Pakar dari UI, ITB, USU, dan Uhamka Respons Polemik Pelabelan Bisfenol A

Jum'at, 02 Desember 2022 - 18:32 WIB
loading...
A A A
Dia yakin dalam memproduksi AMDK galon guna ulang, industrinyajuga dilengkapi dengan protokol yang sangat ketat dan sudah melewati tahapan yang sesuai peraturan. “Jadi, saya kira sekarang tinggal pengawasannya terhadap kesehatan, apakah itu betul-betul berbasis evidence atau tidak,” ucapnya.

Menurutnya, wacana kebijakan BPOM yang akan melabeli “berpotensi mengandung BPA” terhadap galon guna ulang bukan opsi yang bijaksana. “Kita menginginkan kebijakan yang antisipatif, tetapi pelabelan bukan opsi bijaksana,” tandasnya.

Pakar Polimer dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Ir. Akhmad Zainal Abidin, M.Sc., Ph.D., menegaskan bahwa BPA itu memang dibuat untuk bahan baku polikarbonat dan aman digunakan untuk kemasan air minum dalam kemasan (AMDK). Penggunaan juga sangat kecil, sebagai bahan campuran dan harus mengikuti ambang batas yang telah diatur oleh BPOM.

“Jadi, sifatnya BPA ada di sana itu sebagai sisa dari bahan baku yang belum bereaksi menjadi polikarbonat. Yang sisa ini juga jumlahnya tidak banyak, apalagi selama proses itu dilakukan juga pembersihan BPA. Misalnya dengan teknik steaming, biji plastiknya di-steam terlebih dahulu, sehingga nanti BPA yang tersisa dalam polikarbonat itu bisa hilang atau berkurang sehingga jadi food grade,” tuturnya.

Karenanya, dia menilai bahwa pelabelan BPA terhadap galon guna ulang polikarbonat itu terlalu berlebihan. “Kalau mau dilabeli semua, mungkin dirasa lebih fair, tapi kalau hanya satu yang dilabeli dan lainnya tidak, ya nggak fair. Apalagi melabeli bahan yang tidak menggunakan BPA dengan label Free BPA,sedangkan etilen glikolnya tidak dilabeli. Permasalahan-permasalahan seperti ini dari kacamata ilmu pengetahuan ya ganjil, lucu. Melabeli sesuatu label yang tidak sepantasnya dilabeli” tambahnya.

Menurutnya, AMDK galon guna ulang juga sudah dipakai selama puluhan tahun dan tidak ada laporan masyarakat ada yang sakit atau meninggal karena mengkonsumsinya. “Mengapa begitu? Karena memang dari tes-tes yang kami tahu, BPA yang ada di dalam air akibat menggunakan polikarbonat itu rendah dan masih jauh dari batas aman BPOM. Jadi, wajar kalau memang tidak ada problem yang muncul seperti kematian atau orang sakit karena galon polikarbonat,” tukasnya.

Pola lama dengan hanya menempelkan logo BPOM saja itu, menurut Zainal sudah cukup karena berarti kemasan pangan tersebut sudah memenuhi seluruh persyaratan BPOM. “Ini jauh lebih bagus ketimbang harus menambahi lagi pelabelan BPA yang hanya memunculkan masalah baru di masyarakat,” ujarnya.

Pandangan serupa juga disampaikan Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) yang juga Pengamat Persaingan Usaha saat menyampaikan paparannya.

Dia menyayangkan jika consumer welfare atau kesejahteraan konsumen yang didengung-dengungkan sebagai tujuan dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Persaingan Usaha yang sudah dinikmati masyarakat selama ini, tiba-tiba saja menjadi rusuh hanya karena satu pendekatan yang limbung dan grey area dan tidak didukung scientific evidence based seperti wacana kebijakan pelabelan BPA galon guna ulang.

“Kok bisa ya enak saja. Terlebih tadi di tengah beban resesi. Jangan ditambah lagi lah. Kayaknya itu tidak prioritas. Saya harap BPOM lebih memperhatikan regulatory impact assessment ketika mendengungkan suatu statement atau regulasi barunya,” katanya.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1790 seconds (0.1#10.140)