SatuPena Luncurkan Link Pembelian 100 Buku yang Mewarnai Sejarah dan Budaya Indonesia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Menjelang Peringatan Hari Pahlawan 10 November 2021, Perkumpulan Penulis Indonesia SatuPena meluncurkan link atau tautan untuk membeli 100 buku yang mewarnai sejarah dan budaya Indonesia sejak era kolonial hingga era saat ini.
100 buku fiksi dan non-fiksi tersebut sebelumnya dipilih melalui kriteria, survei dan penilaian para ahli pada akhir 2021 lalu.
Di antara 100 buku yang dipilih tersebut terdapat buku "Di bawah Bendera Revolusi" (1959) karya Bung Karno, "Renungan Indonesia" (1947) karya Sutan Sjahrir, dan "Demokrasi Kita" (1963) karya Bung Hatta.
Selain itu, ada juga buku "Habis Gelap Terbitlah Terang" (1922) karya RA Kartini, "Siti Nurbaya" (1922) karya Marah Roesli, "Layar Terkembang" (1936) karya Sutan Takdir Alisjahbana, "Azab dan Sengsara" (1920) karya Merari Siregar dan "Perburuan" (1950) karya Pramoedya Ananta Toer.
“Itulah contoh buku fiksi dan non fiksi yang memengaruhi batin, sejarah dan budaya Indonesia," kata Ketua Umum Satupena Denny JA dalam keterangan tertulisnya, Selasa (8/11/2022).
Dia menjelaskan bahwa bangsa yang besar dilahirkan oleh buku-buku besar. Bangsa yang besar juga melahirkan buku-buku besar.
"Tapi bagaimanakah cara mengakses dan membaca kembali buku-buku itu? Bagaimana cara kita dapat membaca kembali, misalnya, buku karya Bung Karno 'Di bawah Revolusi?' Atau buku Takdir Alisjahbana, 'Layar Terkembang?'," sambungnya.
Karena itulah, Satupena berinisiatif untuk menerbitkan kembali 100 buku yang mewarnai sejarah dan budaya Indonesia sejak era kolonial hingga era saat ini.
100 buku fiksi dan non-fiksi tersebut sebelumnya dipilih melalui kriteria, survei dan penilaian para ahli pada akhir 2021 lalu.
Di antara 100 buku yang dipilih tersebut terdapat buku "Di bawah Bendera Revolusi" (1959) karya Bung Karno, "Renungan Indonesia" (1947) karya Sutan Sjahrir, dan "Demokrasi Kita" (1963) karya Bung Hatta.
Selain itu, ada juga buku "Habis Gelap Terbitlah Terang" (1922) karya RA Kartini, "Siti Nurbaya" (1922) karya Marah Roesli, "Layar Terkembang" (1936) karya Sutan Takdir Alisjahbana, "Azab dan Sengsara" (1920) karya Merari Siregar dan "Perburuan" (1950) karya Pramoedya Ananta Toer.
“Itulah contoh buku fiksi dan non fiksi yang memengaruhi batin, sejarah dan budaya Indonesia," kata Ketua Umum Satupena Denny JA dalam keterangan tertulisnya, Selasa (8/11/2022).
Dia menjelaskan bahwa bangsa yang besar dilahirkan oleh buku-buku besar. Bangsa yang besar juga melahirkan buku-buku besar.
"Tapi bagaimanakah cara mengakses dan membaca kembali buku-buku itu? Bagaimana cara kita dapat membaca kembali, misalnya, buku karya Bung Karno 'Di bawah Revolusi?' Atau buku Takdir Alisjahbana, 'Layar Terkembang?'," sambungnya.
Karena itulah, Satupena berinisiatif untuk menerbitkan kembali 100 buku yang mewarnai sejarah dan budaya Indonesia sejak era kolonial hingga era saat ini.