2 Rekomendasi UI untuk Tingkatkan Kepatuhan Protokol Kesehatan COVID-19
loading...
A
A
A
JAKARTA - Para peneliti dan akademisi Universitas Indonesia (UI) yang tergabung dalam Tim Sinergi Mahadata Tanggap COVID-19 UI, di bawah koordinasi Direktorat Inovasi dan Science Techno Park (DISTP) UI dan Indonesian Medical Education and Research Institute (IMERI) Fakultas Kedokteran UI menyampaikan dua rekomendasi kebijakan prioritas bagi pemerintah untuk meningkatkan kepatuhan terhadap protokol kesehatan dan mencegah stigma.
Kajian tersebut dilakukan karena belum adanya upaya khusus dalam bentuk program, rencana aksi, maupun panduan bertingkah laku yang diinvestasikan untuk meningkatkan kapasitas mental terutama perilaku demi tercapainya tingkat kepatuhan terhadap protokol kesehatan yang lebih baik dan mereduksi stigma yang terjadi di masyarakat. (Baca juga: Teknologi Digital Dorong Kolaborasi Antar Perguruan Tinggi Dunia )
Tim perumus kebijakan merupakan akademisi lintas fakultas di UI. Pada Fakultas Psikologi UI diwakili oleh Dr. Bagus Takwin, M.Hum.; Dicky C. Pelupessy, Ph.D.; dan Laras Sekarasih, Ph.D. Dari Fakultas Kedokteran UI adalah dr. Gina Anindyajati, SpKJ; Dr.dr Hervita Diatri, SpKJ(K); Damar P Susilaradeya, Ph.D; dan dr. Diashati Mardiasmo, BMedSc, MRes.
Rekomendasi pertama dari kedua kebijakan tersebut adalah meningkatkan komunikasi risiko yang lebih efektif dan ramah terhadap keragaman masyarakat demi peningkatan kesadaran kritis masyarakat melalui pelibatan pemimpin di berbagai tataran.
Kedua, meningkatkan kampanye dan edukasi berbasis komunitas yang mengedepankan kearifan lokal dan memperkuat kapasitas tenaga kesehatan untuk melakukan edukasi melalui testimoni kisah dan pengalaman sejawat di garda terdepan sebagai penyintas (survivor) COVID-19. (Baca juga: Menristek: Pentingnya Kolaborasi Riset Ekonomi Berbasis Inovasi Teknologi )
Laras Sekarasih menuturkan, “Kepatuhan terhadap protokol kesehatan yaitu mengenakan masker, mencuci tangan, menggunakan pembersih tangan, menjaga jarak fisik, dan tinggal di rumah menjadi kunci untuk mencegah memburuknya situasi pandemi. Namun demikian, secara faktual tampak banyak anggota masyarakat yang mengabaikan protokol kesehatan, terlebih lagi saat upaya pembatasan mulai dilonggarkan dan adaptasi kebiasaan baru semakin dikampanyekan,” katanya melalui siaran pers, Jumat (28/8).
Sementara, Bagus Takwin menyebutkan, terdapat indikasi kuat bahwa faktor psikologis sangat berperan. Seperti rendahnya persepsi risiko, bias optimisme, bias kenormalan, sehingga menimbulkan kecenderungan mengabaikan informasi terkait COVID-19.
"Keadaan tersebut tentu saja perlu diwaspadai dan direspons secara memadai oleh pemerintah, tenaga kesehatan, dan non-kesehatan, serta pemangku kepentingan lainnya,” katanya. (Baca juga: Gandeng PTN, Kemendikbud Dukung Pengembangan SDM Infrastruktur )
Lebih lanjut, Dicky C. Pelupessy mengutarakan, masalah lain yang perlu mendapat perhatian dan penanganan secara sungguh-sungguh adalah stigma terhadap tenaga kesehatan, pasien COVID-19, dan keluarga atau orang dekat mereka. Peristiwa pengucilan, penolakan, dan pengusiran terhadap mereka menunjukkan seriusnya masalah stigma di masyarakat.
