PJJ Telan Korban Lagi, KPAI: Remaja yang Depresi Berisiko Tinggi Bunuh Diri
loading...
A
A
A
JAKARTA - Dunia pendidikan Indonesia kembali berduka setelah seorang siswi Sekolah Menengah Pertama (SMP) berusia 15 tahun di Tarakan, Kalimantan Utara (Kaltara), bunuh diri pada Selasa (27/10). Almarhumah diduga mengalami tekanan psikologis dengan sistem pembelajaran jarak jauh (PJJ) .
Bunuh diri ini diduga dipicu banyaknya tugas sekolah yang belum dikerjakan. Padahal, syarat untuk mengikuti ujian akhir semester adalah mengumpulkan seluruh tugas. (Baca juga: SMA Double Track, Terobosan Jatim untuk Tekan Pengangguran )
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti mengatakan kasus bunuh diri bukan sesuatu yang terjadi tiba-tiba. Biasanya, ada akumulasi dan rentetan panjang yang dialami seseorang dan yang bersangkutan tidak kuat menanggungnya.
PJJ ini sebenarnya sudah berlangsung lama, sejak pandemi Covid-19 merebak di Indonesia pada Maret 2020. Sebenarnya sudah banyak yang bisa beradaptasi, tetapi ada juga yang makin terbebani.
Retno mengutip keterangan ibunda almarhum di salah satu media yang menyatakan putrinya lebih merasa nyaman dengan pembelajaran tatap muka. Sebab, PJJ tidak disertai dengan penjelasan guru. Guru hanya memberikan tugas-tugas yang berat dan sulit dikerjakan. (Baca juga: Pesan Mendikbud: Tingkatkan Literasi Bahasa Indonesia dan Daerah )
Almarhumah sebenarnya bisa mengikuti PJJ fase pertama. Namun, pada PJJ fase II atau mulai tahun ajaran baru, semua materi baru dan penjelasan guru sangat minum. Ini menyebabkan banyak soal dan penugasan sulit dikerjakan.
Ibunda almarhum mengakui menerima surat dari pihak sekolah yang menyatakan anaknya memiliki tagihan tugas dari 11 mata pelajaran. Rata-rata tugas dari satu mata pelajaran berkisar 3-5 buah.
Orang tua korban menyatakan anaknya bukan malas mengerjakan tugas, tetapi karena tidak paham. Di sisi lain, orang tua tidak bisa membantu. (Baca juga: Tingkatkan Mutu Pengabdian, UIN Bandung Latih 110 Dosen )
“Ibu korban sempat berkomunikasi dengan pihak sekolah terkait beratnya tugas sehingga anaknya mengalami kesulitan. Namun, pihak sekolah hanya memberikan keringan waktu pengumpulan, tidak membantu kesulitan belajar yang dialami ananda,” tutur mantan Kepala SMAN 3 Jakarta mengutip keterangan ibu almarhum, Jumat (30/10/2020).
Orang tua korban menduga surat dari sekolah yang diterima sehari sebelum almarhum memutuskan mengakhiri hidupnya merupakan pemicunya. Pasalnya, dalam surat itu ada “tekanan” jika tugas-tugas tersebut tidak dikumpulkan, almarhum tidak bisa mengikuti ujian semester ganjil.
Retno mengatakan barangkali tujuan pihak sekolah hanya sekedar mengingatkan dan memberikan dorongan agar para siswa menyelesaikan tugas yang menumpuk. “Namun, bagi remaja yang mengalami masalah mental, kecemasan, stress atau malah depresi, selama masa pandemik karena ketidakmampuan mengerjakan tugas-tugas PJJ, memiliki risiko lebih tinggi untuk melahirkan pikiran tentang bunuh diri,” pungkasnya.
Bunuh diri ini diduga dipicu banyaknya tugas sekolah yang belum dikerjakan. Padahal, syarat untuk mengikuti ujian akhir semester adalah mengumpulkan seluruh tugas. (Baca juga: SMA Double Track, Terobosan Jatim untuk Tekan Pengangguran )
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti mengatakan kasus bunuh diri bukan sesuatu yang terjadi tiba-tiba. Biasanya, ada akumulasi dan rentetan panjang yang dialami seseorang dan yang bersangkutan tidak kuat menanggungnya.
PJJ ini sebenarnya sudah berlangsung lama, sejak pandemi Covid-19 merebak di Indonesia pada Maret 2020. Sebenarnya sudah banyak yang bisa beradaptasi, tetapi ada juga yang makin terbebani.
Retno mengutip keterangan ibunda almarhum di salah satu media yang menyatakan putrinya lebih merasa nyaman dengan pembelajaran tatap muka. Sebab, PJJ tidak disertai dengan penjelasan guru. Guru hanya memberikan tugas-tugas yang berat dan sulit dikerjakan. (Baca juga: Pesan Mendikbud: Tingkatkan Literasi Bahasa Indonesia dan Daerah )
Almarhumah sebenarnya bisa mengikuti PJJ fase pertama. Namun, pada PJJ fase II atau mulai tahun ajaran baru, semua materi baru dan penjelasan guru sangat minum. Ini menyebabkan banyak soal dan penugasan sulit dikerjakan.
Ibunda almarhum mengakui menerima surat dari pihak sekolah yang menyatakan anaknya memiliki tagihan tugas dari 11 mata pelajaran. Rata-rata tugas dari satu mata pelajaran berkisar 3-5 buah.
Orang tua korban menyatakan anaknya bukan malas mengerjakan tugas, tetapi karena tidak paham. Di sisi lain, orang tua tidak bisa membantu. (Baca juga: Tingkatkan Mutu Pengabdian, UIN Bandung Latih 110 Dosen )
“Ibu korban sempat berkomunikasi dengan pihak sekolah terkait beratnya tugas sehingga anaknya mengalami kesulitan. Namun, pihak sekolah hanya memberikan keringan waktu pengumpulan, tidak membantu kesulitan belajar yang dialami ananda,” tutur mantan Kepala SMAN 3 Jakarta mengutip keterangan ibu almarhum, Jumat (30/10/2020).
Orang tua korban menduga surat dari sekolah yang diterima sehari sebelum almarhum memutuskan mengakhiri hidupnya merupakan pemicunya. Pasalnya, dalam surat itu ada “tekanan” jika tugas-tugas tersebut tidak dikumpulkan, almarhum tidak bisa mengikuti ujian semester ganjil.
Retno mengatakan barangkali tujuan pihak sekolah hanya sekedar mengingatkan dan memberikan dorongan agar para siswa menyelesaikan tugas yang menumpuk. “Namun, bagi remaja yang mengalami masalah mental, kecemasan, stress atau malah depresi, selama masa pandemik karena ketidakmampuan mengerjakan tugas-tugas PJJ, memiliki risiko lebih tinggi untuk melahirkan pikiran tentang bunuh diri,” pungkasnya.
(mpw)