Pentingnya Edukasi Berkelanjutan tentang Risiko Mikroplastik di Lingkungan Terdekat

Rabu, 27 April 2022 - 19:43 WIB
loading...
Pentingnya Edukasi Berkelanjutan...
Limbah plastik memicu pencemaran tanah dan juga air. Foto/Ist
A A A
JAKARTA - Dari tahun ke tahun, perkara sampah plastik menjadi hal serius yang penting untuk ditangani. Bukan hanya sulit terurai, limbah plastik juga memicu pencemaran tanah dan juga air. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengetahui seberapa besar dampaknya, baik untuk ekosistem maupun untuk manusia.

Anjuran mengurangi penggunaan plastik pun banyak digencarkan oleh berbagai komunitas. Tujuannya adalah untuk meminimalisir plastik di lautan, karena setiap limbah plastik akan berujung ke laut dan mencemari biota laut.



Menurut Pusat Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), ada tingkatan-tingkatan partikel plastik yang dapat menyebabkan pencemaran lingkungan yaitu nanoplastic, microplastic , mesoplastic, macroplastic, dan megaplastic. Kampanye untuk menjaga lingkungan seperti ini juga sekaligus membuat masyarakat lebih menyadari risiko dan bahaya mikroplastik.

Di antara partikel lain, mikroplastik tergolong yang paling berisiko untuk jangka panjang. Mikroplastik memang sangat kecil, yaitu 1 µm (mikrometer) hingga 5 mm (milimiter), tapi bahayanya sangat besar untuk ekosistem laut. Ekosistem laut dalam hal ini adalah berbagai macam hewan laut.

Ketika mikroplastik masuk ke sistem pencernaan hewan laut untuk konsumsi manusia, ada beberapa risiko penyakit yang bisa mengancam. Sayangnya hal ini masih belum disadari semua orang.



Dari mana asalnya mikroplastik di lautan? Penelitan menemukan partikel mikroplastik yang bersumber dari microbeads lulur mandi, sabun cuci muka, pasta gigi, biji-biji plastik, dan serat kain.

Menilik Kembali Ketergantungan Manusia kepada Plastik

Orang Indonesia sudah mengenal penggunaan bahan plastik setelah kemerdekaan. Tahun 1950-an bermunculan pabrik yang mengolah plastik untuk bahan produk alat rumah tangga, mainan anak, kancing baju, sisir, dan berbagai kemasan belanjaan.

Faktanya, penggunaan plastik di masyarakat dahulu membutuhkan ajakan atau edukasi yang serius. Narasi yang disampaikan adalah tentang kepraktisan hidup sehari-hari sebagai bangsa yang belum lama merdeka. Apa yang terjadi saat ini?

Berpuluh-puluh tahun sejak penggunaan plastik pertama kali di Indonesia, timbunan sampah plastik jutaaan ton di dalam tanah dan lautan pun jadi masalah tersendiri. Hal ini karena edukasi tentang pengelolaan limbah plastik yang belum optimal. Apalagi untuk mikroplastik yang partikelnya sangat kecil dan nyaris tak terlihat. Disadari atau tidak, dalam polusi udara pun terkandung mikroplastik yang bisa terakumulasi ke dalam saluran pernapasan dan paru-paru manusia dan bisa mengganggu pernapasan.

Risiko lainnya dari mikroplastik yang mengancam kesehatan adalah tumor, hambatan pada sistem imun, dan gangguan pada sistem reproduksi. Memang, adanya mikroplastik di lingkungan yang kita huni belum sampai ke tingkat yang darurat. Tapi, seiring waktu berjalan, jumlahnya pun bisa meningkat dan tentu bahanya pun semakin terasa.

Apa yang Seharusnya Dilakukan untuk Mengelola Risiko Mikroplastik?

Mikroplastik memang mengancam ekosistem lingkungan hidup, lalu apa yang sebaiknya dilakukan manusia? Anda mungkin sudah cukup sering mendengar tentang upaya mengurangi penggunaan plastik. Apakah hanya dengan membatasi penggunaannya sehari-hari, itu berarti akan berdampak signifikan pada kondisi ekosistem di darat maupun lautan?

1. Edukasi yang Membentuk Kesadaran Baru

Jika kita kembali mengingat sejarah penggunaan plastik, pada awalnya plastik adalah benda asing, baru, dan belum dikenal masyarakat. Dengan edukasi sedemikian rupa, maka pemahaman masyarakat pun terbentuk. Dengan edukasi pula, kesadaran masyarakat terbentuk bahwa sesuatu yang praktis untuk kehidupan manusia, belum tentu berdampak baik di masa depan. Di sisi lain, masih ada yang seharusnya disosialisasikan yaitu tentang ke mana perginya plastik yang kita gunakan sehari-hari?

2. Tidak Membuang Sampah di Sungai

Edukasi ke masyarakat tentang bahaya mikroplastik bisa diupayakan dengan hal yang realistis, misalnya dengan tidak membuang limbah atau sampah ke sungai. Hal ini diperlukan kerjasama semua pihak mulai dari pemerintahan setempat, masyarakat, dan industri. Agar tidak ada lagi pembuangan sampah di sungai, dibutuhkan fasilitas untuk membuang dan memilah sampah di tepi sungai. Pemerintah juga perlu memperkuat regulasi disertai sanksi, demi mencegah kebiasaan pembuangan sampah ke sungai.

3. Memperkuat Regulasi dan Penerapannya di Masyarakat

Ecoton (Ecological Observation and Wetlands Conservation) juga membuat beberapa rekomendasi strategi untuk menangani mikroplastik yang ada di Indonesia. Strategi yang pertama adalah kewajiban daerahdaerah untuk menetapkan aturan mengurangi plastik sekali pakai.

Regulasi juga berlaku untuk setiap rumah tangga yang dilarang untuk membuang sampah atau limbah ke sungai. Agar lebih sistematis, juga perlu disediakan sistem pengolahan sampah terpadu
Berikutnya adalah menetapkan kawasan tangkap ikan yang eksklusif demi meminimalisir kontaminasi mikroplastik kepada ikan. Yang tidak kalah penting adalah pembangunan instalasi pembuangan air limbah Komunal yang lengkap dengan pelindung dari partikel mikroplastik.

Samapi saat ini, apakah kita sudah melakukan upaya untuk mengurangi risiko pencemaran mikroplastik di lingkungan sekitar? Jika dilihat dari level individu, mungkin kita tahu akan seberapa signifikan, tapi kita bisa mencoba menghentikan penumpukan limbah di lingkungan terdekat.

Penulis:
Prodi Teknik Lingkungan Universitas Bakrie
(mpw)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2249 seconds (0.1#10.140)