Napak Tilas Sejarah Bung Karno Merenungkan Pancasila di Pengasingan Ende
loading...
A
A
A
ENDE - Sejarah lahirnya Pancasila pada 1 Juni 1945, tak bisa dilepaskan dari gagasan dan perenungan panjang Bung Karno Muda saat diasingkan di Kota Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 1934-1938. Di kota seribu nyiur melambai inilah, Bung Karno merenungkan dan mengabstraksikan pikiran-pikiran yang telah diperjuangkannya hingga melahirkan rumusan sila-sila Pancasila dan butir-butirnya.
Hal tersebut diungkapkan Akademisi, sekaligus Budayawan dari Universitas Indonesia (UI) Ngatawi Al Zastrouw, saat menjadi pembicara dalam diskusi “Pembudayaan Pancasila di Sumba-Ende, NTT” yang digelar Direktorat Pembudayaan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), di Rumah Pengasingan Bung Karno, Ende, Flores, NTT, Senin (23/11/2020). Narasumber lain, Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila (PSPP) Syaiful Arif.
Selain kedua narasumber, Turut hadir Direktur Pembudayaan BPIP Irene Camelyn Sinaga, Budayawan Taufik Rahzen, Akademisi jebolan Al Azhar Mukti Ali Qusyairi, serta perwakilan guru sejarah sejumlah daerah yang tergabung dalam Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI). (Baca juga: BPIP Gandeng Komunitas Adat Sumba untuk Wujudkan Pembudayaan Pancasila )
Dalam paparanya, Ngatawi Al Zastrouw mengungkapkan, pancasila adalah prodak dari rasionalitas dan spiritualitas yang dikonstruksikan, direnungkan, dan disistematisasikan melalui perenungan-perenungan panjang Bung Karno baik sebelum maupun saat menjalani masa pengasingan di ‘Rumah Pengasingan Ende’.
Namun, untuk sampai pada tahap itu, Al Zastrouw mengajak audiens untuk flashback atau kilas balik pada tahun 1915, ketika Bung Karno Muda bersekolah di Surabaya, di Hogere Burger School (HBS), setingkat SLTA. Saat mengenyam pendidikan, Bung Karno Muda satu angkatan dengan sejumlah tokoh di antaranya, Semaoen, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, Alimin, Musso, dan Tan Malaka. Saat itu, Bung Karno tinggal di rumah HOS Cokroaminoto, pemimpin politik sekaligus ketua Sarekat Islam. (Baca juga: BPIP: Penyelenggara Negara Wajib Tanamkan Nilai Pancasila lewat Keadilan Sosial )
Selama tinggal di rumah HOS Cokroaminoto, Bung Karno banyak bertemu dengan para tokoh Sarekat Islam dan banyak terlibat diskusi. Dari sinilah rasa nasionalismenya tumbuh dan terus menggelora. Di saat itulah, Bung Karno melakukan pergulatan-pergulatan, tidak hanya pemikiran tapi juga spiritual. “Ini adalah proses internalisasi nilai pada fase awal saat Bung Karno tinggal dan belajar pada HOS Cokroaminoto, yang kemudian mengubah seluruh jalan hidupnya,” kata Ngatawi Al Zastrouw.
Selanjutnya, pada 1920, Bung Karno menjadi mahasiswa di Technische Hoge School (Institut Teknologi Bandung) di Bandung dan mengambil jurusan teknik sipil. Saat itu, Sang Putra Fajar ini sudah melakukan eksplorasi, menjelajah dan bertemu dengan banyak tokoh politik, masyarakat, dan para ulama berpengaruh di Bandung.
Apalagi, saat kuliah di Bandung, Soekarno tinggal di kediaman Haji Sanusi yang merupakan anggota Sarekat Islam dan sahabat karib HOS Cokroaminoto. Melalui Haji Sanusi, Bung Karno Muda berinteraksi dengan Ki Hajar Dewantara, Tjipto Mangunkusumo dan Dr Douwes Dekker, yang saat itu merupakan pemimpin organisasi National Indische Partij. (Baca juga: Peringati Hari Pahlawan, BPIP Gencarkan Pembudayaan Idelogi Pancasila )
“Saat jadi mahasiswa itulah, Bung Karno banyak membaca buku, teks, manuskrip, Alquran, hadis, dan lain-lain. Ini bentuk dari ayat Qauliyah. Selain Qauliyah, dia juga mengaktualisasikan ayat Kauniyah, berkeliling bertemu dengan banyak tokoh, bertemu masyarakat, ulama. Jadi pancasila tidak mungkin bisa dihidupkan kembali jika tidak melihat rute ini dan metode ini,” katanya.
