Napak Tilas Sejarah Bung Karno Merenungkan Pancasila di Pengasingan Ende
Senin, 30 November 2020 - 12:05 WIB
ENDE - Sejarah lahirnya Pancasila pada 1 Juni 1945, tak bisa dilepaskan dari gagasan dan perenungan panjang Bung Karno Muda saat diasingkan di Kota Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 1934-1938. Di kota seribu nyiur melambai inilah, Bung Karno merenungkan dan mengabstraksikan pikiran-pikiran yang telah diperjuangkannya hingga melahirkan rumusan sila-sila Pancasila dan butir-butirnya.
Hal tersebut diungkapkan Akademisi, sekaligus Budayawan dari Universitas Indonesia (UI) Ngatawi Al Zastrouw, saat menjadi pembicara dalam diskusi “Pembudayaan Pancasila di Sumba-Ende, NTT” yang digelar Direktorat Pembudayaan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), di Rumah Pengasingan Bung Karno, Ende, Flores, NTT, Senin (23/11/2020). Narasumber lain, Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila (PSPP) Syaiful Arif.
Selain kedua narasumber, Turut hadir Direktur Pembudayaan BPIP Irene Camelyn Sinaga, Budayawan Taufik Rahzen, Akademisi jebolan Al Azhar Mukti Ali Qusyairi, serta perwakilan guru sejarah sejumlah daerah yang tergabung dalam Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI). (Baca juga: BPIP Gandeng Komunitas Adat Sumba untuk Wujudkan Pembudayaan Pancasila )
Dalam paparanya, Ngatawi Al Zastrouw mengungkapkan, pancasila adalah prodak dari rasionalitas dan spiritualitas yang dikonstruksikan, direnungkan, dan disistematisasikan melalui perenungan-perenungan panjang Bung Karno baik sebelum maupun saat menjalani masa pengasingan di ‘Rumah Pengasingan Ende’.
Namun, untuk sampai pada tahap itu, Al Zastrouw mengajak audiens untuk flashback atau kilas balik pada tahun 1915, ketika Bung Karno Muda bersekolah di Surabaya, di Hogere Burger School (HBS), setingkat SLTA. Saat mengenyam pendidikan, Bung Karno Muda satu angkatan dengan sejumlah tokoh di antaranya, Semaoen, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, Alimin, Musso, dan Tan Malaka. Saat itu, Bung Karno tinggal di rumah HOS Cokroaminoto, pemimpin politik sekaligus ketua Sarekat Islam. (Baca juga: BPIP: Penyelenggara Negara Wajib Tanamkan Nilai Pancasila lewat Keadilan Sosial )
Selama tinggal di rumah HOS Cokroaminoto, Bung Karno banyak bertemu dengan para tokoh Sarekat Islam dan banyak terlibat diskusi. Dari sinilah rasa nasionalismenya tumbuh dan terus menggelora. Di saat itulah, Bung Karno melakukan pergulatan-pergulatan, tidak hanya pemikiran tapi juga spiritual. “Ini adalah proses internalisasi nilai pada fase awal saat Bung Karno tinggal dan belajar pada HOS Cokroaminoto, yang kemudian mengubah seluruh jalan hidupnya,” kata Ngatawi Al Zastrouw.
Selanjutnya, pada 1920, Bung Karno menjadi mahasiswa di Technische Hoge School (Institut Teknologi Bandung) di Bandung dan mengambil jurusan teknik sipil. Saat itu, Sang Putra Fajar ini sudah melakukan eksplorasi, menjelajah dan bertemu dengan banyak tokoh politik, masyarakat, dan para ulama berpengaruh di Bandung.
Apalagi, saat kuliah di Bandung, Soekarno tinggal di kediaman Haji Sanusi yang merupakan anggota Sarekat Islam dan sahabat karib HOS Cokroaminoto. Melalui Haji Sanusi, Bung Karno Muda berinteraksi dengan Ki Hajar Dewantara, Tjipto Mangunkusumo dan Dr Douwes Dekker, yang saat itu merupakan pemimpin organisasi National Indische Partij. (Baca juga: Peringati Hari Pahlawan, BPIP Gencarkan Pembudayaan Idelogi Pancasila )
“Saat jadi mahasiswa itulah, Bung Karno banyak membaca buku, teks, manuskrip, Alquran, hadis, dan lain-lain. Ini bentuk dari ayat Qauliyah. Selain Qauliyah, dia juga mengaktualisasikan ayat Kauniyah, berkeliling bertemu dengan banyak tokoh, bertemu masyarakat, ulama. Jadi pancasila tidak mungkin bisa dihidupkan kembali jika tidak melihat rute ini dan metode ini,” katanya.
