7 Contoh Teks Anekdot Politik, Sindiran Tajam dengan Unsur Humor
loading...
A
A
A
Pesan di dalamnya : Teks anekdot ini dengan humor menyindir kebijakan politik yang tidak sensitif terhadap kebutuhan rakyat, terutama mengenai UU yang baru disahkan yang dianggap akan melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dua orang kader parpol sebut saja namanya Temon dan Timin sama-sama bermaksud mencalonkan dirinya sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Setelah menyerahkan berkas pencalonannya sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di Komisi Pemilihan Umum (KPU) setempat, Arya dan Abdillah memutuskan untuk sejenak duduk di kantin gedung KPU. Mereka berdua, yang sudah lama bersahabat, mulai mengobrol sambil menyeruput kopi hangat.
Temon : “Di, kamu sadar nggak sih? Banyak banget politisi di negeri ini yang udah kaya raya, ya?”
Timin : “Wah, kalau itu sih aku juga udah tahu, Ya. Mereka memang udah sukses secara materi.”
Temon : “Yang aku maksud bukan cuma kaya, tapi saking kayanya mereka bisa punya baju termahal di Indonesia loh.”
Timin : “Baju termahal? Maksudmu baju apa tuh?”
Temon : “Ya, apalagi kalau bukan baju tahanan KPK!” (Sambil tersenyum satir)
Timin : “Hah? Baju tahanan KPK? Kok bisa?”
Temon : “Iyalah, coba deh kamu pikir, seorang politisi harus minimal mencuri uang negara sebesar Rpsatu miliar dulu, baru deh bisa pakai baju itu. Kayaknya itu baju paling mahal yang bisa mereka dapatkan setelah berjuang keras korupsi!”
Timin : “Ohhh, sekarang aku ngerti! Kamu ngomongin baju tahanan KPK yang mereka kenakan setelah ditangkap karena kasus korupsi, ya?”
Mereka berdua kemudian tertawa sambil memesan kopi lagi. Sambil sesekali melihat rekan-rekan mereka yang juga berpotensi menjadi politisi, mereka berdua mengenang teman-teman mereka yang sudah terlanjur mengenakan baju tahanan KPK—baju yang, meskipun terbuat dari bahan biasa, dianggap sebagai simbol “keberhasilan” mereka di dunia politik.
4. Anekdot Tentang Politisi dan Baju Tahanan KPK
Dua orang kader parpol sebut saja namanya Temon dan Timin sama-sama bermaksud mencalonkan dirinya sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Setelah menyerahkan berkas pencalonannya sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di Komisi Pemilihan Umum (KPU) setempat, Arya dan Abdillah memutuskan untuk sejenak duduk di kantin gedung KPU. Mereka berdua, yang sudah lama bersahabat, mulai mengobrol sambil menyeruput kopi hangat.
Temon : “Di, kamu sadar nggak sih? Banyak banget politisi di negeri ini yang udah kaya raya, ya?”
Timin : “Wah, kalau itu sih aku juga udah tahu, Ya. Mereka memang udah sukses secara materi.”
Temon : “Yang aku maksud bukan cuma kaya, tapi saking kayanya mereka bisa punya baju termahal di Indonesia loh.”
Timin : “Baju termahal? Maksudmu baju apa tuh?”
Temon : “Ya, apalagi kalau bukan baju tahanan KPK!” (Sambil tersenyum satir)
Timin : “Hah? Baju tahanan KPK? Kok bisa?”
Temon : “Iyalah, coba deh kamu pikir, seorang politisi harus minimal mencuri uang negara sebesar Rpsatu miliar dulu, baru deh bisa pakai baju itu. Kayaknya itu baju paling mahal yang bisa mereka dapatkan setelah berjuang keras korupsi!”
Timin : “Ohhh, sekarang aku ngerti! Kamu ngomongin baju tahanan KPK yang mereka kenakan setelah ditangkap karena kasus korupsi, ya?”
Mereka berdua kemudian tertawa sambil memesan kopi lagi. Sambil sesekali melihat rekan-rekan mereka yang juga berpotensi menjadi politisi, mereka berdua mengenang teman-teman mereka yang sudah terlanjur mengenakan baju tahanan KPK—baju yang, meskipun terbuat dari bahan biasa, dianggap sebagai simbol “keberhasilan” mereka di dunia politik.