Program Pendidikan hanya Berganti Nama, Ini Kritik Buat Mendikbud
loading...
A
A
A
JAKARTA - Program pendidikan Indonesia sering berganti-ganti seiring dengan pergantian pejabat. Pengamat pendidikan Indra Charismiadji mengungkapkan ada program yang hanya berganti nama saja, tetapi anggarannya bertambah.
Sebuah organisasi riset pendidikan asal Inggris, Centre for Education Economics, dalam Annual Research Digest 2017-2018, membuat kajian tentang sistem pendidikan Indonesia. Judul kajiannya: 15 years of education in Indonesia: rising enrolment and flat learning profiles. (Baca juga: Dunia Pendidikan Indonesia Belum Memiliki Peta Jalan yang Jelas )
Indra memaparkan kajian itu menyebut selama 15 tahun tidak ada perkembangan dalam mutu pendidikan Indonesia. Hal itu disebabkan karena sikap komplasen bangsa Indonesia terhadap dunia pendidikan.
“Semua orang menganggap baik-baik saja. Padahal, jika kita melihat hasil PISA, kondisi Indonesia berada pada posisi yang sangat memprihatinkan,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Selasa (20/10/2020).
Dia menerangkan program-program pemerintah dikatakan cenderung tidak berubah alias itu-itu saja. Namun, anggarannya terus bertambah. Istilahnya, business as usual with more money atau kegiatan yang sama dengan anggaran yang lebih banyak. (Baca juga: Perhimpunan Pendidikan Meminta Asesmen Nasional pada 2021 Ditunda )
Setahun terakhir, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengusung beberapa program, seperti sekolah penggerak, guru penggerak, organisasi penggerak, penghapusan ujian nasional (UN), dan penyederhanaan kurikulum.
Pada periode sebelumnya, ada program guru inti, guru pembelajar, pengembangan keprofesian berkelanjutan untuk guru. Selain itu, ada program sekolah inti dan rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI).
Kemudian, kurikulum berganti bersamaan dengan pergantian Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud). Ada beberapa kurikulum yang silih berganti, seperti berbasis kompetensi, tingkat satuan pendidikan, kurikulum 2013, revisi kurikulum 2013, dan penyederhanaan kurikulum. (Baca juga: Asah Kemampuan Siswa, Kemendikbud Kembali Gelar 2 Kompetisi Debat untuk SMA )
Mendikbud Nadiem Makarim sendiri mengusung program Merdeka Belajar. Belakangan diketahui, nama itu sudah dipatenkan oleh swasta. Mereka, menurut Indra, menjalankan program yang sama dengan Organisasi Penggerak dan Komunitas Organisasi Pendidikan (KOP).
Direktur Eksekutif Center for Education Regulations and Development (CERDAS) itu program itu jauh berbeda dengan MGMP Reborn milik Kemendikbud pada periode sebelumnya. “Sekilas terlihat bahwa tidak ada inovasi baru pada program Kemendikbud. Semuanya sebatas ganti nama saja, dan tentunya memakan anggaran lebih banyak,” ucapnya.
Contoh lain, UN tahun ini menggunakan anggaran Rp200 miliar. Sementera itu, Asesmen Nasional (AN) sebagai pengganti UN tahun depan akan menggunakan anggaran Rp1,4 triliun.
“Padahal kita semua berharap banyak pada Mendikbud Nadiem Makarim, seorang milenial dengan latar belakang pendiri perusahaan start-up digital sukses. Nadiem diharapkan membuat banyak perubahan dalam dunia pendidikan Indonesia sebagai tulang punggung program pembangunan SDM unggul,” tuturnya. (Baca juga: UIN Bandung Bangun Pusat Riset Sejarah Rasulullah dan Peradaban Islam Dunia )
Indra mengutip pernyataan Albert Einstein: kegilaan adalah melakukan hal yang sama berulang-ulang dan mengharapkan hasil yang berbeda. Jika Indonesia mengharapkan perubahan dari kualitas SDM menjadi unggul, program-program pendidikan harus berubah secara substansi bukan sekedar ganti nama saja.
“Untuk itu diperlukan evaluasi yang menyeluruh, objektif, dan transparan terhadap program-program pendidikan yang sedang berjalan maupun yang telah berhenti. Evaluasi ini bukan bertujuan mencari siapa yang salah, melainkan untuk mencari solusi masalah,” tegasnya.
Setelah itu, Kemendikbud bersama stakeholder membuat peta jalan pendidikan Indonesia dengan tujuan akhir yang jelas. Pandemi COVID-19 ini bisa menjadi momentum untuk memanggil putra-putri terbaik bangsa, tokoh, dan para pendidikan untuk mencurahkan pikiran dalam menyusun cetak biru.