Hal tersebut diungkapkan Akademisi, sekaligus Budayawan dari Universitas Indonesia (UI) Ngatawi Al Zastrouw, saat menjadi pembicara dalam diskusi “Pembudayaan Pancasila di Sumba-Ende, NTT” yang digelar Direktorat Pembudayaan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), di Rumah Pengasingan Bung Karno, Ende, Flores, NTT, Senin (23/11/2020). Narasumber lain, Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila (PSPP) Syaiful Arif.
Selain kedua narasumber, Turut hadir Direktur Pembudayaan BPIP Irene Camelyn Sinaga, Budayawan Taufik Rahzen, Akademisi jebolan Al Azhar Mukti Ali Qusyairi, serta perwakilan guru sejarah sejumlah daerah yang tergabung dalam Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI). (Baca juga: BPIP Gandeng Komunitas Adat Sumba untuk Wujudkan Pembudayaan Pancasila )
Dalam paparanya, Ngatawi Al Zastrouw mengungkapkan, pancasila adalah prodak dari rasionalitas dan spiritualitas yang dikonstruksikan, direnungkan, dan disistematisasikan melalui perenungan-perenungan panjang Bung Karno baik sebelum maupun saat menjalani masa pengasingan di ‘Rumah Pengasingan Ende’.
Namun, untuk sampai pada tahap itu, Al Zastrouw mengajak audiens untuk flashback atau kilas balik pada tahun 1915, ketika Bung Karno Muda bersekolah di Surabaya, di Hogere Burger School (HBS), setingkat SLTA. Saat mengenyam pendidikan, Bung Karno Muda satu angkatan dengan sejumlah tokoh di antaranya, Semaoen, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, Alimin, Musso, dan Tan Malaka. Saat itu, Bung Karno tinggal di rumah HOS Cokroaminoto, pemimpin politik sekaligus ketua Sarekat Islam. (Baca juga: BPIP: Penyelenggara Negara Wajib Tanamkan Nilai Pancasila lewat Keadilan Sosial )
Selama tinggal di rumah HOS Cokroaminoto, Bung Karno banyak bertemu dengan para tokoh Sarekat Islam dan banyak terlibat diskusi. Dari sinilah rasa nasionalismenya tumbuh dan terus menggelora. Di saat itulah, Bung Karno melakukan pergulatan-pergulatan, tidak hanya pemikiran tapi juga spiritual. “Ini adalah proses internalisasi nilai pada fase awal saat Bung Karno tinggal dan belajar pada HOS Cokroaminoto, yang kemudian mengubah seluruh jalan hidupnya,” kata Ngatawi Al Zastrouw.
Selanjutnya, pada 1920, Bung Karno menjadi mahasiswa di Technische Hoge School (Institut Teknologi Bandung) di Bandung dan mengambil jurusan teknik sipil. Saat itu, Sang Putra Fajar ini sudah melakukan eksplorasi, menjelajah dan bertemu dengan banyak tokoh politik, masyarakat, dan para ulama berpengaruh di Bandung.
Apalagi, saat kuliah di Bandung, Soekarno tinggal di kediaman Haji Sanusi yang merupakan anggota Sarekat Islam dan sahabat karib HOS Cokroaminoto. Melalui Haji Sanusi, Bung Karno Muda berinteraksi dengan Ki Hajar Dewantara, Tjipto Mangunkusumo dan Dr Douwes Dekker, yang saat itu merupakan pemimpin organisasi National Indische Partij. (Baca juga: Peringati Hari Pahlawan, BPIP Gencarkan Pembudayaan Idelogi Pancasila )
“Saat jadi mahasiswa itulah, Bung Karno banyak membaca buku, teks, manuskrip, Alquran, hadis, dan lain-lain. Ini bentuk dari ayat Qauliyah. Selain Qauliyah, dia juga mengaktualisasikan ayat Kauniyah, berkeliling bertemu dengan banyak tokoh, bertemu masyarakat, ulama. Jadi pancasila tidak mungkin bisa dihidupkan kembali jika tidak melihat rute ini dan metode ini,” katanya.
Lihat Juga :
tulis komentar anda