Al Zastrouw juga merinci, ada 3 Fase sampai pada perenungan itu. Pertama, eksplorasi terhadap ayat-ayat Qauliyah dan Kauniyah. Kedua, internalisasi terhadap sepirit nilai terhadap apa yang ada di ayat Qauliyah dan Kauniyah. Ketiga, saat melakukan eksplorasi itu tidak langsung dihakimi, tapi dimuntahkan lagi untuk direkontruksi.
“Kalau ada orang cerita, pancasila datang tidak dari langit, iya. Prosesnya apa secara metodologis, ini adalah mendialogkan antara yang Qauliyah dan Kauniyah, mendialogkan antara yang modern dengan yang tradisional, antara yang rasional dan spiritual. Inilah proses menuju bangunan pancasila itu,” jelasnya.
Makanya, lanjut dia, ketika ada orang modern tiba-tiba datang dan ingin mengganti sistem ketatanegaraan Indonesia yang murni modern, maka tidak akan konektif dengan pancasila. Demikian juga dengan kaum agamawan yang datang dan ingin menerapkan sistem syariah, khilafah, dan sebagainya. Karena tidak mendialektikan seperti yang dilakukan Bung Karno, pasti akan mengalami problem.
Dialektika-dialektika itu merupakan resources atau sumber daya yang sudah dikembangkan, dieksplorasi, dan ditanamkan oleh Bung karno sekian tahun dan menemukan sintesanya ketika Bung Karno diasingkan di Ende, jauh dari teman-teman seperjuangan dan saat kesepian di pengasingan. Al Zastrouw mengistilahkan itu sebagai kawah Candradimuka dalam rangka mengkontruksi dan mengkonseptualisasikan pancasila pada saat-saat sepi, menyendiri, dan saat dia berdialog dengan hatinya.
“Saya kira, di Ende ini adalah “Goa Hiranya” Bung Karno. Kalau Nabi Muhammad melakukan pengembaraan jadi pedagang, pengembaraan, itu adalah proses dialektikanya beliau dalam membaca ayat Kauniyah, belum dapat ayat Qauliyah saat itu. Sementara Bung Karno sudah mendapatkan dua-duanya. Bung Karno mendapatkan keduanya saat di Ende ini. Sementara, Nabi Muhammad SAW baru mendapatkan ayat Qauliyahnya atau wahyu pertamanya setelah menjalani kontemplasi di Gua Hira. Ende inilah Gua Hira-nya pancasila, kalau boleh saya analogikan,” ucapnya.
Sementara, Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila (PSPP) Syaiful Arif menyebut, Ende adalah kota rahimnya Pancasila. Ende menjadi rahim Pancasila, bukan karena 5 sila itu ditemukan di Ende, tapi di Ende lah Bung Karno Muda mampu meramu 5 sila yang telah beliau susun satu per satu sejak 1918.
Kenapa angka 1918 disebut, lanjut dia, karena di pidato beliaulah angka itu yang disebut, yakni pada pidato 1 Juni. “Soekarno kan di akhir paragraf pidato menyatakan, meskipun kita persiapan kemerdekaan hanya dalam hitungan bulan, yakni Mei sampai Agustus, tetapi sebenarnya, dasar dari negara itu sudah saya siapkan jauh-jauh hari dari 1918,” kata Syaiful Arif menirukan ucapan Bung Karno.
Ini juga dilakukan oleh para calon pemimpin bangsa lain, seperti Adolf Hitler dari Jerman, Vladimir Lenin dari Rusia, Sun Yat Sen dari China, dan sejumlah tokoh besar lainnya. Para pendiri bangsa itu sudah menyusun, membangun dasar-dasar negaranya jauh-jauh hari sebelum pendirian negara itu dilakukan dalam hitungan hari atau bulan.
