Napak Tilas Sejarah Bung Karno Merenungkan Pancasila di Pengasingan Ende
Senin, 30 November 2020 - 12:05 WIB
Faktanya, Ide Bung Karno menjadi satu-satunya yang diterima secara aklamasi oleh peserta sidang BPUPK. Pidato monumental ini pun ditetapkan oleh Ketua BPUPK, Dr Radjiman Widiodiningrat, sebagai bahan baku perumusan dasar negara pada sidang-sidang selanjutnya. “Itu kemudian kenapa pancasila bisa diterima oleh sidang, oleh forum BPUPK, karena keragaman idiologi di sidang BPUPK sudah bisa beliau satukan. Prosesnya sejak tahun 1918, sudah bisa disatukan sejak di Ende,” ungkapnya.
Bung Karno-lah yang mencetuskan ide Pancasila sebagai dasar negara dalam kerangka dasar filsafat (philosophische grondslag) dan pandangan dunia (weltanschauung). Di dalam cetusan ini, Bung Karno tidak hanya menggagas nama Pancasila tetapi juga konsep-konsep sila beserta kandungan intelektualnya.
Syaiful juga menyebutkan proses atau fase-fase penggalian pancasila oleh Bung Karno. Fase pertama, saat perkenalan belau dengan gagasan sosialisme Islam. Pada 1918 merupakan tahun pertama beliau bertemu dengan ideologi politik, yakni saat Bung Karno tinggal di rumah HOS Cokroaminoto, pemimpin politik sekaligus ketua Sarekat Islam.
Fase kedua, pada 1920-1930 ke bandung untuk kuliah dan bertemu dengan nasionalisme modern. Selama kuliah, Bung Karno banyak berinteraksi dengan tiga serangkai, yakni Ki Hajar Dewantara, Tjipto Mangunkusumo dan Dr Douwes Dekker.
Terutama kepada Dr Douwes Dekker, guru nasionalis modern yang menempatkan nasionalisme itu sebagai ideologi yang berkeinginan untuk menyatukan semua ideologi yang ada. Intisari dari nasionalisme adalah kehendak untuk menyatukan semua perbedaan. Baik perbedaan kultural, perbedaan politik, maupun perbedaan ideologi. “Ketika bertemu dengan ideologi nasionalisme inilah, beliau langsung kesengsem dengan ideologi nasionalisme,” jelasnya.
Fase ketiga modern yang lebih condong ke sekuler. Artinya tidak berangkat dari tradisi Islam. Pada fase itu, Bung Karno berusaha menyatukan 3 ideologi besar di Indonesia saat itu, yakni sosialisme, nasionalisme, dan marxisme. Bung Karno mampu mencarikan titik temu dari 3 ideologi yang saling berseteru. Jadi pertikaian 3 ideologi besar inilah yang menjadi latar pemikiran Bung Karno unk meramu titik temu.
Saat Bung Karno di Yogyakarta, kata Syaiful, beliau sudah menemukan 4 sila, yakni Kebangsaan, kemanusiaan, demokrasi, dan kesejahteraan. Kemudian, saat Bung Karno dibuang ke Ende, jauh dari teman-temannya pejuang kemerdekaan, para loyalisnya dan hiruk-pikuk pergerakan politik, Bung Karno lebih banyak menghabiskan waktunya untuk merenung.
Dengan demikian, buah pemikiran Soekarno tentang Pancasila tidak muncul tiba-tiba. Pancasila hadir sebagai hasil dari proses perenungan diri Bung Karno, kontemplasi dan refleksinya secara mendalam selama hidup di Ende. Jadi aktivismenya berhenti sejenak, Munculah aktivitas spiritualitas.
Disinilah nili ketuhanan muncul kembali. “Jadi tanpa Ende, tanpa penemuan lagi Bung Karno atas ketuhanan, tidak ada pancasila. Setelah itu jadilah pancasila dengan 5 silanya.
Bung Karno-lah yang mencetuskan ide Pancasila sebagai dasar negara dalam kerangka dasar filsafat (philosophische grondslag) dan pandangan dunia (weltanschauung). Di dalam cetusan ini, Bung Karno tidak hanya menggagas nama Pancasila tetapi juga konsep-konsep sila beserta kandungan intelektualnya.
Syaiful juga menyebutkan proses atau fase-fase penggalian pancasila oleh Bung Karno. Fase pertama, saat perkenalan belau dengan gagasan sosialisme Islam. Pada 1918 merupakan tahun pertama beliau bertemu dengan ideologi politik, yakni saat Bung Karno tinggal di rumah HOS Cokroaminoto, pemimpin politik sekaligus ketua Sarekat Islam.
Fase kedua, pada 1920-1930 ke bandung untuk kuliah dan bertemu dengan nasionalisme modern. Selama kuliah, Bung Karno banyak berinteraksi dengan tiga serangkai, yakni Ki Hajar Dewantara, Tjipto Mangunkusumo dan Dr Douwes Dekker.
Terutama kepada Dr Douwes Dekker, guru nasionalis modern yang menempatkan nasionalisme itu sebagai ideologi yang berkeinginan untuk menyatukan semua ideologi yang ada. Intisari dari nasionalisme adalah kehendak untuk menyatukan semua perbedaan. Baik perbedaan kultural, perbedaan politik, maupun perbedaan ideologi. “Ketika bertemu dengan ideologi nasionalisme inilah, beliau langsung kesengsem dengan ideologi nasionalisme,” jelasnya.
Fase ketiga modern yang lebih condong ke sekuler. Artinya tidak berangkat dari tradisi Islam. Pada fase itu, Bung Karno berusaha menyatukan 3 ideologi besar di Indonesia saat itu, yakni sosialisme, nasionalisme, dan marxisme. Bung Karno mampu mencarikan titik temu dari 3 ideologi yang saling berseteru. Jadi pertikaian 3 ideologi besar inilah yang menjadi latar pemikiran Bung Karno unk meramu titik temu.
Saat Bung Karno di Yogyakarta, kata Syaiful, beliau sudah menemukan 4 sila, yakni Kebangsaan, kemanusiaan, demokrasi, dan kesejahteraan. Kemudian, saat Bung Karno dibuang ke Ende, jauh dari teman-temannya pejuang kemerdekaan, para loyalisnya dan hiruk-pikuk pergerakan politik, Bung Karno lebih banyak menghabiskan waktunya untuk merenung.
Dengan demikian, buah pemikiran Soekarno tentang Pancasila tidak muncul tiba-tiba. Pancasila hadir sebagai hasil dari proses perenungan diri Bung Karno, kontemplasi dan refleksinya secara mendalam selama hidup di Ende. Jadi aktivismenya berhenti sejenak, Munculah aktivitas spiritualitas.
Disinilah nili ketuhanan muncul kembali. “Jadi tanpa Ende, tanpa penemuan lagi Bung Karno atas ketuhanan, tidak ada pancasila. Setelah itu jadilah pancasila dengan 5 silanya.
(mpw)
tulis komentar anda