“Jangan sampai, hal yang sangat penting demi masa depan bangsa ini disusun oleh kelompok elitis secara tertutup yang pastinya akan menimbulkan kecurigaan dari masyarakat. Setahun telah berlalu, masih banyak hal yang perlu dibenahi, tetapi tidak ada kata terlambat,” pungkas Indra.
Sebuah organisasi riset pendidikan asal Inggris, Centre for Education Economics, dalam Annual Research Digest 2017-2018, membuat kajian tentang sistem pendidikan Indonesia. Judul kajiannya: 15 years of education in Indonesia: rising enrolment and flat learning profiles. (Baca juga: Dunia Pendidikan Indonesia Belum Memiliki Peta Jalan yang Jelas )
Indra memaparkan kajian itu menyebut selama 15 tahun tidak ada perkembangan dalam mutu pendidikan Indonesia. Hal itu disebabkan karena sikap komplasen bangsa Indonesia terhadap dunia pendidikan.
“Semua orang menganggap baik-baik saja. Padahal, jika kita melihat hasil PISA, kondisi Indonesia berada pada posisi yang sangat memprihatinkan,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Selasa (20/10/2020).
Dia menerangkan program-program pemerintah dikatakan cenderung tidak berubah alias itu-itu saja. Namun, anggarannya terus bertambah. Istilahnya, business as usual with more money atau kegiatan yang sama dengan anggaran yang lebih banyak. (Baca juga: Perhimpunan Pendidikan Meminta Asesmen Nasional pada 2021 Ditunda )
Setahun terakhir, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengusung beberapa program, seperti sekolah penggerak, guru penggerak, organisasi penggerak, penghapusan ujian nasional (UN), dan penyederhanaan kurikulum.
Pada periode sebelumnya, ada program guru inti, guru pembelajar, pengembangan keprofesian berkelanjutan untuk guru. Selain itu, ada program sekolah inti dan rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI).
Kemudian, kurikulum berganti bersamaan dengan pergantian Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud). Ada beberapa kurikulum yang silih berganti, seperti berbasis kompetensi, tingkat satuan pendidikan, kurikulum 2013, revisi kurikulum 2013, dan penyederhanaan kurikulum. (Baca juga: Asah Kemampuan Siswa, Kemendikbud Kembali Gelar 2 Kompetisi Debat untuk SMA )
Mendikbud Nadiem Makarim sendiri mengusung program Merdeka Belajar. Belakangan diketahui, nama itu sudah dipatenkan oleh swasta. Mereka, menurut Indra, menjalankan program yang sama dengan Organisasi Penggerak dan Komunitas Organisasi Pendidikan (KOP).
Direktur Eksekutif Center for Education Regulations and Development (CERDAS) itu program itu jauh berbeda dengan MGMP Reborn milik Kemendikbud pada periode sebelumnya. “Sekilas terlihat bahwa tidak ada inovasi baru pada program Kemendikbud. Semuanya sebatas ganti nama saja, dan tentunya memakan anggaran lebih banyak,” ucapnya.
Contoh lain, UN tahun ini menggunakan anggaran Rp200 miliar. Sementera itu, Asesmen Nasional (AN) sebagai pengganti UN tahun depan akan menggunakan anggaran Rp1,4 triliun.
“Padahal kita semua berharap banyak pada Mendikbud Nadiem Makarim, seorang milenial dengan latar belakang pendiri perusahaan start-up digital sukses. Nadiem diharapkan membuat banyak perubahan dalam dunia pendidikan Indonesia sebagai tulang punggung program pembangunan SDM unggul,” tuturnya. (Baca juga: UIN Bandung Bangun Pusat Riset Sejarah Rasulullah dan Peradaban Islam Dunia )
Indra mengutip pernyataan Albert Einstein: kegilaan adalah melakukan hal yang sama berulang-ulang dan mengharapkan hasil yang berbeda. Jika Indonesia mengharapkan perubahan dari kualitas SDM menjadi unggul, program-program pendidikan harus berubah secara substansi bukan sekedar ganti nama saja.
“Untuk itu diperlukan evaluasi yang menyeluruh, objektif, dan transparan terhadap program-program pendidikan yang sedang berjalan maupun yang telah berhenti. Evaluasi ini bukan bertujuan mencari siapa yang salah, melainkan untuk mencari solusi masalah,” tegasnya.
Setelah itu, Kemendikbud bersama stakeholder membuat peta jalan pendidikan Indonesia dengan tujuan akhir yang jelas. Pandemi COVID-19 ini bisa menjadi momentum untuk memanggil putra-putri terbaik bangsa, tokoh, dan para pendidikan untuk mencurahkan pikiran dalam menyusun cetak biru.
“Jangan sampai, hal yang sangat penting demi masa depan bangsa ini disusun oleh kelompok elitis secara tertutup yang pastinya akan menimbulkan kecurigaan dari masyarakat. Setahun telah berlalu, masih banyak hal yang perlu dibenahi, tetapi tidak ada kata terlambat,” pungkas Indra.
(mpw)