“Makanya, ketika ada sejarawan mengatakan bahwa seluruh rangkaian sidang BPUPK, terutama sidang BPUPK yang pertama yang memiliki agenda utama perumusan dasar negara, itu merupakan by desain Soekarno, itu masuk akal juga. Pernyataan ini konon katanya ada sumber datanya,” kata mantan Tenaga Ahli Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) tersebut.
Kenyataanya, Soekarno menempatkan diri sebagai pembicara terakhir pada sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan (BPUPK) pada 1 Juni. Pada Pemilihan ketua BPUPK itu, juga atas usulan Bung Karno. Jadi, beliau tidak secara khusus mengajukan diri sebagai ketua sidang, karena beliau ingin bicara secara khusus tentang wahyu yang ditemukan di Rumah Pengasingan Ende.
Faktanya, Ide Bung Karno menjadi satu-satunya yang diterima secara aklamasi oleh peserta sidang BPUPK. Pidato monumental ini pun ditetapkan oleh Ketua BPUPK, Dr Radjiman Widiodiningrat, sebagai bahan baku perumusan dasar negara pada sidang-sidang selanjutnya. “Itu kemudian kenapa pancasila bisa diterima oleh sidang, oleh forum BPUPK, karena keragaman idiologi di sidang BPUPK sudah bisa beliau satukan. Prosesnya sejak tahun 1918, sudah bisa disatukan sejak di Ende,” ungkapnya.
Bung Karno-lah yang mencetuskan ide Pancasila sebagai dasar negara dalam kerangka dasar filsafat (philosophische grondslag) dan pandangan dunia (weltanschauung). Di dalam cetusan ini, Bung Karno tidak hanya menggagas nama Pancasila tetapi juga konsep-konsep sila beserta kandungan intelektualnya.
Syaiful juga menyebutkan proses atau fase-fase penggalian pancasila oleh Bung Karno. Fase pertama, saat perkenalan belau dengan gagasan sosialisme Islam. Pada 1918 merupakan tahun pertama beliau bertemu dengan ideologi politik, yakni saat Bung Karno tinggal di rumah HOS Cokroaminoto, pemimpin politik sekaligus ketua Sarekat Islam.
Fase kedua, pada 1920-1930 ke bandung untuk kuliah dan bertemu dengan nasionalisme modern. Selama kuliah, Bung Karno banyak berinteraksi dengan tiga serangkai, yakni Ki Hajar Dewantara, Tjipto Mangunkusumo dan Dr Douwes Dekker.
Terutama kepada Dr Douwes Dekker, guru nasionalis modern yang menempatkan nasionalisme itu sebagai ideologi yang berkeinginan untuk menyatukan semua ideologi yang ada. Intisari dari nasionalisme adalah kehendak untuk menyatukan semua perbedaan. Baik perbedaan kultural, perbedaan politik, maupun perbedaan ideologi. “Ketika bertemu dengan ideologi nasionalisme inilah, beliau langsung kesengsem dengan ideologi nasionalisme,” jelasnya.
Fase ketiga modern yang lebih condong ke sekuler. Artinya tidak berangkat dari tradisi Islam. Pada fase itu, Bung Karno berusaha menyatukan 3 ideologi besar di Indonesia saat itu, yakni sosialisme, nasionalisme, dan marxisme. Bung Karno mampu mencarikan titik temu dari 3 ideologi yang saling berseteru. Jadi pertikaian 3 ideologi besar inilah yang menjadi latar pemikiran Bung Karno unk meramu titik temu.
Saat Bung Karno di Yogyakarta, kata Syaiful, beliau sudah menemukan 4 sila, yakni Kebangsaan, kemanusiaan, demokrasi, dan kesejahteraan. Kemudian, saat Bung Karno dibuang ke Ende, jauh dari teman-temannya pejuang kemerdekaan, para loyalisnya dan hiruk-pikuk pergerakan politik, Bung Karno lebih banyak menghabiskan waktunya untuk merenung.
Dengan demikian, buah pemikiran Soekarno tentang Pancasila tidak muncul tiba-tiba. Pancasila hadir sebagai hasil dari proses perenungan diri Bung Karno, kontemplasi dan refleksinya secara mendalam selama hidup di Ende. Jadi aktivismenya berhenti sejenak, Munculah aktivitas spiritualitas.
