Hari Perempuan Internasional, Kenali 5 Sastrawan Perempuan Indonesia yang Telah Mendunia
loading...
A
A
A
JAKARTA - 8 Maret diperingati sebagai International Women’s Day atau Hari Perempuan Internasional . Kali ini tema yang diusung pada International Women’s Day 2022 adalah Break The Bias.
Tema tersebut diusung mengingat bahwa entah disengaja atau tidak sadar, bias membuat perempuan sulit untuk bergerak maju. Senada dengan tema tersebut, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengangkat tema “Lawan Tabu, Perempuan Berani Bersuara”.
Mengutip laman Direktorat SMP Kemendikbudristek, berikut ini lima sosok sastrawan perempuan Indonesia yang berani menyuarakan suatu isu tertentu melalui tulisannya masing-masing.
Tidak hanya itu, mereka juga berhasil meraih penghargaan baik di dalam maupun luar negeri. Siapa sajakah mereka? Simak lima profilnya dibawah ini.
Baca: Kisah Fia, Dosen Unesa Jadi Relawan Bantu Pengungsi Ukraina di Polandia
1. Ayu Utami
Ayu Utami yang nama lengkapnya Justina Ayu Utami dikenal sebagai novelis pendobrak kemapanan. Ia dilahirkan di Bogor, Jawa Barat, 21 November 1968. Ketika menjadi wartawan, ia banyak mendapat kesempatan menulis. Selama 1991, ia aktif menulis kolom mingguan “Sketsa” di harian Berita Buana serta ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan ikut membangun Komunitas Utan Kayu.
Novel pertama yang ditulisnya adalah Saman (1998). Dari karyanya itu, Ayu menjadi perhatian banyak pembaca dan kritikus sastra karena novelnya dianggap sebagai novel pembaharu dalam dunia sastra Indonesia.
Melalui novel itu pula, ia memenangi Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta 1998. Novel “Bilangan Fu” yang ditulisnya juga mendapatkan Penghargaan Khatulistiwa Literary Award tahun 2008.
2. Dewi Lestari
Dee, yang bernama lengkap Dewi Lestari, dilahirkan di Bandung, 20 Januari 1976. Ia anak ke- 4 dari 5 bersaudara dari pasangan Yohan Simangunsong dan Turlan br Siagian (alm).
Sebelum memulai karier menulis, Ia lebih dulu dikenal sebagai pencipta lagu dan penyanyi dari trio vokal “Rida, Sita, Dewi” pada Mei 1994. Supernova adalah novelnya pertama yang direncanakan sebagai suatu novel serial dengan spirit penelusuran terhadap spiritualitas dan sains.
Novel ini mampu mencapai 12.000 eksemplar dalam tempo 35 hari dan terjual sampai kurang lebih 75.000 eksemplar. Supernova berhasil masuk nominasi Khatulistiwa Literary Award (KLA) yang digelar QB World Books (2001). Buku ini juga berhasil menembus pasar internasional dan diterjemahkan ke dalam bahasa inggris. Hingga saat ini Dee Lestari telah menulis lebih dari 10 judul buku.
Baca juga: Psikolog UGM Jelaskan tentang Test Anxiety Disorder dan Tips Mengatasinya
3. Nh Dini
Nama Nh. Dini merupakan singkatan dari Nurhayati Srihardini. Nh. Dini dilahirkan pada 29 Februari 1936 di Semarang, Jawa Tengah. Ia adalah anak kelima (bungsu) dari empat bersaudara. Bakat menulisnya tampak sejak berusia sembilan tahun.
Pada usia itu ia telah menulis karangan yang berjudul “Merdeka dan Merah Putih”. Tulisan itu dianggap membahayakan Belanda sehingga ayahnya harus berurusan dengan Belanda. N.H Dini telah melahirkan banyak karya puisi, novel, dan buku terjemahan.
Penghargaan yang telah diperolehnya adalah hadiah kedua untuk cerpennya “Di Pondok Salju” yang dimuat dalam majalah Sastra (1963), hadiah lomba cerpen majalah Femina (1980), dan hadiah kesatu dalam lomba mengarang cerita pendek dalam bahasa Prancis yang diselenggarakan oleh Le Monde dan Radio France Internasionale (1987).
Nh Dini juga menerima Penghargaan Sepanjang Masa atau Lifetime Achievement Award dalam malam pembukaan Ubud Writers and Readers Festival 2017.
