Keburu Sebar
Rabu, 15 April 2020 - 06:00 WIB
Karantina wilayah, suara pertama yang aku gemakan di media. Mengingat konstitusi memandatkan karantina wilayah ini, yakni UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan Pasal 55 di mana negara memberikan jaminan hidup kepada rakyatnya. Namun, akhirnya, Presiden Jokowi mengumumkan langkah diambil dalam penanganan pandemi Covid-19 adalah penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Mengacu pada mengacu UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan Pasal 59.
Permenkes Nomor 9 Tahun 2020 sudah terbit, turunan dari peraturan pemerintah nomor 21 tahun 2020 terkait pembatasan sosial berskala besar dalam rangka percepatan penanganan Covid-19. Di Permenkes ini diatur bagaimana prosedur permohonan pemda ke pemerintah pusat jika ingin daerahnya diputuskan sebagai PSBB oleh pemerintah pusat dalam hal ini Menteri Kesehatan. Ini sangat birokrasi. Meski dalam Permenkes telah disebutkan akan dikerjakan dalam waktu dua hari, kenyataannya pemerintah daerah akan mengalami kendala dalam melengkapi berkas yang kurang.
Jika birokrasi memperlambat integrasi penanganan, bisa jadi akan sulit memutus rantai penyebaran virus. Dikhawatirkan virusnya keburu berkembang biak di seluruh tubuh rakyat Indonesia, akibat birokratisnya PSBB ini. Dengan alasan kemanusiaan tersebut, sebagai wakil rakyat tetap mendesak pemerintah untuk memutuskan lockdown alias karantina wilayah agar situasinya tidak seperti sekarang ini.
Bisa dibayangkan, masyarakat terus diminta stay di rumah tapi tidak dijamin biaya hidupnya. Masalah lain pun akan timbul, seperti kriminalitas, sosial, ekonomi seperti efek domino dihadapi pemerintah. Maka dari itu, pembatasan sosial skala besar seperti sekarang ini mana mungkin pemerintah bisa bertindak tegas kalau masyarakat keluar rumah tetapi hidup tetap tidak dijamin.
Selain itu, pemerintah daerah mau menutup pelabuhan, bandara, Stasiun KA, dan terminal dengan bertujuan karantina daerah atau penyekatan orang datang ke daerah zona merah Covid-19 pun tetap tidak bisa karena semua kewenangan pusat.
Sisi lain, pertanyaan publik muncul, mengapa Menteri Kesehatan sebagai penanggung jawab kedaruratan kesehatan harus menunggu permohonan dari pemerintah daerah untuk menerapkan PSBB? Padahal, data saat ini zona merah Covid-19 sudah menjangkit hampir 24 provinsi di Indonesia. Dalam keadaan darurat justru seharusnya top down. Tegas dari atas. Bukan bottom up yang masih birokratis. Kalau tergantung daerah, mungkin enggak perlu ada status kedaruratan sekalipun pemda sudah pada karantina wilayah sendiri, bukan PSBB lagi.
Mungkin penyebabnya pemerintah pusat tidak ingin menanggung biaya PSBB. Tergantung pada kesiapan daerah. Daerah yang mengusulkan, tentunya. Kalau begini, rakyat sudah jatuh tertimpa tangga. (*)
Lihat Juga: Transformasi Standar Nasional dan Akreditasi Pendidikan Tinggi: Kebutuhan untuk Wujudkan Merdeka Belajar
Permenkes Nomor 9 Tahun 2020 sudah terbit, turunan dari peraturan pemerintah nomor 21 tahun 2020 terkait pembatasan sosial berskala besar dalam rangka percepatan penanganan Covid-19. Di Permenkes ini diatur bagaimana prosedur permohonan pemda ke pemerintah pusat jika ingin daerahnya diputuskan sebagai PSBB oleh pemerintah pusat dalam hal ini Menteri Kesehatan. Ini sangat birokrasi. Meski dalam Permenkes telah disebutkan akan dikerjakan dalam waktu dua hari, kenyataannya pemerintah daerah akan mengalami kendala dalam melengkapi berkas yang kurang.
Jika birokrasi memperlambat integrasi penanganan, bisa jadi akan sulit memutus rantai penyebaran virus. Dikhawatirkan virusnya keburu berkembang biak di seluruh tubuh rakyat Indonesia, akibat birokratisnya PSBB ini. Dengan alasan kemanusiaan tersebut, sebagai wakil rakyat tetap mendesak pemerintah untuk memutuskan lockdown alias karantina wilayah agar situasinya tidak seperti sekarang ini.
Bisa dibayangkan, masyarakat terus diminta stay di rumah tapi tidak dijamin biaya hidupnya. Masalah lain pun akan timbul, seperti kriminalitas, sosial, ekonomi seperti efek domino dihadapi pemerintah. Maka dari itu, pembatasan sosial skala besar seperti sekarang ini mana mungkin pemerintah bisa bertindak tegas kalau masyarakat keluar rumah tetapi hidup tetap tidak dijamin.
Selain itu, pemerintah daerah mau menutup pelabuhan, bandara, Stasiun KA, dan terminal dengan bertujuan karantina daerah atau penyekatan orang datang ke daerah zona merah Covid-19 pun tetap tidak bisa karena semua kewenangan pusat.
Sisi lain, pertanyaan publik muncul, mengapa Menteri Kesehatan sebagai penanggung jawab kedaruratan kesehatan harus menunggu permohonan dari pemerintah daerah untuk menerapkan PSBB? Padahal, data saat ini zona merah Covid-19 sudah menjangkit hampir 24 provinsi di Indonesia. Dalam keadaan darurat justru seharusnya top down. Tegas dari atas. Bukan bottom up yang masih birokratis. Kalau tergantung daerah, mungkin enggak perlu ada status kedaruratan sekalipun pemda sudah pada karantina wilayah sendiri, bukan PSBB lagi.
Mungkin penyebabnya pemerintah pusat tidak ingin menanggung biaya PSBB. Tergantung pada kesiapan daerah. Daerah yang mengusulkan, tentunya. Kalau begini, rakyat sudah jatuh tertimpa tangga. (*)
Lihat Juga: Transformasi Standar Nasional dan Akreditasi Pendidikan Tinggi: Kebutuhan untuk Wujudkan Merdeka Belajar
(jon)
tulis komentar anda