Disinilah nili ketuhanan muncul kembali. “Jadi tanpa Ende, tanpa penemuan lagi Bung Karno atas ketuhanan, tidak ada pancasila. Setelah itu jadilah pancasila dengan 5 silanya.
Hal tersebut diungkapkan Akademisi, sekaligus Budayawan dari Universitas Indonesia (UI) Ngatawi Al Zastrouw, saat menjadi pembicara dalam diskusi “Pembudayaan Pancasila di Sumba-Ende, NTT” yang digelar Direktorat Pembudayaan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), di Rumah Pengasingan Bung Karno, Ende, Flores, NTT, Senin (23/11/2020). Narasumber lain, Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila (PSPP) Syaiful Arif.
Selain kedua narasumber, Turut hadir Direktur Pembudayaan BPIP Irene Camelyn Sinaga, Budayawan Taufik Rahzen, Akademisi jebolan Al Azhar Mukti Ali Qusyairi, serta perwakilan guru sejarah sejumlah daerah yang tergabung dalam Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI). (Baca juga: BPIP Gandeng Komunitas Adat Sumba untuk Wujudkan Pembudayaan Pancasila )
Dalam paparanya, Ngatawi Al Zastrouw mengungkapkan, pancasila adalah prodak dari rasionalitas dan spiritualitas yang dikonstruksikan, direnungkan, dan disistematisasikan melalui perenungan-perenungan panjang Bung Karno baik sebelum maupun saat menjalani masa pengasingan di ‘Rumah Pengasingan Ende’.
Namun, untuk sampai pada tahap itu, Al Zastrouw mengajak audiens untuk flashback atau kilas balik pada tahun 1915, ketika Bung Karno Muda bersekolah di Surabaya, di Hogere Burger School (HBS), setingkat SLTA. Saat mengenyam pendidikan, Bung Karno Muda satu angkatan dengan sejumlah tokoh di antaranya, Semaoen, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, Alimin, Musso, dan Tan Malaka. Saat itu, Bung Karno tinggal di rumah HOS Cokroaminoto, pemimpin politik sekaligus ketua Sarekat Islam. (Baca juga: BPIP: Penyelenggara Negara Wajib Tanamkan Nilai Pancasila lewat Keadilan Sosial )
Selama tinggal di rumah HOS Cokroaminoto, Bung Karno banyak bertemu dengan para tokoh Sarekat Islam dan banyak terlibat diskusi. Dari sinilah rasa nasionalismenya tumbuh dan terus menggelora. Di saat itulah, Bung Karno melakukan pergulatan-pergulatan, tidak hanya pemikiran tapi juga spiritual. “Ini adalah proses internalisasi nilai pada fase awal saat Bung Karno tinggal dan belajar pada HOS Cokroaminoto, yang kemudian mengubah seluruh jalan hidupnya,” kata Ngatawi Al Zastrouw.
Selanjutnya, pada 1920, Bung Karno menjadi mahasiswa di Technische Hoge School (Institut Teknologi Bandung) di Bandung dan mengambil jurusan teknik sipil. Saat itu, Sang Putra Fajar ini sudah melakukan eksplorasi, menjelajah dan bertemu dengan banyak tokoh politik, masyarakat, dan para ulama berpengaruh di Bandung.
Apalagi, saat kuliah di Bandung, Soekarno tinggal di kediaman Haji Sanusi yang merupakan anggota Sarekat Islam dan sahabat karib HOS Cokroaminoto. Melalui Haji Sanusi, Bung Karno Muda berinteraksi dengan Ki Hajar Dewantara, Tjipto Mangunkusumo dan Dr Douwes Dekker, yang saat itu merupakan pemimpin organisasi National Indische Partij. (Baca juga: Peringati Hari Pahlawan, BPIP Gencarkan Pembudayaan Idelogi Pancasila )
“Saat jadi mahasiswa itulah, Bung Karno banyak membaca buku, teks, manuskrip, Alquran, hadis, dan lain-lain. Ini bentuk dari ayat Qauliyah. Selain Qauliyah, dia juga mengaktualisasikan ayat Kauniyah, berkeliling bertemu dengan banyak tokoh, bertemu masyarakat, ulama. Jadi pancasila tidak mungkin bisa dihidupkan kembali jika tidak melihat rute ini dan metode ini,” katanya.