4. Leila S. Chudori
Leila S. Chudori bukanlah nama yang asing dalam dunia sastra Indonesia. Sejak usia 11 tahun, saat masih duduk di kelas V SD, ia telah mempublikasikan karyanya di majalah. Cerpen pertamanya yang berjudul “Pesan Sebatang Pohon Pisang” dimuat di majalah anak-anak Si Kuncung (1973).
Sejak itulah, ia memulai karier menulisnya dan melahirkan karya-karyanya. Setelah kuliah, ia mulai menulis cerpen-cerpen yang lebih serius dan dimuat di majalah sastra Horison, surat kabar Kompas Minggu, Sinar Harapan, serta majalah Zaman dan Matra.
Perempuan kelahiran 12 Desember 1962 ini adalah seorang wartawan. Ia berhasil menyabet penghargaan South East Asia Write Award pada 2020 atas novelnya, Laut Bercerita. Hingga saat ini ia telah menerbitkan tujuh karya yang terdiri dari novel, kumpulan cerpen, dan lain-lain.
5. Djenar Maesa Ayu
Djenar Maesa Ayu atau yang akrab disapa Nai adalah penulis yang berbakat. Nai yang lahir di Jakarta, 14 Januari 1973 berasal dari keluarga seniman. Nai memulai menggeluti menulis dengan menemui sejumlah sastrawan seperti Budi Darma, Seno Gumira Ajidarma, dan Sutardji Calzoum Bachri.
Salah satu ciri karyanya adalah temanya dunia perempuan dan seksualitas. Karya pertamanya adalah cerpen “Lintah” (2002) yang bertema feminisme dan dimuat di Kompas. Buku pertama Nai berupa kumpulan cerpen yang berjudul Mereka Bilang, Saya Monyet! (2004).
Buku itu telah dicetak ulang delapan kali dan masuk dalam sepuluh buku terbaik Khatulistiwa Literary Award 2003. Buku itu diterbitkan dalam bahasa Inggris. Kumpulan cerpen Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu) juga mendapat penghargaan lima besar Khatulistiwa Literary Award 2004.
Cerpen “Menyusu Ayah” menjadi Cerpen Terbaik 2003 versi Jurnal Perempuan dan diterjemahkan oleh Richard Oh. ke dalam bahasa Inggris dengan judul “Suckling Father” untuk dimuat dalam Jurnal Perempuan versi bahasa Inggris khusus edisi karya terbaik.
Tema tersebut diusung mengingat bahwa entah disengaja atau tidak sadar, bias membuat perempuan sulit untuk bergerak maju. Senada dengan tema tersebut, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengangkat tema “Lawan Tabu, Perempuan Berani Bersuara”.
Mengutip laman Direktorat SMP Kemendikbudristek, berikut ini lima sosok sastrawan perempuan Indonesia yang berani menyuarakan suatu isu tertentu melalui tulisannya masing-masing.
Tidak hanya itu, mereka juga berhasil meraih penghargaan baik di dalam maupun luar negeri. Siapa sajakah mereka? Simak lima profilnya dibawah ini.
Baca: Kisah Fia, Dosen Unesa Jadi Relawan Bantu Pengungsi Ukraina di Polandia
1. Ayu Utami
Ayu Utami yang nama lengkapnya Justina Ayu Utami dikenal sebagai novelis pendobrak kemapanan. Ia dilahirkan di Bogor, Jawa Barat, 21 November 1968. Ketika menjadi wartawan, ia banyak mendapat kesempatan menulis. Selama 1991, ia aktif menulis kolom mingguan “Sketsa” di harian Berita Buana serta ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan ikut membangun Komunitas Utan Kayu.
Novel pertama yang ditulisnya adalah Saman (1998). Dari karyanya itu, Ayu menjadi perhatian banyak pembaca dan kritikus sastra karena novelnya dianggap sebagai novel pembaharu dalam dunia sastra Indonesia.
Melalui novel itu pula, ia memenangi Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta 1998. Novel “Bilangan Fu” yang ditulisnya juga mendapatkan Penghargaan Khatulistiwa Literary Award tahun 2008.
2. Dewi Lestari
Dee, yang bernama lengkap Dewi Lestari, dilahirkan di Bandung, 20 Januari 1976. Ia anak ke- 4 dari 5 bersaudara dari pasangan Yohan Simangunsong dan Turlan br Siagian (alm).
