyataan blunder di masa prakrisis periode Januari-akhir Februari 2020, penelitian LP3ES menyebutkan bahwa pemerintah tidak serius menanggapi Covid-19, justru menyepelekan dan menolak seakan korona masuk ke Indonesia, meskipun peringatan telah ada sejak Januari 2020.

Pernyataan blunder itu dilakukan mulai dari Presiden Jokowi, Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin, Menteri Kesehatan dr Terawan Agus Putranto, Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan, Menkopolhukam Machfud MD, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, Menteri Pariwisata Whisnutama, dan terakhir Dirjen Perhubungan Udara Novi Riyanto.

Pernyataan blunder pemerintah ini justru menyebabkan kepanikan terhadap masyarakat dan membangun ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah terjadi serta berdampak dalam sistem kesehatan nasional gagap sejak awal untuk menangani wabah korona.

Kedua , empat pernyataan blunder di awal krisis di periode awal Maret, di mana LP3ES menilai blunder pertama yakni keterlambatan Presiden Jokowi mengumumkan korona sudah menjangkit di Indonesia, di mana peringatan ini sudah terjadi sejak Januari 2020. Lalu, blunder kedua yakni inkonsistensi Juru Bicara Ahmad Yurianto yang membantah bahwa pasien pertama Covid-19 itu berasal dari Cianjur sejak akhir Februari 2020, namun kemudian bantahan tersebut diralat.

Kemudian Presiden Jokowi membuat pernyataan blunder lagi, sudah diumumkan ada pasien positif korona masih saja menggaungkan soal diskon tiket pesawat guna mendorong sektor pariwisata. Dan, terakhir, Wapres masih juga meremehkan bahayanya virus korona ini dengan menyebut minum susu kuda liar.

Ketiga , 20 pernyataan blunder di masa krisis (awal Maret-sekarang), menurut catatan LP3ES, blunder terbanyak terjadi dalam polemik mudik. Ada sembilan pernyataan yang keliru yang dikeluarkan enam pejabat negara. Presiden awalnya melarang mudik dan diamini oleh Jubir Presiden, Jubir Covid-19, dan Mensesneg. Selang kemudian diralat oleh bawahannya, yakni Jubir Presiden dan Menko Kemaritiman dan Investasi. Ironisnya, Presiden juga ikut meralat pernyataan larangan mudik ini.

Kini, persebaran wabah korona kian luas. Setelah menganggap enteng, gelagapan ketika makin banyak terjangkit. Penelitian itu membuktikan tak satu suara pemerintah pusat menanganinya. Ditambah lagi koordinasi dengan pemerintah daerah pun berantakan. Ironisnya lagi, rumah sakit pun tak siap.

PSBB Birokratis

Meski pemerintah telah membentuk gugus tugas percepatan penanganan Covid-19, sayangnya tak dibarengi dengan pemaparan strategi yang transparan dan komprehensif guna membangun trust dan optimisme masyarakat. Malah jadi waswas. Sensor informasi itu sebabnya. Sebagai anggota parlemen yang dijamin konstitusi, terus berpikir, bersuara dan bertindak, apa yang menjadi harapan rakyat dalam menghadapi pandemi. Harapan itu adalah cepat berlalu pandemi ini, di samping membaiknya situasi ekonomi.

Karantina wilayah, suara pertama yang aku gemakan di media. Mengingat konstitusi memandatkan karantina wilayah ini, yakni UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan Pasal 55 di mana negara memberikan jaminan hidup kepada rakyatnya. Namun, akhirnya, Presiden Jokowi mengumumkan langkah diambil dalam penanganan pandemi Covid-19 adalah penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Mengacu pada mengacu UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan Pasal 59.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1291 seconds (0.1#10.140)