Al Zastrouw juga merinci, ada 3 Fase sampai pada perenungan itu. Pertama, eksplorasi terhadap ayat-ayat Qauliyah dan Kauniyah. Kedua, internalisasi terhadap sepirit nilai terhadap apa yang ada di ayat Qauliyah dan Kauniyah. Ketiga, saat melakukan eksplorasi itu tidak langsung dihakimi, tapi dimuntahkan lagi untuk direkontruksi.
“Kalau ada orang cerita, pancasila datang tidak dari langit, iya. Prosesnya apa secara metodologis, ini adalah mendialogkan antara yang Qauliyah dan Kauniyah, mendialogkan antara yang modern dengan yang tradisional, antara yang rasional dan spiritual. Inilah proses menuju bangunan pancasila itu,” jelasnya.
Makanya, lanjut dia, ketika ada orang modern tiba-tiba datang dan ingin mengganti sistem ketatanegaraan Indonesia yang murni modern, maka tidak akan konektif dengan pancasila. Demikian juga dengan kaum agamawan yang datang dan ingin menerapkan sistem syariah, khilafah, dan sebagainya. Karena tidak mendialektikan seperti yang dilakukan Bung Karno, pasti akan mengalami problem.
Dialektika-dialektika itu merupakan resources atau sumber daya yang sudah dikembangkan, dieksplorasi, dan ditanamkan oleh Bung karno sekian tahun dan menemukan sintesanya ketika Bung Karno diasingkan di Ende, jauh dari teman-teman seperjuangan dan saat kesepian di pengasingan. Al Zastrouw mengistilahkan itu sebagai kawah Candradimuka dalam rangka mengkontruksi dan mengkonseptualisasikan pancasila pada saat-saat sepi, menyendiri, dan saat dia berdialog dengan hatinya.
“Saya kira, di Ende ini adalah “Goa Hiranya” Bung Karno. Kalau Nabi Muhammad melakukan pengembaraan jadi pedagang, pengembaraan, itu adalah proses dialektikanya beliau dalam membaca ayat Kauniyah, belum dapat ayat Qauliyah saat itu. Sementara Bung Karno sudah mendapatkan dua-duanya. Bung Karno mendapatkan keduanya saat di Ende ini. Sementara, Nabi Muhammad SAW baru mendapatkan ayat Qauliyahnya atau wahyu pertamanya setelah menjalani kontemplasi di Gua Hira. Ende inilah Gua Hira-nya pancasila, kalau boleh saya analogikan,” ucapnya.
Sementara, Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila (PSPP) Syaiful Arif menyebut, Ende adalah kota rahimnya Pancasila. Ende menjadi rahim Pancasila, bukan karena 5 sila itu ditemukan di Ende, tapi di Ende lah Bung Karno Muda mampu meramu 5 sila yang telah beliau susun satu per satu sejak 1918.
Kenapa angka 1918 disebut, lanjut dia, karena di pidato beliaulah angka itu yang disebut, yakni pada pidato 1 Juni. “Soekarno kan di akhir paragraf pidato menyatakan, meskipun kita persiapan kemerdekaan hanya dalam hitungan bulan, yakni Mei sampai Agustus, tetapi sebenarnya, dasar dari negara itu sudah saya siapkan jauh-jauh hari dari 1918,” kata Syaiful Arif menirukan ucapan Bung Karno.
Ini juga dilakukan oleh para calon pemimpin bangsa lain, seperti Adolf Hitler dari Jerman, Vladimir Lenin dari Rusia, Sun Yat Sen dari China, dan sejumlah tokoh besar lainnya. Para pendiri bangsa itu sudah menyusun, membangun dasar-dasar negaranya jauh-jauh hari sebelum pendirian negara itu dilakukan dalam hitungan hari atau bulan.
“Makanya, ketika ada sejarawan mengatakan bahwa seluruh rangkaian sidang BPUPK, terutama sidang BPUPK yang pertama yang memiliki agenda utama perumusan dasar negara, itu merupakan by desain Soekarno, itu masuk akal juga. Pernyataan ini konon katanya ada sumber datanya,” kata mantan Tenaga Ahli Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) tersebut.