Sebelum memulai karier menulis, Ia lebih dulu dikenal sebagai pencipta lagu dan penyanyi dari trio vokal “Rida, Sita, Dewi” pada Mei 1994. Supernova adalah novelnya pertama yang direncanakan sebagai suatu novel serial dengan spirit penelusuran terhadap spiritualitas dan sains.
Novel ini mampu mencapai 12.000 eksemplar dalam tempo 35 hari dan terjual sampai kurang lebih 75.000 eksemplar. Supernova berhasil masuk nominasi Khatulistiwa Literary Award (KLA) yang digelar QB World Books (2001). Buku ini juga berhasil menembus pasar internasional dan diterjemahkan ke dalam bahasa inggris. Hingga saat ini Dee Lestari telah menulis lebih dari 10 judul buku.
Baca juga: Psikolog UGM Jelaskan tentang Test Anxiety Disorder dan Tips Mengatasinya
3. Nh Dini
Nama Nh. Dini merupakan singkatan dari Nurhayati Srihardini. Nh. Dini dilahirkan pada 29 Februari 1936 di Semarang, Jawa Tengah. Ia adalah anak kelima (bungsu) dari empat bersaudara. Bakat menulisnya tampak sejak berusia sembilan tahun.
Pada usia itu ia telah menulis karangan yang berjudul “Merdeka dan Merah Putih”. Tulisan itu dianggap membahayakan Belanda sehingga ayahnya harus berurusan dengan Belanda. N.H Dini telah melahirkan banyak karya puisi, novel, dan buku terjemahan.
Penghargaan yang telah diperolehnya adalah hadiah kedua untuk cerpennya “Di Pondok Salju” yang dimuat dalam majalah Sastra (1963), hadiah lomba cerpen majalah Femina (1980), dan hadiah kesatu dalam lomba mengarang cerita pendek dalam bahasa Prancis yang diselenggarakan oleh Le Monde dan Radio France Internasionale (1987).
Nh Dini juga menerima Penghargaan Sepanjang Masa atau Lifetime Achievement Award dalam malam pembukaan Ubud Writers and Readers Festival 2017.
4. Leila S. Chudori
Leila S. Chudori bukanlah nama yang asing dalam dunia sastra Indonesia. Sejak usia 11 tahun, saat masih duduk di kelas V SD, ia telah mempublikasikan karyanya di majalah. Cerpen pertamanya yang berjudul “Pesan Sebatang Pohon Pisang” dimuat di majalah anak-anak Si Kuncung (1973).
Sejak itulah, ia memulai karier menulisnya dan melahirkan karya-karyanya. Setelah kuliah, ia mulai menulis cerpen-cerpen yang lebih serius dan dimuat di majalah sastra Horison, surat kabar Kompas Minggu, Sinar Harapan, serta majalah Zaman dan Matra.
Perempuan kelahiran 12 Desember 1962 ini adalah seorang wartawan. Ia berhasil menyabet penghargaan South East Asia Write Award pada 2020 atas novelnya, Laut Bercerita. Hingga saat ini ia telah menerbitkan tujuh karya yang terdiri dari novel, kumpulan cerpen, dan lain-lain.
5. Djenar Maesa Ayu
Djenar Maesa Ayu atau yang akrab disapa Nai adalah penulis yang berbakat. Nai yang lahir di Jakarta, 14 Januari 1973 berasal dari keluarga seniman. Nai memulai menggeluti menulis dengan menemui sejumlah sastrawan seperti Budi Darma, Seno Gumira Ajidarma, dan Sutardji Calzoum Bachri.
Salah satu ciri karyanya adalah temanya dunia perempuan dan seksualitas. Karya pertamanya adalah cerpen “Lintah” (2002) yang bertema feminisme dan dimuat di Kompas. Buku pertama Nai berupa kumpulan cerpen yang berjudul Mereka Bilang, Saya Monyet! (2004).
Buku itu telah dicetak ulang delapan kali dan masuk dalam sepuluh buku terbaik Khatulistiwa Literary Award 2003. Buku itu diterbitkan dalam bahasa Inggris. Kumpulan cerpen Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu) juga mendapat penghargaan lima besar Khatulistiwa Literary Award 2004.
Cerpen “Menyusu Ayah” menjadi Cerpen Terbaik 2003 versi Jurnal Perempuan dan diterjemahkan oleh Richard Oh. ke dalam bahasa Inggris dengan judul “Suckling Father” untuk dimuat dalam Jurnal Perempuan versi bahasa Inggris khusus edisi karya terbaik.
(nz)