Dia menjelaskan, dampak stigma selain peningkatan masalah kesehatan jiwa di antaranya stres, kecemasan, dan bahkan ketakutan, dapat pula mengakibatkan situasi belajar sosial yang kontra-produktif seperti penolakan upaya deteksi dini dan perawatan karena khawatir dirinya atau keluarganya akan menjadi sasaran stigma dari lingkungannya.
Kajian tersebut dilakukan karena belum adanya upaya khusus dalam bentuk program, rencana aksi, maupun panduan bertingkah laku yang diinvestasikan untuk meningkatkan kapasitas mental terutama perilaku demi tercapainya tingkat kepatuhan terhadap protokol kesehatan yang lebih baik dan mereduksi stigma yang terjadi di masyarakat. (Baca juga: Teknologi Digital Dorong Kolaborasi Antar Perguruan Tinggi Dunia )
Tim perumus kebijakan merupakan akademisi lintas fakultas di UI. Pada Fakultas Psikologi UI diwakili oleh Dr. Bagus Takwin, M.Hum.; Dicky C. Pelupessy, Ph.D.; dan Laras Sekarasih, Ph.D. Dari Fakultas Kedokteran UI adalah dr. Gina Anindyajati, SpKJ; Dr.dr Hervita Diatri, SpKJ(K); Damar P Susilaradeya, Ph.D; dan dr. Diashati Mardiasmo, BMedSc, MRes.
Rekomendasi pertama dari kedua kebijakan tersebut adalah meningkatkan komunikasi risiko yang lebih efektif dan ramah terhadap keragaman masyarakat demi peningkatan kesadaran kritis masyarakat melalui pelibatan pemimpin di berbagai tataran.
Kedua, meningkatkan kampanye dan edukasi berbasis komunitas yang mengedepankan kearifan lokal dan memperkuat kapasitas tenaga kesehatan untuk melakukan edukasi melalui testimoni kisah dan pengalaman sejawat di garda terdepan sebagai penyintas (survivor) COVID-19. (Baca juga: Menristek: Pentingnya Kolaborasi Riset Ekonomi Berbasis Inovasi Teknologi )
Laras Sekarasih menuturkan, “Kepatuhan terhadap protokol kesehatan yaitu mengenakan masker, mencuci tangan, menggunakan pembersih tangan, menjaga jarak fisik, dan tinggal di rumah menjadi kunci untuk mencegah memburuknya situasi pandemi. Namun demikian, secara faktual tampak banyak anggota masyarakat yang mengabaikan protokol kesehatan, terlebih lagi saat upaya pembatasan mulai dilonggarkan dan adaptasi kebiasaan baru semakin dikampanyekan,” katanya melalui siaran pers, Jumat (28/8).
Sementara, Bagus Takwin menyebutkan, terdapat indikasi kuat bahwa faktor psikologis sangat berperan. Seperti rendahnya persepsi risiko, bias optimisme, bias kenormalan, sehingga menimbulkan kecenderungan mengabaikan informasi terkait COVID-19.
"Keadaan tersebut tentu saja perlu diwaspadai dan direspons secara memadai oleh pemerintah, tenaga kesehatan, dan non-kesehatan, serta pemangku kepentingan lainnya,” katanya. (Baca juga: Gandeng PTN, Kemendikbud Dukung Pengembangan SDM Infrastruktur )
Lebih lanjut, Dicky C. Pelupessy mengutarakan, masalah lain yang perlu mendapat perhatian dan penanganan secara sungguh-sungguh adalah stigma terhadap tenaga kesehatan, pasien COVID-19, dan keluarga atau orang dekat mereka. Peristiwa pengucilan, penolakan, dan pengusiran terhadap mereka menunjukkan seriusnya masalah stigma di masyarakat.
Dia menjelaskan, dampak stigma selain peningkatan masalah kesehatan jiwa di antaranya stres, kecemasan, dan bahkan ketakutan, dapat pula mengakibatkan situasi belajar sosial yang kontra-produktif seperti penolakan upaya deteksi dini dan perawatan karena khawatir dirinya atau keluarganya akan menjadi sasaran stigma dari lingkungannya.
(mpw)