Kenyataanya, Soekarno menempatkan diri sebagai pembicara terakhir pada sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan (BPUPK) pada 1 Juni. Pada Pemilihan ketua BPUPK itu, juga atas usulan Bung Karno. Jadi, beliau tidak secara khusus mengajukan diri sebagai ketua sidang, karena beliau ingin bicara secara khusus tentang wahyu yang ditemukan di Rumah Pengasingan Ende.
Faktanya, Ide Bung Karno menjadi satu-satunya yang diterima secara aklamasi oleh peserta sidang BPUPK. Pidato monumental ini pun ditetapkan oleh Ketua BPUPK, Dr Radjiman Widiodiningrat, sebagai bahan baku perumusan dasar negara pada sidang-sidang selanjutnya. “Itu kemudian kenapa pancasila bisa diterima oleh sidang, oleh forum BPUPK, karena keragaman idiologi di sidang BPUPK sudah bisa beliau satukan. Prosesnya sejak tahun 1918, sudah bisa disatukan sejak di Ende,” ungkapnya.
Bung Karno-lah yang mencetuskan ide Pancasila sebagai dasar negara dalam kerangka dasar filsafat (philosophische grondslag) dan pandangan dunia (weltanschauung). Di dalam cetusan ini, Bung Karno tidak hanya menggagas nama Pancasila tetapi juga konsep-konsep sila beserta kandungan intelektualnya.
Syaiful juga menyebutkan proses atau fase-fase penggalian pancasila oleh Bung Karno. Fase pertama, saat perkenalan belau dengan gagasan sosialisme Islam. Pada 1918 merupakan tahun pertama beliau bertemu dengan ideologi politik, yakni saat Bung Karno tinggal di rumah HOS Cokroaminoto, pemimpin politik sekaligus ketua Sarekat Islam.
Fase kedua, pada 1920-1930 ke bandung untuk kuliah dan bertemu dengan nasionalisme modern. Selama kuliah, Bung Karno banyak berinteraksi dengan tiga serangkai, yakni Ki Hajar Dewantara, Tjipto Mangunkusumo dan Dr Douwes Dekker.
Terutama kepada Dr Douwes Dekker, guru nasionalis modern yang menempatkan nasionalisme itu sebagai ideologi yang berkeinginan untuk menyatukan semua ideologi yang ada. Intisari dari nasionalisme adalah kehendak untuk menyatukan semua perbedaan. Baik perbedaan kultural, perbedaan politik, maupun perbedaan ideologi. “Ketika bertemu dengan ideologi nasionalisme inilah, beliau langsung kesengsem dengan ideologi nasionalisme,” jelasnya.
Fase ketiga modern yang lebih condong ke sekuler. Artinya tidak berangkat dari tradisi Islam. Pada fase itu, Bung Karno berusaha menyatukan 3 ideologi besar di Indonesia saat itu, yakni sosialisme, nasionalisme, dan marxisme. Bung Karno mampu mencarikan titik temu dari 3 ideologi yang saling berseteru. Jadi pertikaian 3 ideologi besar inilah yang menjadi latar pemikiran Bung Karno unk meramu titik temu.
Saat Bung Karno di Yogyakarta, kata Syaiful, beliau sudah menemukan 4 sila, yakni Kebangsaan, kemanusiaan, demokrasi, dan kesejahteraan. Kemudian, saat Bung Karno dibuang ke Ende, jauh dari teman-temannya pejuang kemerdekaan, para loyalisnya dan hiruk-pikuk pergerakan politik, Bung Karno lebih banyak menghabiskan waktunya untuk merenung.
Dengan demikian, buah pemikiran Soekarno tentang Pancasila tidak muncul tiba-tiba. Pancasila hadir sebagai hasil dari proses perenungan diri Bung Karno, kontemplasi dan refleksinya secara mendalam selama hidup di Ende. Jadi aktivismenya berhenti sejenak, Munculah aktivitas spiritualitas.
Disinilah nili ketuhanan muncul kembali. “Jadi tanpa Ende, tanpa penemuan lagi Bung Karno atas ketuhanan, tidak ada pancasila. Setelah itu jadilah pancasila dengan 5 silanya.
(mpw)